Sabtu, 14 Desember 2013

Rusa Kecil yang Malang

"Menulislah saat insomnia menjamah."

Pada suatu waktu di sebuah pulau sekitar kutub yang memiliki sebuah gunung yang puncaknya, entah sejak kapan, tertutup salju tebal, hiduplah sekumpulan hewan semacam rusa kutub. Salah satunya, betina, sedang hamil tua. Tua sekali. Penulis hanya ingin mengingatkan bahwa bukan rusanya yang tua, tapi hamilnya.
     Beberapa jam kemudian...
     Rusa betina yang belum terlalu tua dan sedang hamil tua itu melahirkan. Lahirlah ke dunia yang di ambang usianya ini seekor anak rusa yang tak berdosa. Jantan dan sudah pasti masih sangat muda. Rusa jantan muda ini tidak menangis begitu keluar dari rahim ibunya. Seluruh tubuhnya bersimbah darah.
     Celaka! Ada keanehan yang amat kasat mata. Di kepala si rusa kecil sudah tumbuh tanduk besar. Setiap rusa di kumpulan itu langsung menjauhinya. Mereka percaya itu adalah suatu kutuan kutukan. Lebih tragis, si ayahlah yang terlihat paling membencinya. Itu terlihat dari ikat kepala yang langsung dipakai si ayah rusa kecil. Ikat kepala bertuliskan. 'Aku bukan ayahmu'. Sungguh absurd dunia yang kita tinggali ini.
     Pembaca tidak boleh begitu saja menghakimi si ayah rusa kecil ini. Bahkan jika pembaca bernama Irf*n Hakim atau H*kim Irfan. Setelah penulis cermati, ada beberapa alasan kenapa kebencian si ayah memuncak sampai taraf yang sungguh mengerikan. Karena si rusa kecil sudah memiliki tanduk, saat si rusa kecil akan keluar dari rahim induknya, dia melukai induknya. Kerusakan yang ditimbulkannya pada saluran buang bayi induknya sungguh tidak dapat ditoleransi. Singkatnya si induk mati. Semoga arwahnya tenang di kehidupan selanjutnya.
     Alasan kedua kebencian ayah, ini sekedar prediksi penulis, adalah karena si ayah kehilangan kesempatan untuk membaca cerita menarik. Karena, patut diketahui, si induk ternyata adalah tokoh utama dalam cerita ini. Jadi cerita ini harus diakhiri sampai di sini.

Sungguh rusa kecil yang malang. Doaku selalu menyertai mereka yang termarjinalkan. Terima kasih Nikolai Gogol.
setjoeil asa

Rabu, 11 Desember 2013

Garis Teisme

"Dia itu agnostik cenderung ateis."
"Tumben mau menggunjing orang."
"Ini bukan gunjingan. Ini pendapat. Dan kurasa ini lumayan obyektif. Eh, iyakan?"
"Tergantung premisnya. Kenapa kamu bisa bilang dia cenderung ateis?"
"Yah, katakan ini monoteis atau politeis," anak muda ini menggambar bulatan khayalan di atas meja. Terus dia menarik garis lurus dari bulatan itu ke arah kanannya dengan tangan kanannya, "di tengah ini agnostik. Di ujung yang lain ini ateis. Nah, di sinilah bocah itu berada" dia menunjuk satu titik antara titik tengah dan ujung kanan gambar khayalan itu."
"Hm, menarik..."
"Dia kadang menyebut tentang buku kesukaannya. Buku terjemahan dari bahasa Jerman. Dia bilang, 'Yah, aku percaya Tuhan itu ada. Tapi itu dulu. Sekarang Beliau sudah mati.'"
"Anak itu mengutip dari buku itu?"
"Bisa jadi."
"Dia pikir Tuhan fana seperti ciptaan-Nya? Menarik"
"Tak kalah menarik si S."
"Kenapa dia?"
"Dia punya satu kutipan kesukaan: 'Dan Kami ciptakan segalanya berpasang-pasangan.'"
"Ah, ya. Itu ada di halaman depan buku catatan kecil yang selalu dibawa-bawanya. Dari Al kitab agamanya, kan?"
"Ya"
"Aku suka cara orang ini memandang dunia. Dia punya satu teori menarik."
"Apa?"
"Masih ada hubungannya dengan kutipan itu tadi dan kalau kita juga bisa menghubungkannya dengan topik kita. Dia percaya kalau ada bagian dari manusia yang fana, maka ada juga bagian manusia yang kekal."
"Ah berpasang-pasangan?"
"Ya, atau kalau mau lebih gamblang, yang berlawanan saling melengkapi. Contranta Sunt Complementa. semacam motonya Niels Bohr."
"Ah, siapa Nil Bor itu?"
"Niels Bohr. N-I-E-L-S B-O-H-R. Entah pengucapannya bagaimana. Aku juga lupa siapa dia."
"Yah, pikun."
"Terserah, si S ini percaya, tentang fana dan kekal tadi, tubuh manusia memang fana, tapi ada bagian dari manusia yang kekal. Jiwa."
"Ah, pada akhirnya dia lalu punya teori tentang jiwa ini yang masuk ke kehidupan setelah kematian ya?"
"Jitu. Ngomong-omong soal jiwa, sudah dapat buku Jiwa-jiwa Mati-nya Gogol?"
"Belum."
"Orang yang menarik memang."
"Siapa, Gogol."
"Si S. Jadi dia ini monoteis cenderung agnostik? Kalau pakai teori kamu tadi."
"Bisa jadi Tuhan cuma pengin menciptakan peran seperti dia dalam roman tulisannya."
"Hah?"
"Bukankah semuanya sudah tertulis? Dan semua ditulis oleh tangan yang sama?"
"Lalu apa peranmu?"
"Jadi orang yang percaya kalau lebih baik dia tidak usah dilahirkan saja. Dan, seperti yang ditulis Chairil, 'hidup hanya menunda kekalahan.' Karena pada akhirnya, seperti yang kubilang  tadi, garis nasib sudah digambar. Aku juga tahu peranmu: bocah melit yang percaya bisa memecahkan pertanyaan-pertanyaan besar dalam hidup."
"Lihat siapa yang bilang, fatalis."

