Sabtu, 29 November 2014

Ambulans melaju cukup kencang. Dia datang dari selatan. Suara sirene mengatasi dengung semua motor dan beberapa mobil di sekitarnya. Bangjo di sebelah barat menyala hijau, tapi ambulans tak mau ambil pusing. Suara sirene adalah legalisasi perbuatannya, membuat persimpangan jalan lengang. Ucok dan mereka yang dari arah barat mempersilakan ambulans lewat, kecuali satu, gadis yang sudah mengacir ke seberang sana. Ambulans melaju mulus melewati perempatan, ke utara. Untung gadis pengendara sepeda motor itu selamat.
      Waktu menghitung detik merah tadi, di pinggir jalan sebelah kanan kami ada dua bocah berjalan. Mereka berjalan bersebelahan. Satu bocah terpaksa turun dari trotoar akibat mobil yang terparkir di sana. Dia turun ke jalan tepat di sebelah markah sepeda kuning. Kijang kapsul merah menguntit sampai dia naik ke trotoar lagi.
     Di bangjo Pojok Beteng Kulon, kami berpapasan dengan Si Thole. Itu Si Thole kedua yang kami temui. Sebelumnya, Si Thole pertama mengantri di bangjo perempatan ambulans tadi, di utara sana.
     "Kasihan tukang becak, jadi nggak laku, gara-gara Si Thole," kata Ucok.
     "5.000 katanya. Sekarang Trans Jogja 4.000, ya orang pada naik motor, lah."
     "Bukan, maksudnya wisatawan."
     Jemari kanan Ucok menarik tuas rem, berbarengan dengan kaki kanannya menginjak pedal rem. Entah rintihan itu datangnya dari rem depan atau belakang. Roda depan berhenti beberapa senti di depan garis putih.
     "Sudah musti ganti kampas rem, nih." Dia cuma tertawa. Bagian rem mana yang lucu. Entahlah.
     Dari belakang muncul sepeda motor, berhenti di aspal bercat hijau. Satu lagi muncul, berhenti di zebra cross.

katanya operasi zebra sampai tanggal 9 Desember
29 November 2014, setjoeil asa

Jumat, 28 November 2014

'Sedikit' Kutipan dari Ketika Hidup Bercahaya karya Serdar Ozkan

"Dalam diri manusia itu juga ada berbagai perang yang tak kunjung usai serta kerinduan panjang akan kedamaian." (hal. 7)
"Sebenarnya, Tuhan-lah yang mengerjakan semuanya. Tapi Tuhan menyisakan sebagian tugas pada hamba-hamba-Nya yang mereka pikir mereka kerjakan sendiri."(hal. 8)
"Segala sesuatu di dunia ini akan lenyap. itulah sebabnya hidup tidak bermakna. Jadi mengakhiri hidup pastilah tindakan yang bermakna, pikirku." (Omer, hal. 11)
"Jadi, jika aku bisa meredam suara dalam diriku, aku akan mati dengan tenang." (hal. 12)

Senin, 24 November 2014

Lintasan penyeberangan pudar di perempatan itu menjadi lantai dansa dua anak lelaki. Musik etnik menguar dari perkakas elektronis sederhana di atas trotoar sempit. Bertelanjang kaki, diiringi musik, mereka njathil.
     Langit berawan, tapi suhu lumayan panas. Sudah dua hari hujan tidak turun. Padahal sejak mulai turun pertama kali tahun ini, hujan kelihatan tak bosan-bosannya turun, membasahi semua yang disentuhnya. Tak lepas pula aspal yang sudah lebih dari enam bulan dididihkan terik matahari.
     Di ujung pembagi jalan dari arah barat, tampak dua orang berseragam polisi. Mereka bercakap-cakap seraya memerhatikan sekitar.
     Saat lampu lalu lintas sudah mengizinkan kendaraan-kendaraan dari arah timur menghambur keluar dari jeratan sesaatnya, salah satu bocah tadi--yang lebih tinggi--menyambangi para pengendara sambil menyodorkan wadah plastik kosong. Dan tetap kosong hingga bocah yang lain, yang lebih bersemangat berjoget, minggir--seolah-olah memberi jalan pada kuda-kuda besi dari arah selatan berpacu ke utara--ke arah Lembah.
     Semoga mereka lebih beruntung lain kali. Masih akan ada kuda-kuda besi lain yang akan terjerat bangjo di ujung jalan searah itu.
     Di sudut barat daya perempatan ada pom bensin yang sudah hampir sepekan memajang angka 8.500 di sebelah tulisan premium. Sebelumnya, angka 6.500 sudah membuat keder rakyat jelata. Mereka dijanjikan selisih dua angka ini. Apa mereka peduli dengan perhitungan rumit itu?
     Apa dua bocah tadi mendapat cipratan selisih itu, yang oleh orang-orang berwenang disebut 'Kartu Sakti'? Semoga.

