Minggu, 27 Mei 2012

Chairil Anwar

Aku

Kalau sampai waktuku
'Ku mau tak seorang kan merayu
Tidak juga kau

Tak perlu sedu sedan itu

Aku ini binatang jalang
Dari kumpulannya terbuang

Biar peluru menembus kulitku
Aku tetap meradang menerjang

Luka dan bisa kubawa berlari
Berlari
Hingga hilang pedih peri

Dan aku akan lebih tidak perduli

Aku mau hidup seribu tahun lagi

Maret 1943

Rabu, 16 Mei 2012

Si Penangkap Sinar

     Dia berjalan lewat jalan setapak itu. Di kanan-kirinya dibatasi oleh rerumputan, setinggi kira-kira dua kali mata kaki orang dewasa. Di tengahnya juga ditumbuhi rumput, tingginya sekitar setengah dari yang ada di pinggir. Di antara warna hijau rumput, dua baris warna coklat tua khas tanah di bawah bayangan pepohonan. Kedua warna itu berpadu dan menjulur ke ujung jalan, tempat sebuah rumah dari kayu berdiri.

***

      "Kau tahu," katanya kepada keponakannya sambil menoleh ke kakaknya--ayah si anak-- yang duduk, membaca koran di sisi lain beranda, "ayahmu dulu dipanggil Si Penangkap Sinar."

     Ayah si anak tidak menoleh, masih membaca, pura-pura tidak dengar.

     "Si Penangkap Sinar?"

     "Ya. Kau mau tahu ceritanya?"

     "Iya, cerita Paman."

     "Suatu hari waktu kami--aku dan ayahmu--masih kecil--tapi lebih tua darimu yang sekarang ini--ayahmu mendatangi ayah..., hmm, dari ayahmu dan aku.'

     "Kakek," timpal orang yang duduk di sisi lain beranda, tanpa menoleh.

     "Ya, kakek," dia bilang, "Tepat di mana kita duduk saat ini." Dia melanjutkan cerita. Dia menunjuk ke berkas sinar matahari yang tembus melalui celah-celah antar ranting-ranting pohon. Dia bilang ke anak itu ayahnya dulu meletakkan telapak tangannya di bawah berkas sinar itu. Dia menyuruh ayahnya meletakkan telapak tangan di berkas lain dan menggenggamnya. Sinar yang tadi ada di telapak tangan berpindah ke jari-jarinya yang menggenggam. Lalu dia meminta ayahnya melihat ke telapak tangannya dan jangan berpaling. Pelan-pelan dia mengepalkan jari-jarinya. Saat jarinya menyenruh sinar berbentuk bulat di telapak tangannya, sinar itu tidak berpindah ke jarinya, tapi menghilang, lenyap seperti tertelan jemarinya.

     "Seperti ini," katanya pada anak itu. Dia melakukan persis seperti ayah si anak ini melakukannya dulu. Menyuruh si anak meletakkan telapak tangan di bawah berkas sinar. Saat si anak menggenggamnya--berusaha menggenggamnya--bulatan sinar itu berpindah ke atas jemarinya yang menngenggam. Tapi saat pamannya yang melakukkannya berkas sinar itu berhasil digenggamnya, seperti gerhana bulan total.

     "Wah, sulap," kata si anak, "Kasih tahu rahasianya paman."

     "Yah, seperti yang kamu bilang, sulap. Kalau triknya ketahuan, sudah nggak asyik lagi."

     "Rahasianya bukan pada tangan yang menggenggam Nak." kata orang yang sedang membaca koran.

Senin, 14 Mei 2012

Semoga beliau sadar, ada beberapa hal dalam hidup yang sengaja diciptakan tidak di bawah kendali beliau. Kucing betina yang selalu lapar setelah melahirkan anak kembar tiga (suaranya sungguh bisa membuat orang mati bangkit dari kubur); anak yang menghabiskan separuh hari berhadap-hadapan dengan layar monitor atau layar televisi; pernikahan keponakan di pulau seberang, yang menyedot tabungan; Bau yang menguar dari kandang unggas piaraan; kompor gas sekarat; anak tetangga yang menyebalkan; menua (ini benar-benar memuakkan); hujan deras yang turun tiba-tiba; dan hal lain yang mungkin dianggap sepele namun justru paling mungkin menggerogoti kesabaran (dengan efek keterkejutan yang menohok).