bisa jadi bersambung
setjoeil asa

Rabu, 23 Oktober 2013

Dari Surat Undangan Nikah Sampai Batas Waktu-Kunjung

Ba'da Isya' si anak laki-laki keluar. Bersepeda, dia bilang. Ya, dia memang naik sepeda, tapi dikaitkannya tali helm dan menggantungnya di pergelangan tangan kirinya.
     Sampai di rumah si gadis, dia masukkan sepeda ke garasi rumah si gadis. Keduanya pergi menunaikan tugasnya. Mereka sudah janjian akan mengedarkan undangan pernikahan teman kampus.
     Ke utara, dari yang paling dekat.
     "Rencana setelah wisuda? Kerja mungkin? ada pekerjaan impian?" Tanya si gadis berurutan.
     "Iyalah, mau bagaimana lagi. Ada. Nelayan." Jawab si anak laki-laki tak kalah urut.
     "Oh, seperti The Old Man and the Sea." Lalu si gadis mulai mengulas buku itu. Dia bercerita tentang orang tua yang cuma menangkap bangkai ikan.
     Sampai di rumah gadis pertama.
     "Ternyata rumah kamu cuma di sini." Kata si anak laki-laki.
     "Iya. Dekat kan. Kapan-kapan mampir." Kata gadis pertama
     Ke barat.
     "Oh, kamu kos di sini."
     "Eh, Kotagede kamu mana, kapan-kapan aku main ke rumahmu ya?" Kata gadis kedua.
     Si anak laki-laki memasang mimik 'ah, biasalah. Ritual cewek-cewek kalau ketemu teman yang sudah lama nggak ketemu'.
     Ke utara. Ke dekat kampus.
     "Eh, kirain kamu sama cewek. Aku nggak pakai jilbab nih." Kata gadis ketiga
     Ke utara. Jauh ke utara. Ke dekat kampus yang kesohor di kota.
     "Aku kerja di toko gudeg ibuku." Kata gadis keempat.
     Balik ke selatan. Pemberhentian terakhir. Tapi waktu di minimarket yang sepertinya bukan waralaba di daerah fakultas olahraga kampus kesohor kedua di kota, sms masuk ke telepon seluler si gadis. Gadis terakhir tidak di rumah. Percakapan si anak laki-laki dengan si gadis di minimarket:
     Si gadis: "Nggak usah diplastik, Mas." Waktu si kasir mewadahi minuman produksi Coca-Cola Company dengan tas kresek.
     Si anak laki-laki: "Wuih, environmentalis."
     Si gadis: "Apaan?"
     Si anak laki-laki: "Harusnya kamu juga nggak usah minta struk-nya. Bilang juga, kalau struk-nya nggak usah dicetak. Itukan dari pohon. Tuh, kan cuma dibuang."
     Sampai di rumah gadis kelima. Si gadis menitipkan undangan ke orang yang ada di rumah.
     Ke selatan. Balik ke rumah si gadis.
     "Mampir-mampir dululah. Mau sirup atau teh."
     "Ehm..., Teh."
     "Pakai es ya." Dengan tanpa nada bertanya.
     Perbincangan berjam-jam, seperti saat kuliah. Di teras rumah si gadis. Perbincangan dari pernikahan, sepak bola, hingga tiga hal yang paling penting di dunia dan akhirat menurut si anak laki-laki: film, buku, dan musik. Perbincangan tentang masalah di tempat kerja si gadis sampai idealime bocah yang barusan lulus sarjana.
     Si gadis bercerita tentang adiknya yang tak mau kuliah. "Yang kuliah saja cuma jadi seperti itu kok, adikku bilang," si gadis membagi pemikiran adiknya, "Tapi aku bilang, kuliah itu merubah pola pikir. Pola pikir lulusan SMA beda dengan pola pikir lulusan S1." Si anak laki-laki tidak bisa menyanggahnya.
     Lalu, si gadis bercerita tentang pria penggoda di tempat kerjanya. "Padahal sudah punya istri," kata si gadis, "aku nggak nyaman. bagaimana menurut kamu?"
     "Ah, kamu minta saran ke orang yang salah. Aku kan belum pernah mengalami yang seperti itu."
     "Kasih saran nggak harus mengalami dulu."
     "Yah, kalau kamu memang sudah nggak tahan lagi keluar saja. Tapi itu cara terakhir."
     "Senior bilang itu lumrah di tempat kerja. Masalah dan masalah. Kita menghindar, kita masuk ke masalah lain. Jadi ini harus ditanggungkan."
     "Ada satu kutipan. 'Terkadang satu-satunya obat adalah menerima hidup apa adanya'. Nah, di sini latar musik Beatles - Let It Be diputar."
     Dari perbincangan tentang masalah pria penggoda di tempat kerja sampai ke masa-masa paling indah dalam kurang dari 25 tahun hidup mereka. Dan mereka masing-masing mungkin merasa menjadi manusia paling sengsara pengidap krisis seperempat abad.
     "Cowok biasanya merasa masa-masa paling indah mereka waktu mereka dapat cinta pertama, ya kan?"
     "Sekali lagi kamu mengenaralisasi."
     "Terserah. Entah itu SD, SMP, SMA."
     "Kalau aku bilang, masa paling indahku nggak dikategorikan berdasar SD, SMP atau SMA. Menurutku itu waktu aku bisa nangkap ikan di sungai. Ya, sungai itu dulu masih mengalir. Terus main bola tiap sore."
     "Kapan itu? Sekitar SD?
     "Ya. Ada lagu bagus tentang masa kanak-kanak. James Morrison, Ehm..., judulnya Once When I ... apa gitu."
    "Child? Kid?"
    "Mungkin. Ah.., Once When I Was Little."
     "O..."
     "O? Kamu tahulah masa-masa tanpa beban?"
     "Jadi pas SMP hidup kamu sudah sesak beban?"
     "Bisa jadi. Seperti bawa tas ransel. Semakin tambah tua, hal-hal yang masuk ke tas itu semakin banyak. Tas ranselnya jadi semakin berat."
     Jeda sebentar. Lalu si gadis mengungkapkan pandangannya tentang fenomena pengemis di ibukota, "di hari biasa di kampung mereka profesi mereka petani, tukang, atau lainnya. Tapi pas nggak panen, mereka hijrah ke ibukota. Buat jadi pengemis. Mereka bilangnya pas balik ke kampungnya jadi buruh atau apalah. Gaji mereka lumayan gede lho. Sehari bisa seratus ribu lebih."
     "Wah, lebih gede dari pegawai akuntansi ya? Apik buat dijadikan buku. Kenapa nggak ada buku yang mengangkat tema itu di sini?"
     "Buku macam itu nggak bakal laku di sini."
     "Oh ya, sudah dapat jaket Milan?"
     "Sudah. 146 ribu kemahalan nggak ya?"
     "Nggak tahu. Belum pernah beli."
     "Yah..."
     "Milanisti, temannya Defri dong."
     "Iya, tapi sempat vakum waktu Kaka pindah."
     "Yah, bukan Milanisti itu namanya, Kaka-nisti."
     "..."
     "Pemain yang lumayan sekarang tuh Montolivo."
     "Nggak tahulah. Tahunya cuma Kaka."
     "Nah."
     Lalu mereka berbincang tentang kucing betina si anak laki-laki yang dinodai kucing jantan liar. "Untung saja nggak hamil."
     "Kamu kasih saja kucingmu pil KB."
     "Atau dikebiri. Vasektomi."
     "Jangan."
     "Bicara tentang pil KB, ada buku bagus tentang itu."
     "Buku tentang pil KB?"
     "Bukan. Salah satu tulisan dalam buku itu tentang pil KB. Buku itu kumpulan tulisan jurnalis New York Time atau apalah."
     "Iya, tapi buku tentang pil KB?"
     "Bukan. Ada tulisan lain tentang ahli anjing yang bisa menangani anjing galak. Juga tulisan lain. Tapi menurutku ada benang merah dari semua tulisan di buku itu. Menurutku si penulis punya pemikiran bahwa di dunia ini, dalam hidup ini nggak ada sesuatu pun yang mutlak. Semuanya relatif," ditegakluruskannya telapak tangannya dengan lengan bawah, lalu sambil mengangkat tangannya setinggi dahinya, menggoyang telapak tangan, terus menarik tangan ke bawah serendah dadanya, menggoyang telapak tangan lagi, si anak laki-laki bilang lagi, "Nggak ada yang benar-benar di kutub ini atau di kutub ini."
     "Tapi itu benar, kan?" timpal si gadis, "nggak ada yang benar-benar putih dan nggak ada yang benar-benar hitam. Semuanya ada di wilayah abu-abu."
     Mereka bisa tahan berbincang berjam-jam. Sampai pas jam sebelas kurang lima, si anak laki-laki tanya, "jam berapa ini? Ada batas waktu-kunjungnya nggak?"
     Setengah jam kemudian pakde si gadis menceletuk, "jam setengah dua belas lho."
     Si anak laki-laki kembali bersepeda. Dia tak pernah sadar mungkin saja si gadis pagi harinya harus bekerja.

untuk gadis yang memuati seluruh beban ke tas ransel dan memikulnya sendirian,
Tuhan bersama orang yang berdoa.
Setjoeil Asa, 23 Oktober 2013

Jumat, 11 Oktober 2013

Sehelai Daun

"Setiap helai daun di pohon menjadi satu halaman kitab. Begitu hati terbuka dan belajar untuk membaca."
                                   --Saadi dari Shiraz

Itu adalah kutipan pada halaman pembuka pendahuluan buku Greg Mortensen yang berjudul Stones Into Schools. Pada saat pertama membaca, aku berpikir, "kertas dibuat dari kayu, batang pohon. Tapi jaman dulu sepertinya daun juga sarana menulis."
     Setelah membaca beberapa halaman pendahuluan, aku kembali ke halaman berisi kutipan itu dan menyadari: saat kamu mau membuka mata hati dan pikiran, dan belajar membaca, membaca tanda-tanda alam, setiap hal bisa menjadi pengetahuan baru, termasuk sehelai daun pada ranting pohon. Tiap hal yang kamu lihat, suara yang kamu dengar, rasa yang kamu cecap, permukaan yang kamu raba, udara dan aroma di dalamnya yang kamu hirup adalah hal baru yang bisa dipelajari.

Ada juga seorang mertua yang bilang ke menantunya, "buat apa perempuan membaca, buku bisa meracuni otakmu." Lalu ada gadis yang bercita-cita menjadi anggota DPR. Anda benar ibu mertua, buku bisa meracuni otak.
      Haji Ali seumur hidupnya juga tidak membaca buku, iya kan Greg? Hayy bin Yaqzon mendapatkan semua pengetahuannya dari alam sekitarnya. Dan kata-kata Chauncey Gardiner dikutip presiden AS, padahal seumur-umur dia belum pernah belajar baca-tulis. Semua yang dilakukannya dia pelajari dari televisi. Akhirnya, ada anak laki-laki yang membaca buku-buku mahal, tetapi tidak pernah menemukan jawaban yang dicarinya.