Tuhan bersama kalian, orang-orang biasa yang memang sudah terbiasa menjadi biasa dan menganggap keadan seperti apapun juga biasa
biasa, biasalah biasa sajalah
23 November 2014, setjoeil asa

Minggu, 16 November 2014

tentang Sarinah karya Ir. Soekarno

Sarinah: Kewajiban Wanita Dalam Perjuangan Republik IndonesiaSarinah: Kewajiban Wanita Dalam Perjuangan Republik Indonesia by Sukarno

My rating: 4 of 5 stars


Ini bukan sekadar buku yang cocok dibaca dalam pertemuan ibu-ibu, sebelum mengocok arisan. Lebih daripada itu, ini adalah sebuah panduan menuju masyarakat sosialis.

     Barangkali pada suatu ketika nanti, saat kondisi mental memperkenankan, bisa ditulis semacam resensi buku ini. Atau apalah yang lebih mengesankan, ketimbang catatan pendek kurang berarti ini.

ditambahkan sehari setelahnya:

Ada presiden negara ini yang merilis album. Konon, sampai lima album. Sebelumnya perempuan (yang  pertama di sini!) dan pelawak pluralis (maaf kalau ada yang tersinggung, ini murni sebuah pujian). Terus ada yang merancang pesawat. Tak ketinggalan ada pula yang (ingin) bikin rakyatnya dari ujung ke ujung kecanduan nasi.  Yang sekarang suka turun ke bawah. Apa yang terakhir ini ada hubungannya dengan pemikiran yang paling pertama, tentang pemimpin yang tidak terjun ke kalangan massa selalu melihat dari ‘atas’, sedangkan rakyat jelata selalu melihat dari ‘bawah’. Ah, ini bukan tempatnya membahas hal itu, Sudah kelewat banyak kitab-kitab menceracau (maafkan diksi kurang ajar ini) tentang itu.

Yang pertama sekali menulis buku ini. Buku tentang wanita .Paling tidak itu yang tersurat di sampulnya. Tapi siapa juga yang cuma mau membaca sampul buku.

Kamis, 06 November 2014

Seperti yang kita bahas di WA tadi, sekarang aku akan menuliskan perihal roti tawar. Kejadiannya belum lama ini, kapan tepatnya, maaf lupa.
     Wajah tukang roti itu kelihatan kurang senang. "nggak laku ya, Bu," katanya sambil melihat ke dagangannya yang jumlahnya masih sama dengan saat diantarnya dulu, "mungkin libur dulu ya, Bu." Tukang roti tadi tidak meninggalkan sebiji roti pun di keranjang plastik yang biasanya diletakkan di atas etalase. Langkahnya menyiratkan kekecewaan waktu balik ke motornya.
     Selang sebentar ada yang datang pakai motor ke warung kelontong. Laki-laki itu masuk. "Ada roti tawar," tanpa basa-basi ia berkata.
     "Adanya cuma kayak begini rotinya," Ibu pemilik warung itu menunjuk ke keranjang plastik berisi roti aneka rasa di samping keranjang plastik kosong.
     "Ah, carinya roti tawar," laki-laki itu pergi hampir sama cepatnya dengan datangnya.
     Suami ibu itu lagi leyeh-leyeh di lincak, memasang telinga, diam-diam menyimak kejadian barusan. "Yang namanya jualan itu nggak tahu kapan laku kapan tidak," nada bicara bisa jadi kurang sedap buat kuping si tukang roti, "mustinya ditinggali satu dua biji roti."
     "Iya ya, Pak."

Jumat, 24 Oktober 2014

Tentang Dari Ave Maria ke Jalan ke Roma karya Idrus

Dari Ave Maria ke Jalan Lain ke RomaDari Ave Maria ke Jalan Lain ke Roma by Idrus

My rating: 4 of 5 stars


Segalanya bergetar, bergerak, berubah. Tak ada pengecualian buat kumpulan cerpen--salah satunya naskah drama--Idrus ini. Bagi yang peka akan terasa perubahan tulisan si pengarang saat kita diajak berjalan-jalan Dari Ave Maria ke Jalan Lain ke Roma.

     Cerpen yang disusun secara kronik menghamparkan  kejadian-kejadian kecil yang luput ditangkap oleh buku-buku sejarah yang biasanya bicara tentang kejadian-kejadian besar. Dari tulisan di Zaman Jepang, yang seakan ditulis oleh seorang, meminjam kata-kata Idrus, Romantikus Avonturir.

