Senin, 23 September 2013

Aku Suka Bagaimana...

Yth. Tuan Blog
Suatu Tempat Di Neverland

Hei, Tuan Blog. Aku hampir bisa memahami kenapa Anda memasang muka demikian saat mendengar sapaanku. Anda tahu, dalam diri ini bersemayam empati dengan kadar yang mengerikan. Saat Anda mendengar sapaanku, Anda pasti berpikir, "hal gila apalagi yang akan dia curahkan ke arahku," ya kan? Tenang kali ini Aku cuma mau membagi sedikit kekagumanku atas negeri kepulauan tempat Beta dibesarkan ini.
     Ada yang sungguh salah dengan negeri ini, kan? Menurutmu Tuan Blog?
     Tapi Aku suka bagaimana di negeri ini aturan 'Kau Tidak Bisa Menyalahkan Orang Hanya Karena Dia Berbeda Pendapat Denganmu' dijunjung sedemikian tinggi. Saking tingginya, saat dia jatuh, entah sengaja atau tidak, dia pecah. Berserakan, dan hampir mustahil disatukan kembali. Atau karena saking tingginya dia malah tak tergapai, dilihat pun susah, apalagi diraba. Lupa cara turun juga barangkali. Ya, dan kamu juga nggak bisa menghukum orang berdasarkan bukti yang 'kurang cukup'. Kau tidak bisa menghukum tersangka kasus tindak pidana korupsi hanya karena mereka tidak bisa membuktikan kalau mereka tidak korupsi.
     Tapi Aku suka bagaimana di negeri ini epidemi kemiskinan dibiarkan. Dibiarkan berkembang biak. Keluarga Berencana dengan slogan 'Dua Anak Cukup' tidak merambah mereka. Aku suka itu, jadi kaum menengah masih bisa bangga dan merasa kaya. Atau mereka yang masuk dalam daftar 100 orang paling kaya menurut Forbes tak perlu khawatir kalau-kalau ada orang yang menyamai mobil seharga 2 milyar mereka.
     Aku suka bagaimana berlikunya labirin birokrasi di negeri ini. Jadi setelah berada ditengah-tengahnya, kita tak perlu khawatir lagi. Karena kita sudah lupa apa tujuan kita saat kita berniat memasukinya. Dan kita bisa melanjutkan hidup dalam arus rutinitas lagi.
     Aku suka bagaimana di negeri ini desisan uang paling lembut bisa mengalahkan jeritan membahana perut-perut kelaparan. Jadi jangan salahkan pemuda dua puluh tiga tahun dengan tunjangan bulanan dari orangtua yang tak menentu, hanya akan melambai-tangan dan abai, saat banci-banci berjoget atau ibu-ibu dengan alat musik yang terbuat dari belahan bambu dipadu tutup-tutup botol kaca minuman soda beraksi di depannya. Karena setiap orang rindu gemerencing uang logam.
     Aku suka bagaimana di negeri ini sawah-sawah dialihgunakan menjadi bangunan-bangunan. Dengan itu beban kerja para petani bisa berkurang. Karena mereka tidak perlu lagi menggarap sawah, baik milik sendiri atau jadi buruh.
     Aku suka bagaimana baiknya orang-orang di negeri ini, memberikan mereka yang ingin memancing di laut kita, kebebasan mutlak. Dan ada yang bilang, "seiring datangnya kebebasan muncul pula tanggung jawab." Lalu nelayan berkata, "kami jual ikan itu, jika ada sisa setelah kami makan."
     Aku suka bagaimana bersahajanya kepala negara kita. Beliau meminta maaf atas asap hasil pembakaran hutan bakal kebun sawit yang mengalir ke negara tetangga. Katanya kalau hidup bertetangga nggak boleh saling curi. Kecuali curi pandang mungkin. Dan kita harusnya bangga menjadi salah satu penghasil bio-diesel terbesar di dunia. Eh, iya kan? Pun harusnya bangga menjadi salah satu negara dengan deforestasi tertinggi di dunia. "Seluas 360 stadion sepak bola setiap satu jam," katanya. Apa iya? Untungnya stadion sepak bola di negeri ini..., (maaf Aku nggak bisa menemukan kata yang tepat). Dan bangga bisa mendenda tersangka kasus pembalakan liar dengan jumlah yang sama seperti yang dihasilkan dari penjualan kayunya. Tak sadar banyaknya uang tak berbanding lurus dengan cepatnya reforestasi. Tapi Aku tidak bangga menggunakan kata deforestasi-reforestasi di sini.
     Aku suka bagaimana ...
     Entahlah Aku hanya membacanya di surat kabar harian. Atau menontonnya lewat berita malam di televisi. Dan kata mereka benda itu bisa merusak otakmu.
     Aku suka bagaimana mereka berdebat tentang mobil murah. Dan, "masa bodoh dengan alat transportasi umum." Jadi seorang pengangguran yang memilih naik motor dari pada Trans Jogja tidak bisa disalahkan.
     Aku suka bagaimana anak muda-anak muda di negeri ini lebih memilih berinteraksi dengan alat-alat mutakhir mereka daripada ngobrol dengan teman mereka saat mereka ada di kantin kampus. Jadi seorang mahasiswa yang sudah muak dengan obrolan tentang pertandingan bola semalam, Vickinisasi, rencana setelah wisuda, hal personal dan apalah, bisa bebas mengamati orang -orang ini. Dan kata mereka, "Messi Autis." Siapa juga yang nggak?