Sabtu, 05 Oktober 2013

Beruang dan Kucing

Pagi tadi Lars and Real Girl (2007) menjadi pengantar tidur. Ada satu scene yang sangat aku suka. Satu scene yang melahirkan ide ini:

     Ada gadis kecil, menangis di bangku pojok belakang ruang kelas taman kanak-kanak. Boneka beruangnya digantung oleh teman sekelasnya, anak laki-laki. Mereka bertengkar agak hebat. Jangan gambarkan pertengkaran ini seperti pertengkarannya Jackie Chen. Yang dinamakan bertengkar di sini adalah seperti adu mulut anak-anak biasa. Si anak laki-laki tak mau disalahkan. Dia bilang itu pembalasan. karena kemarin, si gadis cilik juga mengubur mainan singanya di bak pasir.
     Orang tua mereka dipanggil. Orang tua si anak laki-laki datang dan setelah tahu permasalahannya, dia mendekati si gadis cilik. Gadis cilik itu sudah mendingan tapi masih terlihat agak terisak. Dia dtemani dua temannya. Si bocah lelaki duduk di bangku di tentang mereka, sendirian. anak-anak lain bermain, menyebar di ruangan.
     "Kamu tahu kalau jaman dulu kucing lebih besar dari kucing yang sekarang ini. Tapi mereka masih kalah besar dengan beruang? Suatu hari kedua hewan ini pergi berburu. Beruang sudah kelaparan karena sudah lama tidak mendapat tangkapan. Tanpa sengaja mereka berdua bertemu. Karena sudah sangat kelaparan, Beruang hampir kehilangan kewarasan, dan dia pun menyerang Kucing dengan maksud sebagai santapan.
     "Kucing bukanlah hewan penakut. Dia melawan beruang. Tapi karena kalah besar akhirnya Kucing tumbang.
     "Namun, sesaat sebelum Beruang hendak memakan Kucing. Kucing terbangun dan melompat menghidar dari gigi-gigi tajam Beruang. Beruang kaget, dia bilang, 'kamu sudah mati, bagaimana bisa hidup lagi?'
     "'Apa kamu belum pernah dengar kalau kucing punya sembilan nyawa.?" Jawab Kucing.
     "'Kupikir itu hanya Mitos?'"
     "Apa itu Mitos?" Si gadis kecil bertanya. Saat itu ternyata hampir semua anak di kelas itu sudah duduk di depan orang tua si anak laki-laki untuk mendengarkan cerita itu. Mereka tampak sangat tertarik.
     "Hm, ... Mitos adalah cerita-cerita yang dipercayai oleh orang jaman dulu. Tapi seiring berjalannya waktu orang-orang jadi meragukan kebenaran cerita itu. Tapi toh, cerita itu nyata. Nyata, paling tidak, dalam bentuk ucapan atau lisan. Sampai di mana tadi?"
     "Kucing punya sembilan nyawa!" teriak beberapa anak serempak.
     "Ya, kucing punya sembilan nyawa. Tapi hampir semua kucing sudah lupa tinggal berapa nyawa mereka dan berapa nyawa yang sudah mereka pakai. Mereka tidak pandai matematika. Beruang lalu bilang kepada Kucing, 'beri Aku satu nyawamu.'
     "Kucing berkata, 'Buat apa? Apa untungnya buat Aku? Apa Kamu sudah lupa? Kamu tadi menyerangku.'
     "Lalu Beruang bilang, 'Kalau Kamu berikan Aku satu nyawamu, Aku tak akan menyerangmu lagi.'
     "Kucing setuju dan memberi Beruang satu nyawanya. Sejak saat itu beruang punya dua nyawa, dan beruang dan kucing berteman selamanya."

     Orang tua tadi lalu mempraktikkan pertolongan pertama pada boneka beruang si Gadis Cilik. Sama seperti yang dilakukan Lars dengan boneka beruang Margo. Dia tanya ke gadis cilik, "Siapa nama beruang ini?"
     "Lars."
     "Oh, dia sudah baikan. Tapi Kamu harus menjaganya baik-baik, karena ini nyawa terakhirnya. Oke?"

       Setjoeil Asa

Senin, 23 September 2013

Aku Suka Bagaimana...

Yth. Tuan Blog
Suatu Tempat Di Neverland

Hei, Tuan Blog. Aku hampir bisa memahami kenapa Anda memasang muka demikian saat mendengar sapaanku. Anda tahu, dalam diri ini bersemayam empati dengan kadar yang mengerikan. Saat Anda mendengar sapaanku, Anda pasti berpikir, "hal gila apalagi yang akan dia curahkan ke arahku," ya kan? Tenang kali ini Aku cuma mau membagi sedikit kekagumanku atas negeri kepulauan tempat Beta dibesarkan ini.
     Ada yang sungguh salah dengan negeri ini, kan? Menurutmu Tuan Blog?
     Tapi Aku suka bagaimana di negeri ini aturan 'Kau Tidak Bisa Menyalahkan Orang Hanya Karena Dia Berbeda Pendapat Denganmu' dijunjung sedemikian tinggi. Saking tingginya, saat dia jatuh, entah sengaja atau tidak, dia pecah. Berserakan, dan hampir mustahil disatukan kembali. Atau karena saking tingginya dia malah tak tergapai, dilihat pun susah, apalagi diraba. Lupa cara turun juga barangkali. Ya, dan kamu juga nggak bisa menghukum orang berdasarkan bukti yang 'kurang cukup'. Kau tidak bisa menghukum tersangka kasus tindak pidana korupsi hanya karena mereka tidak bisa membuktikan kalau mereka tidak korupsi.
     Tapi Aku suka bagaimana di negeri ini epidemi kemiskinan dibiarkan. Dibiarkan berkembang biak. Keluarga Berencana dengan slogan 'Dua Anak Cukup' tidak merambah mereka. Aku suka itu, jadi kaum menengah masih bisa bangga dan merasa kaya. Atau mereka yang masuk dalam daftar 100 orang paling kaya menurut Forbes tak perlu khawatir kalau-kalau ada orang yang menyamai mobil seharga 2 milyar mereka.
     Aku suka bagaimana berlikunya labirin birokrasi di negeri ini. Jadi setelah berada ditengah-tengahnya, kita tak perlu khawatir lagi. Karena kita sudah lupa apa tujuan kita saat kita berniat memasukinya. Dan kita bisa melanjutkan hidup dalam arus rutinitas lagi.
     Aku suka bagaimana di negeri ini desisan uang paling lembut bisa mengalahkan jeritan membahana perut-perut kelaparan. Jadi jangan salahkan pemuda dua puluh tiga tahun dengan tunjangan bulanan dari orangtua yang tak menentu, hanya akan melambai-tangan dan abai, saat banci-banci berjoget atau ibu-ibu dengan alat musik yang terbuat dari belahan bambu dipadu tutup-tutup botol kaca minuman soda beraksi di depannya. Karena setiap orang rindu gemerencing uang logam.
     Aku suka bagaimana di negeri ini sawah-sawah dialihgunakan menjadi bangunan-bangunan. Dengan itu beban kerja para petani bisa berkurang. Karena mereka tidak perlu lagi menggarap sawah, baik milik sendiri atau jadi buruh.
     Aku suka bagaimana baiknya orang-orang di negeri ini, memberikan mereka yang ingin memancing di laut kita, kebebasan mutlak. Dan ada yang bilang, "seiring datangnya kebebasan muncul pula tanggung jawab." Lalu nelayan berkata, "kami jual ikan itu, jika ada sisa setelah kami makan."
     Aku suka bagaimana bersahajanya kepala negara kita. Beliau meminta maaf atas asap hasil pembakaran hutan bakal kebun sawit yang mengalir ke negara tetangga. Katanya kalau hidup bertetangga nggak boleh saling curi. Kecuali curi pandang mungkin. Dan kita harusnya bangga menjadi salah satu penghasil bio-diesel terbesar di dunia. Eh, iya kan? Pun harusnya bangga menjadi salah satu negara dengan deforestasi tertinggi di dunia. "Seluas 360 stadion sepak bola setiap satu jam," katanya. Apa iya? Untungnya stadion sepak bola di negeri ini..., (maaf Aku nggak bisa menemukan kata yang tepat). Dan bangga bisa mendenda tersangka kasus pembalakan liar dengan jumlah yang sama seperti yang dihasilkan dari penjualan kayunya. Tak sadar banyaknya uang tak berbanding lurus dengan cepatnya reforestasi. Tapi Aku tidak bangga menggunakan kata deforestasi-reforestasi di sini.
     Aku suka bagaimana ...
     Entahlah Aku hanya membacanya di surat kabar harian. Atau menontonnya lewat berita malam di televisi. Dan kata mereka benda itu bisa merusak otakmu.
     Aku suka bagaimana mereka berdebat tentang mobil murah. Dan, "masa bodoh dengan alat transportasi umum." Jadi seorang pengangguran yang memilih naik motor dari pada Trans Jogja tidak bisa disalahkan.
     Aku suka bagaimana anak muda-anak muda di negeri ini lebih memilih berinteraksi dengan alat-alat mutakhir mereka daripada ngobrol dengan teman mereka saat mereka ada di kantin kampus. Jadi seorang mahasiswa yang sudah muak dengan obrolan tentang pertandingan bola semalam, Vickinisasi, rencana setelah wisuda, hal personal dan apalah, bisa bebas mengamati orang -orang ini. Dan kata mereka, "Messi Autis." Siapa juga yang nggak?