     Sebenarnya, tentang dukun di naskah drama itu agak... apa kata yang pas... entahlah. Katakanlah itu salah satu dari beberapa alasan kenapa bintang kelima kurang bersinar.

     Terus, suasana eksistensial (apa iya?) di Coret-coret di Bawah Tanah. Katanya corat-coret ini bikin ingat sama Catatan Bawah Tanah-nya Dostoyevski (yang malangnya, saya belum baca). Bagaimana keadaan yang kalau dipandang lewat mata orang sekarang sama sekali tidak biasa, diceritakan dengan nada datar.

     Diakhiri dengan cerita dari tokoh (absurd?) Open. Ada salah satu bagian yang bikin ketawa bahak. Tentang lelucon 'bako'. Ingin rasanya mengutip di sini, tapi kelewat panjang. Jadi, malas.

     Idrus menyebut tentang filsafat, beberapakali. Espinoza, Boethius, juga karakter Zulbahri yang digambarkan memegang buku filsafat, dan lain-lain. Barangkali Kek Idrus ini suka melahap buku-buku filsafat.

     Ada terlihat juga pemikiran Idrus tentang Ilahi. Apa ini sisi Agnostiknya?
"Dan keluarga Kusno turun-temurun takut kepada Tuhan itu, sungguhpun belum pernah dilihatnya." (115)
"Orang tidak banyak percaya lagi kepada Tuhan. Tuhan baru datang dan namanya macam-macam, bom, mitraliur, mortir." (116)
"Mula-mula orang terkejut kalau mendengar tembakan, tetapi setelah mereka tahu, bahwa tembakan-tembakan itu ditujukan ke atas, ke tempat Tuhan lama, sekarang mereka bersorak gembira mendengar setiap tembakan." (117)

     Dan, tentu saja seperti banyak pengarang yang hidup di jaman perang, kurang rasanya kalau tidak menulis pemikiran tentang perang.
"Demikian benarlah ucapan, hanya orang besar-besar yang mau perang, rakyat sederhana cuma mau damai." (112)
"Tidak, rakyat sederhana tidak mau perang, ia hanya mau hidup sederhana dan hidup bebas dari ketakutan esok hari tidak mempunyai celana." (113)
"Hanya yang belum juga dapat dipahamkan Kusno adalah mengapa selalu saja masih ada peperang. Kusno merasa sebagai seseorang yang dikorbankan." (115)




View all my reviews

Kamis, 23 Oktober 2014

Dia masuk, berjalan di antara dua etalase, salah satunya berangka kayu dan sudah berumur. Rambutnya lurus kaku dan di bagian atas pada berdiri, bibirnya tebal, matanya segalak kucing setengah liar. Kaos polo bergaris dominan coklat dan celana kolor biru membalut badannya. Memintasi ruang, dia berhenti di depan etalase kecil berisi rokok di tingkat satu dan duanya. Etalase mungil ini digendong etalase gede, seperti kakak beradik.
     "Djarum papat," pintanya, "White Coffe siji."
     Disodorkannya tiga lembar dua ribuan. Kelihatannya dua ribuan lagi ada di puncak populasinya; laci meja, yang anggap saja sebagai meja kasir, mewakili keadaan ini dengan perbandingan kurang wajar antara dua ribuan dengan duit lain.
     Kurengkuh sebungkus Djarum isi 16 yang sudah dibuka. Kuletakkan di atas etalase di depannya. Dia mengambil empat batang, sementara kuambil rentengan White Coffe di pojok tingkat dua etalase gede terus kusobek satu.
     Dia keluar, hening seperti saat masuk. Ada semacam ragu dalam rautnya tadi waktu bilang rokok empat. Naiknya harga Djarum 250 rupiah, membuat pelanggan setia rokok merek ini berpikir lebih dari 250 kali sebelumnya. Seperti ada hal mistis nan sakral dari angka 250. Kalau biasanya dengan lima ribuan boleh bawa pulang lima batang, kali ini harus puas dengan empat batang. Malang nian nasibmu wahai pelanggan setia.
     Apa Robert dan Michael mendengar pekikan memelas sumber-sumber kehidupannya? Apa mereka masih akan ada di Forbes setelah perubahan harga eceran ini? Setan mana yang peduli!?
     Malamnya ada satu orang mampir. "Kalih mawon," katanya sambil mesam-mesem. Lagi-lagi Djarum. Best seller dia ini agaknya.
     Sebelumnya, menjelang sore si Djarum dicari lagi. "Yang kecil saja," katanya dalam basa Jawa. Waktu kubilang habis, dia bilang, "Ya sudah yang gede."
     "15.800..."

dalam pengaruh Idrus dan Open, atau Idrus saja barangkali
23 Oktober 2014
setjoeil asa