Aku Suka Bagaimana....,Senin 23 September 2013
Setjoeil Asa

Selasa, 10 September 2013

Berkubang Di Kolam Masa Lalu

Yth. Tuan Blog (maaf jika ada kesalahan dalam penulisan nama dan gelar, itu sama sekali bukan merupakan kesengajaan)

Semoga Kamu tidak bosan mendengar keluh kesahku tentang salah jurusan. Apa Aku sudah pernah cerita tentang itu, salah jurusan. Tentang kenapa bukannya Aku memilih masuk ke jurusan lain ketimbang jurusan yang sekarang ini. Siapa juga yang tertarik dengan Akuntansi, ya kan? Kamu tertarik? Kenapa dulu Aku tidak memilih masuk ke jurusan Sastra Indonesia misalnya, atau Sejarah umpamanya. "Desain Komunikasi Visual atau Pariwisata!" teriak Suara dalam Kepala. "Bukankah dulu Kamu pernah bilang Kamu tertarik keduanya waktu ngobrol dengan Kepala SMA?" Ya, kenapa bukan itu semua?
     Aku beri tahu rahasia yang sudah lama kupendam. Meski sepertinya Aku pernah menguaknya dengan media lain. Sesuatu yang lebih konvensional. Tapi itu bukan masalah. Masalahnya di sini, dalam topik ini, adalah dulu Aku cuma anak ingusan lulusan SMA yang tak tahu apa-apa tentang yang namanya kuliah. Jurusan apa yang kutahu ada di kampus? Tak satupun. Bahkan kalau ditanya apa itu jurusan atau apa itu kampus Aku tidak yakin Aku bisa menjawabnya sesuai definisi yang diterima umum.
     Habis SMA, Aku sebenarnya cuma ingin main bola. Tapi bukan sepenuhnya ingin jadi atlet. Dan Aku bersyukur dengan itu, mengingat bagaimana sistem persepakbolaan di negeri ini. Main bola dan kerja paruh waktu, itu pasti menyenangkan. Tapi apa Kamu tahu? Kurasa tidak, kan? Aku hidup di lingkungan yang sangat tidak mendukung bocah delapan belas tahun lulusan SMA untuk pergi mencari kerja paruh waktu. "Merantau?" Apalagi. Memangnya siapa Aku ini, Eko Uwais? Maaf mbak Audy, bukannya Aku menyalahkan lingkungan, eh, maksudku menyeret-nyeret nama suami mbak. Dalam keluarga ini ada satu prinsip, terutama yang dijunjung begitu tinggi oleh ibu rumah tangganya, pokoknya harus kuliah. Ayah tak terlalu ambil pusing dengan keadaanku waktu itu, kelihatannya. Entah antara dia percaya penuh kepadaku atau dia memang sudah tidak peduli dengan apapun yang kulakukan dan apapun jadinya Aku.
     Akhirnya dengan dorongan 50% dari ibu dan 50% dari hati, Aku mendaftar ke salah satu universitas negeri di kota yang katanya punya hati yang nyaman ini. Ralat, mungkin persentase yang kupaparkan di sini tidak mewakili kejadian sesungguhnya. Jujur mungkin itu akan lebih adil jika kuberi 70-30, dengan kemenangan dorongan ibu tentunya. Dan ini yang paling penting dari semuanya, doa yang kupanjatkan sebelum kukerjakan soal ujian jahanam itu: "semoga Aku tidak diterima." Terdengar sombong? Karena menurutku, terjun ke dalam jurang yang tak kau tahu kedalamannya, juga binatang buas apa yang menunggumu di dasarnya, adalah hal konyol, apalagi saat kau tahu kau tidak punya cukup peralatan pendukung, dan lebih penting lagi nyali.
     Tolong jangan samakan Aku dengan kuda nil. Kuda nil yang suka berkubang. Berkubang di kolam masa lalu. Aku tak lebih dari seorang manusia. Apa yang lebih buruk dari itu, ya kan? Akhir cerita ini, sebentar. Cerita ini belum berakhir. Sulit mengatakan bahwa cerita ini akan berakhir dalam waktu dekat. Meski aku berharap demikian. Kurasa cerita ini berakhir bersamaan dengan nafasku yang terakhir. Aku masih tersesat di daerah antah-berantah dan merasa sekarat. Buta arah, entahlah.

Seraya berkubang di kolam masa lalu, Setjoeil Asa
10 September 2013