Aku Suka Bagaimana....,Senin 23 September 2013
Setjoeil Asa

Selasa, 10 September 2013

Berkubang Di Kolam Masa Lalu

Yth. Tuan Blog (maaf jika ada kesalahan dalam penulisan nama dan gelar, itu sama sekali bukan merupakan kesengajaan)

Semoga Kamu tidak bosan mendengar keluh kesahku tentang salah jurusan. Apa Aku sudah pernah cerita tentang itu, salah jurusan. Tentang kenapa bukannya Aku memilih masuk ke jurusan lain ketimbang jurusan yang sekarang ini. Siapa juga yang tertarik dengan Akuntansi, ya kan? Kamu tertarik? Kenapa dulu Aku tidak memilih masuk ke jurusan Sastra Indonesia misalnya, atau Sejarah umpamanya. "Desain Komunikasi Visual atau Pariwisata!" teriak Suara dalam Kepala. "Bukankah dulu Kamu pernah bilang Kamu tertarik keduanya waktu ngobrol dengan Kepala SMA?" Ya, kenapa bukan itu semua?
     Aku beri tahu rahasia yang sudah lama kupendam. Meski sepertinya Aku pernah menguaknya dengan media lain. Sesuatu yang lebih konvensional. Tapi itu bukan masalah. Masalahnya di sini, dalam topik ini, adalah dulu Aku cuma anak ingusan lulusan SMA yang tak tahu apa-apa tentang yang namanya kuliah. Jurusan apa yang kutahu ada di kampus? Tak satupun. Bahkan kalau ditanya apa itu jurusan atau apa itu kampus Aku tidak yakin Aku bisa menjawabnya sesuai definisi yang diterima umum.
     Habis SMA, Aku sebenarnya cuma ingin main bola. Tapi bukan sepenuhnya ingin jadi atlet. Dan Aku bersyukur dengan itu, mengingat bagaimana sistem persepakbolaan di negeri ini. Main bola dan kerja paruh waktu, itu pasti menyenangkan. Tapi apa Kamu tahu? Kurasa tidak, kan? Aku hidup di lingkungan yang sangat tidak mendukung bocah delapan belas tahun lulusan SMA untuk pergi mencari kerja paruh waktu. "Merantau?" Apalagi. Memangnya siapa Aku ini, Eko Uwais? Maaf mbak Audy, bukannya Aku menyalahkan lingkungan, eh, maksudku menyeret-nyeret nama suami mbak. Dalam keluarga ini ada satu prinsip, terutama yang dijunjung begitu tinggi oleh ibu rumah tangganya, pokoknya harus kuliah. Ayah tak terlalu ambil pusing dengan keadaanku waktu itu, kelihatannya. Entah antara dia percaya penuh kepadaku atau dia memang sudah tidak peduli dengan apapun yang kulakukan dan apapun jadinya Aku.
     Akhirnya dengan dorongan 50% dari ibu dan 50% dari hati, Aku mendaftar ke salah satu universitas negeri di kota yang katanya punya hati yang nyaman ini. Ralat, mungkin persentase yang kupaparkan di sini tidak mewakili kejadian sesungguhnya. Jujur mungkin itu akan lebih adil jika kuberi 70-30, dengan kemenangan dorongan ibu tentunya. Dan ini yang paling penting dari semuanya, doa yang kupanjatkan sebelum kukerjakan soal ujian jahanam itu: "semoga Aku tidak diterima." Terdengar sombong? Karena menurutku, terjun ke dalam jurang yang tak kau tahu kedalamannya, juga binatang buas apa yang menunggumu di dasarnya, adalah hal konyol, apalagi saat kau tahu kau tidak punya cukup peralatan pendukung, dan lebih penting lagi nyali.
     Tolong jangan samakan Aku dengan kuda nil. Kuda nil yang suka berkubang. Berkubang di kolam masa lalu. Aku tak lebih dari seorang manusia. Apa yang lebih buruk dari itu, ya kan? Akhir cerita ini, sebentar. Cerita ini belum berakhir. Sulit mengatakan bahwa cerita ini akan berakhir dalam waktu dekat. Meski aku berharap demikian. Kurasa cerita ini berakhir bersamaan dengan nafasku yang terakhir. Aku masih tersesat di daerah antah-berantah dan merasa sekarat. Buta arah, entahlah.

Seraya berkubang di kolam masa lalu, Setjoeil Asa
10 September 2013

Rabu, 21 Agustus 2013

Finding Forrester (2000)


"Kunci pertama menulis adalah menulis. Bukan berpikir." (William Forrester)
 
Jamal remaja enam belas tahun dengan dua bakat menonjol. Bolabasket dan tulis-menulis. Suatu ketika salah satu sekolah swasta di pesisir timur mengendus potensinya lewat tes evaluasi yang diadakan Kemendikbud.
     Sebelum pindah ke sekolah itu Jamal secara 'tak sengaja' bertemu satu orang tua. Seorang yang kelak akan memberinya banyak pelajaran tentang tulis-menulis. Dia William Forrester, pemenang Pulitzer lewat satu-satunya buku karyanya, 'Avalon Landing'.
     Apa selanjutnya? Tonton saja filmnya....
     Satu film yang bisa membuat orang berpikir, "semua orang bisa menulis." (Jadi, menulislah!)
     "Banyak buku bagus dan kutipan di dalamnya."
     Tapi sepertinya karakter dan buku itu fiksi.

Film: Indowebster
Subtitle: Subscene

Senin, 12 Agustus 2013

Omong Kosong Filsafat Perkembangbiakan



12 Agustus 2013. Sehabis menonton Source Code (2011). Aku punya pikiran ada sedikit alur cerita berlubang di akhir film. Tapi itu Cuma pengamatan sekilas penikmat film awam.
                Antonio Damasio dalam bukunya, Descartes’s Errors menulis, ada empat unsur pembentuk manusia. Salah satunya ‘Kerapuhan’. Jangan salahkan manusia jika mereka tidak bisa menahan godaan dari monster kecil lucu yang mereka namakan anak-anak. Menggemaskan, lucu, imut, mungil, manis dan apalagi madah yang layak bagi mereka. Tak ayal banyak dari mereka terseret arus ini: berkembang biak (maafkan jika sebutanku untuk hal ini agak kasar).
                Yang berlawanan saling melengkapi. Contranta Sunt Complementa(?). Aku ambil kata-kata bagus itu dari prinsip hidup Niels Bohr. Lagipula, “dan segala sesuatunya Kami ciptakan berpasang-pasangan”, kan? Monster kecil lucu itu datang ke dunia satu paket. Suka dan duka. R.V yang dibintangi Robin Williams sangat mewakili. Saat kecil anak gadis bisa sangat meyenangkan. Dia bilang, “Aku nggak mau nikah. Aku pengin tetap di sini dengan Ayah terus.” Beranjak dewasa, rasakan sendiri akibatnya.
                Apapun itu, apa dua anak itu tidak berlebihan, hei KB? Maukah kamu berpikir lagi tentang pondasi hidupmu, wahai Keluarga Berencana? Cukup sampai di sini saja omong kosong filsafat perkembangbiakan ini. Sampai jumpa di lain tulisan. Kuharap yang selanjutnya lebih baik.
Setjoeil Asa

Minggu, 11 Agustus 2013

Memutus Rantai Penderitaan

Budhe bilang, "dulu pas kecil diceboki, waktu tengah malam sakit ikut terjaga. Sekarang merawat yang seperti ini nggak ada apa-apanya." Beliau bicara tentang ibu beliau yang sudah tua nan sakit-sakitan.
     Terus Ibu meneruskan ke Aku. Dengan pemikiranku atau usia yang sekarang, sayangnya Aku punya sudut pandang berbeda. Siapa yang meminta seorang anak untuk dilahirkan? Tapi tenang Aku akan memutus rantai penderitaan ini. Caranya: jangan berkembang biak. Entah sampai kapan pemikiran ini bertahan.

Jumat, 09 Agustus 2013

Seperti Banyak Hal Lain Di Dunia

Apa sepadan,
     Bekerja lima hari sepekan, dua belas jam perharinya?
Ditukar dengan,
     Satu hari satu malam bertemu dengan sanak saudara?
Dalam sedasa.
Apa itu yang namanya hidup? tak meyakinkan. Tapi kurasa,
untuk sebagian itu cukup. Ya toh, kan hidup itu selera?
Seperti banyak hal lain di dunia.


Satu Ide: Rancangan Pengawal Satu Buku

     "Apa yang harus kutulis?" Itu yang kutanyakan saat dia memberiku buku catatan.
     "Kamu hanya harus menjawab pertanyaanmu dalam buku itu, kan?" Jawabnya.
     Aku membiarkan buku ini kosong untuk beberapa lama, karena terus terang aku belum bisa menjawab pertanyaanku sendiri. Apa aku harus menulis tentang diriku? Aku tak tahu apa aku harus memperkenalkan diri di awal buku ini.
     Sampai pada suatu ketika, saat itu terjadi. Kejadian tragis yang merenggut nyawa si pemberi buku. Itu musibah, saat itu. Tapi sulit kukatakan apakah itu jadi berkah? Saat ternyata kejadian itu memberiku jawaban pertanyaanku.
     Aku tak akan menulis tentang diriku. Itu pasti akan jadi cerita paling membosankan. Aku akan menulis tentang satu orang.

Jumat, 19 Juli 2013

Sayembara Kebahasaan dan Pramoedya

Di salah satu bab dalam buku '111 Kolom Bahasa Kompas', Andre Moeller (maaf jika ada kesalahan penulisan nama) menulis tentang sebuah sayembara kebahasaan. Beliau bilang di negara asalnya, Swedia, salah satu surat kabar pernah mengadakan lomba untuk menentukan kata apa yang paling indah dalam bahasa Swedia. Beliau pun berandai jika hal itu terjadi di Indonesia.
     Apa kata terindah dalam bahasa Indonesia? Perkenankan saya ajukan kata kata. Kenapa kata? Karena pada mulanya adalah Kata. Bukankah 'terindah' itu juga suatu kata? Lalu kata menjelma menjadi kalimat. Kalimat dirangkai menjadi sebuah cerita. Bukankah setiap hidup manusia adalah sebuah cerita yang ditulis oleh jari-jari keyakinan mereka masing-masing?
     Kata-kata adalah Tuhan. Karena Tuhan mengejawantah lewat Kata-kata.
     Oh iya, buku ini juga beberapa kali menyebut nama Pramoedya Ananta Toer. Sebut nama itu, dan sebuah buku dengan sendirinya akan menjadi semakin menarik. Salah satu ranah yang disenggol ialah perihal nobel yang katanya seharusnya sudah ada digenggaman beliau. Dalam salah satu bab lain, Salomo Simanungkalit, menyinggung pidato Pram di hari lahirnya yang ke-80. Dalam pidatonya Pram menyinggung soal tsunami Aceh.
     Pram percaya Aceh akan bangkit kembali karena keberanian rakyatnya yang khas. Keberanian rakyat Aceh adalah keberanian individu. Keberanian rakyat Indonesia dari suku-suku lain adalah keberanian kelompok. "Itu yang membedakan Aceh dengan daerah-daerah lain," kata Pram.
     ... "Dalam hal watak dan keberanian, saya mengatakan di Aceh banyak seorang, sementara di Jawa dan daerah lain banyak orang."
     ... kawan saya yang menggolongkan Pramoedya dan sedikit sastrawan kita ke dalam masyarakat bahasa yang kewarganegaraannya adalah kata.
      Kalau saja pertanyaan, apa kata terindah dalam bahasa Indonesia ditanyakan kepada Pramoedya, apa jawaban beliau ya?

Senin, 15 Juli 2013

Nietzsche, Sabda Zarathustra: Beberapa Kutipan

"Sesungguhnya manusia adalah arus yang tercemar. Seseorang harus menjadi seperti laut, untuk menerima arus tercemar tanpa menjadi kotor." (50)

"Tidakkah yang paling berat itu adalah ini: merendahkan diri untuk membunuh keangkuhan? Mempertontonkan ketololan untuk mencemooh kebijaksanaan kita sendiri?" (69)

"Tapi, pikiran itu satu hal, sementara perbuatan adalah hal lain, dan pikiran tentang perbuatan adalah hal lainnya lagi. Roda sebab-akibat tidak berputar di antara mereka." (87)

Bab 7 Membaca dan Menulis (90-92)

Sabtu, 13 Juli 2013

Barang Ini atau Barang Macam Itu

Barusan tadi ada sms masuk. Nomor asing, promosi diskon Blackberry. Sebentar kemudian, halaman kosong pesan baru sudah terisi: "Nggak semua orang butuh atau ingin BB." Urung dikirim.
     Memang mungkin tidak semua orang ingin barang ini atau barang macam itu. Seperti juga mungkin tidak semua orang ingin berdagang barang ini atau barang macam itu. Tahulah, hidup. Orang-orang hanya bertahan hidup.
     Jenius adalah mereka yang bisa menjual barang yang tidak dibutuhkan. Atau mungkin juga orang macam ini bisa disebut penipu. Tukang jual kecap. Tapi, apa memang ada orang yang membutuhkan barang ini atau barang macam itu?
     Saudagar barang ini atau barang macam itu cuma segelintir yang bisa disebut... oportunis? Para cendekia dalam hal menyerobot kesempatan tipis. Bukan pencari kerja katanya. Pencipta keberuntungan mereka sendiri. Kalau Zarathustra bilang, "Ia yang memasak semua kesempatan dalam periuknya sendiri. Dan setelah matang barulah mereka menerimannya sebagai masakannya."
     Mau dengar sudut pandang lain. Orang-orang macam ini adalah perpanjangan tangan tangan panjang korporasi gede penjaja barang ini atau barang macam itu tadi. Para pelanggeng sistem yang kini mencengkeram dunia. "Aih, ngomong apa lagi Kamu. Ngelantur saja." Suara dalam Kepala, tolong hening sejenak. Tapi memang, apa yang kutulis sekarang ini? "Kalau nggak beneran tahu tentang satu hal, lebih baik diam saja." Bukan wejangan buruk, harus kuakui.
     Sms itu menyela pemikiran tentang hidup di alam bebas. Aku tidak menyebutnya alam liar. Adakah yang lebih layak disebut liar dari pada peradaban manusia kini? Iya peradaban. Masyarakatnya dengan pencakar langit mereka. Sistem, uang, barang ini atau barang macam itu, baik dan buruk, media: cetak maupun elektronik, kebebasan atau yang mereka sebut demokrasi, religi, negara, pemerintah.
"Ah, Kamu cuma kebanyakan nonton 'Into the Wild."
Paling tidak itu film bagus, kan?

Selasa, 02 Juli 2013

Terjaga

Apa tidak bisa tidak usah terjaga sekitar jam 3 pagi, kalau malamnya (mencoba) tidur sekitar tengah malam?
Tapi bulan menghibur dengan senyumnya dini hari ini. Nampaknya seluruh lekuk tubuh bulan kali ini dicipta untuk menghadirkan keriangan.
Bab 9 Sabda Zarathustra, 'Para Pengkotbah Kematian', ikut mengulur tangan. Ikutan menampik galau.
Dan 2 Juli 2013 itu Selasa. Selasa itu jadwal bimbingan di semester pendek 2012/2013. "Jam 10," kata Tukang Bimbing. Semoga acc bab 3. Aku hiraukan nasihat William Forrester mengenai konjungsi di awal kalimat. Toh, Jamal bilang, Forrester juga pakai.



Rabu, 26 Juni 2013

Amarah Oleh John Steinback (Terjemahan Oleh Sapardi Djoko Damono)

Buku bagus. Mungkin jadi tambah sedikit tahu kenapa buruh berdemonstrasi. Kalau perut sudah menjerit, apalagi yang bisa diharapkan. Novel tahun 1930-an dan masih relevan hingga sekarang.
     Beberapa dari spesies ini dikaruniai ilmu beberapa derajat daripada yang lainnya. Dari situ mungkin mereka punya peluang lebih bagus buat meraih rejeki. Tapi bukan berarti dengan ilmu dan rejeki yang lebih tinggi mereka bisa menginjak yang dibawah mereka. Lebih tinggi harusnya menjadi naungan. Jadi perlindungan. Berlindung dari terik menggigil dan hujan menyengat.
"Semakin tinggi pohon semakin kuat pula hembusan angin."
     Bukan niat pengin jadi polisi moral. Hanya saja dunia yang kita tinggali sekarang ini, ada perasaan aneh mengenai itu. Bukankah ada yang salah dengan sistem peradaban ini? Sistem ini membiarkan mereka yang dipanggil miskin tetap tertinggal. Itu Muhammad Yunus atau siapalah yang bilang. Atau media yang menyetir apa yang harus dikonsumsi, atau pandangan tentang satu hal. Semua ini cuma bikin paranoia. Entah mau ke arah mana lagi tulisan ini.

Rabu, 19 Juni 2013

BBM Subsidi, Piala Konfederasi dan Perang Penguasa-Oposisi

Harga BBM bersubsidi lagi jadi bintang tengah Juli ini. Mengubur gempita Piala Konfederasi 2013 Brazil, EURO U-21 Israel dan Piala Dunia U-20 Turki. Mau naik katanya mereka itu, harga diri si premium dan si solar bersubsidi. Kata lain, eufimismenya, subsidinya dipotong. Potongan subsidinya buat BALSEM (emang keseleo rakyat ini), beasiswa dan beasiswi (ingat emansipasi Bung! Meski harga BBM tak lagi bisa ditoleransi), Raskin (negeri ini memang parah. Bukan hanya rakyatnya miskin, berasnya juga miskin. pengetahuan juga miskin, miskin rasa syukur) dan lain sebagainya. Ah sudahlah, biarlah mahasiswa bakar ban bekas, menstop truk terus dipakai buat panggung orasi. Aku tak banyak tahu soal ini. Meski aku baru saja rampung baca Catatan Seorang Demonstran-nya Soe Hok Gie. Aku bukan aktivis. Aku hanya fatalis.
     Bicara tentang Piala Konfederasi, di Brazil sana juga ada demonstrasi menolak itu ajang. Seperempat atau seper-berapa rakyatnya masih di bawah garis kemiskinan, enak saja pemerintahnya menghambur uang buat berdiri stadion-stadion. Ah manusia dengan masalahnya. Koreksi, manusia-manusia dengan masalah-masalahnya. Jamak.
     Sementara itu, di timur tengah. Suriah. Arab Saudi bilang, "Atas nama perdamaian, kuberi kalian, wahai para oposisi, senjata untuk berperang. Segera selesaikan pertikaian kalian dengan penguasa."
     Tak mau kalah (seperti biasalah) AS juga sudah setuju untuk membantu oposisi dalam perang saudara ini.
     Di sisi lain Rusia mengirim bantuan senjatanya untuk pihak penguasa.
     Kalian ingin perdamaian tapi malah kasih serdadu-serdadu senjata buat perang. Kalian ingin tegakkan demokrasi tapi malah habisi kaum tak sepaham. Perdamaian bukan berarti tanpa perbedaan. Perbedaan ada bukan untuk dibasmi. Ah, nulis apa sih aku ini. Sudahlah....
     Ini barusan dapat kutipan,
"Peace cannot be keep by forced. It can only be achieved by understanding." (Einstein)
     Oh iya, baru ingat. Padahal di Turki juga sedang ada demonstrasi besar-besaran. Kurasa Israel juga bukan ladang perdamaian.

setjoeil asa

Kamis, 06 Juni 2013

Gadis Penjaga Toko Buku

"Jadi," kata Orang Asing, "Tuhanmu masih bermain curang?"
"Kupikir Dia bisa saja lebih curang daripada ini."
     Mereka berdiri, hampir menginjak garis kuning. Lalu si Orang Asing masuk ke salah satu gerbong kereta. Dia duduk dan senyum tipis samar-samar tergambar diwajahnya. Dia memandang ke bawah, ke tiket kereta tertanggal 26 Januari 2012 yang dipegangnya.
     Di luar kereta, Gadis Penunggu Toko Buku berpaling dari pintu gerbong. Dia membuka buku yang tadi diberikan si Orang Asing. Pada halaman paling depan ada tiga tulisan. Di pojok kanan atas paraf dan tanggal, '19 Jan '12'. Di tengah halaman ada judul buku--dalam bahasa terjemahan. Sedikit ke bawah, ada tulisan diagonal, 'Tidak ada yang namanya kebetulan :)Apa kau percaya dengan pertanda-pertanda? hal. 170.'
     Dia membuka halaman itu. Dua alinea digarisbawahi, hampir dua alinea. Satu kalimat di alinea kedua tampaknya sengaja dilewati. Senyum yang sama terlihat lebih jelas di wajahnya.
     "Setiap pencarian dimulai dengan keberuntungan bagi si pemula. Dan setiap pencarian diakhiri dengan ujian berat bagi si pemenang." ..., saat-saat paling gelap di malam hari adalah saat-saat menjelang fajar.

***

      Dia berdiri, diapit oleh dua rak. Rak itu sedikit lebih tinggi dari dia, 180 cm mungkin. Entah terbuat dari kayu apa. Semua bagiannya dipernis. Sungguh tak ada yang istimewa dari keduanya. Tetapi deretan buku yang terpajang di bagian paling atas rak--tepat di mana dia menatap--selama hampir tujuh menit terakhir ini telah menangkap pandangannya.
     "uh.., jadi, yang ini ya...," pikirnya. Tangannya hampir meraih buku bercover warna dominasi merah marun gradasi hijau pudar.
    "Kalau seseorang sungguh-sungguh menginginkan sesuatu, seisi jagat raya bahu-membahu membantu orang itu mewujudkan impiannya."
      
Januari 2012
slim

Senin, 03 Juni 2013

Wajib Militer

Baru-baru ini wacana wajib militer membahana. Lagi digodok. Sebutannya komponen cadangan atau apalah. Mengirit anggaran katanya. Biar yang diirit itu bisa masuk ke kantong yang lain mungkin.
     Kalau boleh beropini, aku termasuk salah satu yang berharap bahan itu masak tepat pada waktunya. 2014 kata mereka. Bukan apa-apa, hanya ingin menukar hidup yang sekarang dengan satu yang baru. Lumayanlah bisa peroleh keterampilan berpistol-pistol ria. Ditambah maracik bom sendiri.
     Sudah tangkas pakai bedil, bisa tembak sasaran. Cuma ingin menanam satu pelor di otak masing-masing manusia-manusia ini: mereka yang di kolom-kolom surat kabar harian disebut artis peran (beberapa), politisi-politisi bertopeng (kias), birokrat-birokrat korup (jelas), dan lain sebagainya dan lain sebagainya. Racik peledak buat robohkan gedung-gedung: bank, asuransi, mini market waralaba dan kakak-kakaknya (supermarket-hypermarket), MPR-DPR (pasti), dan lain sebagainya dan lain sebagainya.
     Diperkirakan 160.000 orang direkrut sebagai komponen cadangan hingga 2029 mendatang. Jumlah lumayan buat berdirinya gerakan bawah tanah. Misinya: ya yang di atas itu.
Sudah terlalu lama Israfil menganggur. Dia cuma mau menunggu perintah Penciptanya. Misi tercapai, bisa memojokkan malaikat satu ini memainkan alat musiknya. Tiup yang keras. Biar Dajal bangun kepagian.
     "Kenapa?" tanya suara dalam kepala.
     Kupikir kau yang paling mengenalku. Cuma ingin saat peluru terkubur dalam otak mereka, orang dengan profesi ini mendapat pencerahan. Berharap peluru itu bisa meruntuhkan kerangka pikir mereka. Dengan begitu bisalah mereka membangaun satu lagi yang baru. Yang bagus.
     Yang bagus itu kiamat datang cepat. Paling bagus, sekarang juga.
     "Kamu pikir kerangka pikirmu itu terbaik?" sentaknya, "mungkin juga kamu cuma iri. Munafik! Hadapi hidup. Jadi fatalistik cuma gara-gara silau suksesnya orang lain. Otak kamu yang perlu ditanam ideologi baru. Buang jauh itu pesimisme dan skeptisisme."
     Ah, mungkin diri ini cuma kebanyakkan nonton film macam V for Vendetta dan Fight Club. Bagaimanapun itu film hebat nan favorit. Juga diri ini lagi sibuk baca bukunya Soe Hok Gie, Catatan Seorang Demonstran. O Blog, Lain kali akan kuceritakan tentang buku itu jika selesai dibaca. Satu kondisi: ada mood.

entahlah, 3 Juni 2013
setjoeil asa
    

Minggu, 02 Juni 2013

Kematian Seekor Tikus

"Berbahagialah mereka yang mati muda."
2 Juni 2013 itu Minggu. Itu juga adalah hari perburuan. Belum kuceritakan tentang perilaku tikus jaman sekarang, kan Blog? Tapi akanku persempit. Tiga tikus di rumah orangtuaku yang dibahas di posting ini.
     Jelas ini tak ada hubungannya kenapa koruptor dianalogikan dengan tikus. Tiga tikus kontemporer itu (jika boleh kusebut demikian, karena memang mereka progresif) adalah penghuni lemari yang menempel di dinding rumah. Lemari dekat kamar mandi lantai bawah. Mereka pemberani tendensi nekat, nocturnal, pencuri makanan malam hari. Kau bisa saja berdiri di tangga dan melihat mereka berkeliaran di lantai dapur yang bersatu dengan ruang makan. Mereka mondar-mandir, malah naik ke tangga, mendekat. Ada apa dengan tikus generasi Z ini? Walaupun aku tidak yakin mereka bisa hidup lebih dari selustrum.    

Jumat, 31 Mei 2013

Kutipan dari Pintu Terlarang (2009)

"Ibu tahu nggak? Kalau sebenarnya nggak ada seorang anak pun yang ingin lahir di dunia ini. Hm... Setiap anak lahir karena konsekuensi hubungan bapak dan ibunya. Tapi sebagian orang tua masih bisa dimaafkan karena mereka ngasih kasih sayang. Ngasih cinta, Bu. Bukan cuma penderitaan dan sakit saja."

'The Great Dictator' (1940) atau The Great Orator?

Maaf tapi aku tidak ingin menjadi Kaisar.
Itu bukan pekerjaanku.
Aku tak mau memerintah atau menaklukkan siapapun.
Aku mau membantu semua orang jika mungkin: 

Yahudi, kafir, hitam, putih.
Kita semua ingin saling membantu.
Manusia adalah seperti itu.
Kita ingin hidup sama-sama bahagia, bukan penderitaan.
Kita tak mau saling membenci.

Di dunia ini, bumi kaya dan bisa menyokong semua orang.
Jalan hidup bisa bebas dan indah tapi kita telah kehilangan jalan itu.
Ketamakan telah meracuni jiwa manusia, yang telah membatasi dunia dengan kebencian, telah menuntun kita pada pertumpahan darah.

Rabu, 29 Mei 2013

Gie dan Jesus

"Harusnya bukan hanya Jesus yang dibangkitkan setelah hari ketiga kematian-Nya. Setelah tiga dekade Soe Hok Gie patutnya juga dibangkitkan dari kuburnya."
     Ya, diri ini juga bertanya, kenapa yang diungkit-ungkit di tulisan sebelumnya perihal-ihwal suicidal nampak hanya masalah-masalah itu-itu saja (sosial?). "Bukannya ini lebih ke psychological?" interupsi suara dalam kepala. Bagaimana dengan politik? Dalam negeri tentu saja. Bukankah ini juga berhubungan intim dengan masalah-masalah (sosial?) tadi itu yang disebutkan? Birokrasi Birokrat, maaf, birokrat-birokrat korup, ini dalam bentuk jamak. Menurut KBBI, jamak adalah bentuk kata yang menyatakan lebih dari satu atau banyak. Sebagai adjektif, bisa juga berarti lazim, tidak aneh, lumrah wajar. Dus, birokrat-birokrat korup itu sebenarnya banyak atau lumrah, atau malah keduanya?
      Ah, Verdomme, membaca media cetak atau menonton sekaligus mendengar media elektronik menjadikan diri ini fatalistik. Masalah ini dipaparkan dengan cara yang mengagumkan oleh Puthut EA dalam Orang-orang bergegas-nya.
      Mark up anggaran pengada-adaan simulator SIM (Sialan, sampai umur 23 bahkan diri ini belum juga punya SIM) di tajuk rencana, dipadu gadis 20 tahun dalam artikel berjudul "Sexy Itu Tidak Harus Telanjang!" disertai fotonya (dalam busana trendi yang mungkin bisa disebut setengah telanjang atau malahan klasik kolonial? Karena bukankah di jaman kolonial wanita Indonesia selalu tampil sexy?) di halaman Entertainment. Badak! Ada yang benar-benar keliru dengan negeri ini, kan?
     Namun, memang tidak semua orang bisa berpikiran seperti ini. Mahasiswa sudah sibuk cari gelar kesarjanaan. Sudah lulus lalu sibuk cari kerja. Setelah sudah lebih dulu sibuk cari pacar sambl dulu sibuk kuliah, mereka nikah. Nikah lalu punya anak (harap dicatat: tidak seorang anakpun minta dilahirkan. Sungguh egois punya anak dalam kondisi seperti ini. Berlagak bisa membahagiakan mereka. Padahal yang kalian lakukan hanya membawa satu jiwa lagi dalam penderitaan terdalamnya, hidup di dunia.). Lainnya masih banyak yang harus dipikirkan dengan hanya bermodal ijazah paket C (aku selalu suka penggalan dari puisi Ida Oka Ayu ini). Lainnya lagi, entahlah, apa dipikir aku bisa baca pikiran orang lain?
     Ah, sudahlah, lama-lama aku malah ikutan dua orang itu tidur-tiduran di rel kereta api. Isritirahatlah dalam damai kalian di sana. Yang sudah mati tidak usah diberi rasa iba. Mereka sudah peroleh satu taman mahaluas dengan tujuh bidadari menemani. Simpan rasa iba untuk mereka yang masih hidup. Bukankah tak ada yang lebih mengenaskan daripada hidup di dunia ini?

sehabis baca koran dan nonton tv, 29 Mei 2013
setjoeil asa

Selasa, 28 Mei 2013

Kutipan dari Burung-Burung Manyar-nya YB. Mangunwijaya

"Aku tahu, tidak pernah manusia matang untuk menangani hidupnya sendiri pun." (hal. 57)

"Mengapa hidup tidak bisa sederhana? Mengapa selalu segala yang indah berdampingan dengan yang kotor dan berbau?" (hal. 61)

"Orang-orang negeri ini pandai mempermanis berita-berita pahit." (hal. 62)

"Tetapi wanita memang rahasia besar. Lelaki hanya bungkusan rahasia itu, bahkan biasanya bungkusan yang kaku dan lekas robek." (ibid)

Jumat, 03 Mei 2013

Dari 'rumahlebah ruangpuisi'

Ahmad Nurullah

Pada Tapal Batas Waktu

Janganlah mencari tahu apa yang akan terjadi besok
--Horatius

Tapi, kita langgar nasihat itu. Kita terus melangkah:
membaca, bertanya, menduga-duga: Apa yang akan terjadi,
besok? Akan turun hujankah pada hari pengantinmu,
Kamis depan?

Saat kau terjaga dari tidur, adakah rumahmu masih utuh
terpacak? Akan membuncit lagikah perut istrimu,
akan beranak lagikah anjingmu, tahun depan? Dua hari lagi
suamimu pasti studi di Holland?

 "Janganlah mencari tahu apa yang terjadi besok.
Jangan mencari tahu apa yang akan terjadi di masa depan."

Tapi, siapa tak mau mencari tahu apa yang akan terjadi,
besok--di negeri ini, di hari-hari depan? Seusai makan
di sebuah kafe, adakah tubuhmu masih bulat, meja dan kursi
masih tegak, dan kepalamu masih setia tinggal pada lehermu,
yang jenjang?

"Janganlah mencari tahu apa yang akan terjadi besok.
Besok adalah rahasia waktu. Masa depan adalah daerah Tuhan."

Tapi, kita terus langgar nasihat itu, dengan berani:
dengan kaki, dengan tangan. Dengan degup jiwa, dengan segenap
Kesadaran. Sebab, sejak tangis pertama pecah, sejak popok dibalutkan,
Besok tak dapat dihindar. Masa depan tak terelakkan.

 "Tapi, apa yang akan terjadi besok?"

Bulan bergerak. Detik-detik terus berguguran. Tapi kita
tak henti melangkah. Tapi kita tak kunjung berhasil meraih jawab
Sampai, pada tapal batas waktu, kita jera bertanya, dan kita
tak membantah: Besok adalah sebuah pintu--dari mana kita masuk,
dan kita tak kembali.

Jakarta, 2006

Senin, 22 April 2013

Puisi Gie

Ada orang yang menghabiskan waktunya berziarah ke mekkah
Ada orang yang menghabiskan waktunya berjudi di mirazah
Tapi aku ingin habiskan waktuku di sisimu sayangku
Bicara tentang anjing-anjing kita yang nakal dan lucu
Atau tentang bunga-bunga yang manis di lembah mandalawangi

Ada serdadu-serdadu amerika yang mati kena bom di danau
Ada bayi-bayi yang mati lapar di biafra
Tapi aku ingin mati di sisimu manisku
Setelah kita bosan hidup dan terus bertanya-tanya
Tentang tujuan hidup yang tak satu setan pun tahu

Mari sini sayangku
Kalian yang pernah mesra
Yang pernah baik dan simpati padaku
Tegaklah ke langit luas, atau awan yang mendung

Kita tak pernah menanamkan apa-apa
Kita tak kan pernah kehilangan apa-apa

Nasib terbaik adalah tidak pernah dilahirkan
Yang kedua, dilahirkan tapi mati muda
Dan yang tersial adalah berumur tua
Berbahagialah mereka yang mati muda

Makhluk kecil, kembalilah dari tiada ke tiada
Berbahagialah dalam ketiadaanmu…

Soe Hok Gie
Selasa, 11 November 1969

Jumat, 19 April 2013

Puisi Senja

Akan kutulis satu puisi.
Tentang malam yang tak lagi mau disebut kelam.
Iri oleh pendahulunya, senja,
yang entah kenapa, selalu saja dipuja.

Akan kugubah satu syair.
Tentang fajar, tentang pagi yang meninggi.
Diiringi sorak sorai
pedagang-pedagang
di pasar-pasar.

Akan kucipta satu sajak.
Tentang siang yang beranjak senja.
Apa ini tidak menjadi terlalu rutin bagimu,
senja?
Senja, bukan hanya kau yang bisa berpuisi.

Bersandar di dinding pemotivasi diri, 17 April 2013
Setjoeil Asa

Minggu, 14 April 2013

Dua Lagi di atasnya, Kan?



Terima kasih Tuhan. Puji syukur kali ini bersungguh-sungguh memanjat ke Kamu. Terima kasih aku hidup. Terima kasih atas pemberian-Mu yang satu ini.
            Selama ini aku memang bodoh. Tepatnya memiliki pemikiran tolol. Sudut pandang ngawur. Persepsi sembrono.
            Masih banyak hal bisa diperbuat. Masih banyak buku bisa dibaca. Masih ada satu buku yang mesti ditulis? Ya, paling tidak aku akan baca buku tentang teori-teori sastra, atau yang lain yang seperti itu. Dan iya, aku masih akan bisa menulis satu buku. Pasal yang harus kupenuhi, aku harus hidup. Aku ingin hidup. Dan aku bersyukur aku hidup.

Rabu, 03 April 2013

Kenapa Bukannya Kusebut Senja?

Berhari-hari belakangan kepala terisi hal-hal suicidal, lagi. Kali ini, ide tentang berjalan ke selatan di pantai selatan. Isi kepala muncul setelah rasa syukur kepantaian terucap dalam benak. Itu adalah saat duduk di pasir hitam pantai. Ditemani sinar terakhir matahari. Petang itu. Kenapa bukannya kusebut senja? Terdengar lebih puitis, kan? Dua teman lagi adalah angin dan ombak. Ombak dengan suaranya. O, tak usah disebutkan baunya. Seperti ada setumpukkan koloni ikan yang sudah mati dua minggu dan dikencingi segerombolan pemabuk.
     Mulanya dia, si isi kepala, tampak sebagai pahlawan. Bala bantuan yang siap menolong. Kau tinggal berjalan, dan laut, airnya dan ombaknya, akan mengerjakan sisanya. Bukankah itu terdengar seperti setengah bunuh diri? Atau, malahan jika ada artikel tentang itu di surat kabar lokal, mungkin judulnya hanya akan berbunyi, "Bermain Air Laut, Seorang Pemuda Ceroboh Terseret Ombak Pantai Selatan."
     Tapi setelah melewati fase perenungan mendalam, semua hipotesis di atas runtuh. Apa pasal? Apa bedanya itu dengan berjalan ke perlintasan kereta api tanpa pengaman, saat tahu akan ada kereta lewat saat itu juga. Biarkan kereta api melakukan sisanya. Lalu, biarkan tali itu mengerjakan sisanya. Biarkan pisau itu menyelesaikannya. Jadi, apa benar kata-kata itu? Kata-kata tentang, semua tergantung niatnya.
     Selalu berharap yang tertulis di bawah ini takkan pernah menjadi kutipan favorit:
"Kebahagiaan hanya untuk mereka yang tak pernah dilahirkan." 
     Ini pernah disangkal oleh seorang teman. Mana mungkin merasa bahagia jika tak pernah lahir? Berpikir sejenak. Dan, benar juga. 
"Kebahagiaan adalah tempat yang belum pernah kukunjungi. Mungkin takkan pernah. Selama aku masih hidup."
"Kematian adalah satu-satunya cara untuk mengubah hidup."
     Tapi selalu saja ada penghiburan. Entah setengah, entah penuh. Ada yang bilang itu hanya sebuah sudut pandang.
"Tidak ada alasan baik untuk hidup. Tidak ada alasan buruk untuk mati. Tidak ada alasan baik untuk mati. Tidak ada alasan buruk untuk hidup."

Setjoeil Asa

Selasa, 19 Maret 2013

Kutipan dari Jejak Langkah-nya Pramoedya Ananta Toer

"Dan modern adalah juga kesunyian anak yatim piatu, dikutuk untuk membebaskan diri dari segala ikatan yang tidak diperlukan: adat, darah, bahkan juga bumi, kalau perlu juga sesamanya." (Mingke, hal. 2)

"Lakukan segala keperluan tanpa pertolongan. Karena: barangsiapa memerlukan pertolongan, dia tempatkan diri dalam takluk tergantung-gantung pada orang lain. Bebas! Sepenuh bebas. Hanya kepentingan-kepentingan yang bakal mengikatkan diri pada sesuatu." (ibid)

Rabu, 30 Januari 2013

"Ya Tuhan."
"Maaf? Tuhan? Beliau sedang sibuk."
"Hm?"
"Bicara tentang Dia, ada lelucon bagus. 'Jika Tuhan memang ada, kenapa Dia tidak membelikanmu sweater baru?"
"'Karena Dia terlalu sibuk mencari di mana otakmu?'"
"Ah, tidakkah kau berpikir Dia-yang-kau-sebut- tadi itu sungguh licik. Dia menciptakan takdir, agar dia terhindar dari tuduhan 'Kejam'. Kau tahu? Takdir memang kejam."
"Apa iya?"
"Ada orang yang punya mobil sport seharga gaji seumur hidup orang lain, dan dia masih bisa membeli kesenangan lewat, apa namanya itu? obat-obatan yang tidak menyembuhkan? Ada orang yang hanya menggengam 10.000 rupiah, banyak juga yang kurang dari jumlah itu."
"O, tapi bukankah Dia juga layak menyandang pujian Jenius-yang-rendah-hati. Dia menciptakan waktu. Kau tahu? Waktu hampir bisa menjawab segala hal."
"Ah, Tuhan. Di mana Kamu sekarang?"
"Lebih dekat dari urat nadi leher? Telapak kaki ibu? Persimpangan jalan? Hati? Di mana-mana? Di rumah-Nya?"
"Mungkin Aku mencari di tempat yang salah."
"Apa kau pernah memanjatkan doa kepada-Nya? Sering?"
"Berbicara dengan-Nya? Sekarang, alih-alih berteriak meminta pertolongan-Nya, Aku mencoba mendengar-Nya?"

Jumat, 18 Januari 2013

Tiga Presiden

Saat ditanya oleh seorang wartawan asing tentang pendapatnya mengenai tiga presiden pertama Indonesia, Pak Rosihan Anwar memberikan jawaban simple, "Soekarno is a great nation builder. Soeharto is a great economic builder. And Habibie is a great democracy builder." Terus kalau saja beliau yang sudah almarhumah ini (semoga beristirahat dalam damai) diberi kesempatan untuk berpendapat tentang pemerintahan terkini, apa pendapat anda Pak Ros?
     Nah, ladangnya (baca: nation) sudah dibuka oleh presiden pertama. Lalu, yang dipanen sudah disediakan (baca: economic) oleh presiden kedua. Jadi, sekarang tinggal pelakunya (silahkan intrepertasikan sesukanya, pelaku apa yang bagaimana). Eh, tapi jangan lupakan yang sudah membuka tabir (baca: democracy) berupa keterpasungan pers ala orde baru. Sehingga kini, kita, rakyat, bisa menyaksikan sekaligus menikmati (bagi yang memang merasa seperti itu) secara gamblang, sajian era demokrasi negeri ini yang masih berbau kencur, berumur setahun jagung.
 
Aliaksandra Sastradiwirya

Selasa, 15 Januari 2013

Semacam Puisi Berjudul 'Naskah'


Aku menemukan kertas, jadwal kuliah semester pendek tahun ajaran 2011/2012 sebenarnya. Di dalamnya, ada satu, mungkin bisa dikategorikan sebagai puisi? Entahlah. Aku hampir yakin ini kutulis saat mata kuliah Bahasa Indonesia (aku jadi suka—bukan mata kuliahnya, dosennya agak, tapi lebih ke Bahasa Indonesianya—setelah mengulang tiga kali).

Naskah

Jam 8, dan lampu masih menyala.
Bosan, bahkan sebelum memulai.
Terbaca dari tiap gesture peserta, kentara.
Tuhan (jika Dia masih ingin campur tangan),
Bisakah Kau terakan tombol replay,
dalam hidup.

Kemudian, lagi dan lagi.
Beliau bercerita, tentang mimpi;
luar negeri; sekolah tinggi; beasiswi (efek emansipasi);
motivasi; prestasi (pokoknya yang berakhiran –si, seperti nama Polandia—
kali ini efek EURO 2012); basi.

Aku ingat, berharap bisa mengulang waktu, saat menulis ‘Bisakah Kau terakan tombol replay’. Aku tidak yakin nama Polandia didominasi akhiran –si. Mungkin lebih tepat –ski, seperti Lewandowski, dan nama-nama lain yang sulit dihapal.

29 Desember 2012
Aliaksandra Sastradiwirya