Minggu, 05 Oktober 2014

Rubaiyat Rumi


karena tidak ada ruang bagi yang percaya maupun yang ingkar 

***
jika kau bulan di langit, jatuhkan diri di antara debu jalanan
bersamalah dengan yang muda dan tua, yang baik dan jahat

***

pernah dengar namaku di seantero bumi?
aku bukan apa-apa
aku bukan apa-apa 

***

aku berjuang keras
tapi nasib terus membisik
"ada banyak hal di luar kekuasaanmu"

Minggu, 28 September 2014

Hari yang aneh. Atau harus kukatakan, kemarin hari yang aneh. Tapi apa gunanya. Kemarin adalah kemarin. Sesuatu yang disebut manusia (makhluk yang mungkin menganggap dirinya superior, tapi kuanggap menyedihkan, aku masih belum percaya aku bagian dari mereka) sejarah sejak mereka menemukan tulisan. Ya, cuma sejarah. Dan ada cabang ilmu tersendiri yang mempelajarinya. Hari yang aneh itu, yang sudah bisa disebut sejarah, yah itu memang hari yang aneh harus kuakui. Namun lingkup sejarah yang diobrolkan ini kecil. Dalam radius persepsiku. Jadi terserah aku mau jadi seperti apa sejarah itu, terutama sekali dalam bentuk tulisan. Dia yang punya kuasa, bisa menulis ulang sejarah sesukanya, katanya.
     Aku menulis tentang sapi di bawah naungan spanduk-spanduk dan kambing di bawah naungan seng. Penggambaranku agak keliru tentang lindungan mereka. Maklum saati itu lewat tengah malam, aku cuma mengandalkan ingatan, dan seringkali ingatan ini menipu. Orang menutup ingatan yang mereka lupakan dengan fantasi yang mereka inginkan atau dipaksakan secara halus ke mereka. Di bawah naungan spanduk, cuma satu batang bambu diikatkan melintang sedikit di atas seperampat bagian bawah tiang bambu, sepanjang naungan. Sebatang bambu buat mengikat si sapi. Di bawah naungan seng-lah bilah-bilah bambu melintang melingkari naungan persegi itu. Tapi cukup buat sapi dan kambing. Toh beberapa hari lagi ajal mereka....

Sabtu, 27 September 2014

Penggal tanah itu, di antara asrama SMP yang tengah dibangun dan lapangan yang barusan ditanam sepasang gawang tanpa jaring, akhir-akhir ini ramai oleh khalayak. Tanah itu tak seberapa luasnya. Kira-kira setengah dari luas lapangan bola di sampingnya. Dan jelas lapangan itu pun, dengan gulma berduri mengerayanginya, seperti bayi prematur, berukuran kurang dari semestinya.
     Di pinggir-pinggir tanah itu yang berbatasan dengan lapangan di selatan, bekas kali di timur, dan asrama di utara, berdiri rapuh kanopi-kanopi bertiang bambu. Kanopi-kanopi itu mengelilingi tanah itu, kecuali di sisi yang berbatasan dengan jalan aspal, tanah melandai yang diperuntukkan buat jalan keluar masuk. Atap-atapnya dari bekas spanduk yang biasanya terpampang di depan gedung pameran sewaan, atau perempatan jalan besar. Bagian bawah tiang bambu itu, dipasang melintang sepanjang kanopi, beberapa baris belahan-belahan bambu. Jarak antar mereka belasan centimeter.
     Khalayak tadi mendapat tontonan gratis dari penghuni-penghuni baru tanah itu. Di bawah naungan atap spanduk, di atas sisa makanan, tahi dan kencing mereka sendiri, hewan-hewan berkaki empat ini pasrah merenungi nasib dan menunggui takdir, terekspos tanpa ampun oleh mata penikmat-penikmatnya. Sebentar lagi, tak akan lama, bukan cuma mata penikmat-penikmat mereka saja yang akan terpuaskan. Tunggu saja.
     Sapi-sapi dan kambing-kambing terkurung di kandang, apa ada yang menarik dari hal ini. Salah satu sapi terduduk, sapi di sebelahnya memakan apapun yang disodorkan oleh tangan-tangan mungil dari luar bilah-bilah bambu. Ada bilah-bilah bambu lain di antara sapi yang duduk dengan sapi yang bersantap sore sambil mengibas-ngibas ekornya.
     Di malam hari, saat sunyi, terkadang embik kambing terdengar dari seberang lapangan. Namun jarang lenguh sapi tertangkap telinga. Kadang pula bau mereka beranjangsana bersama angin, menyambangi hidung. Bagaimana khalayak ini bisa tahan di bawah sana. Cuma berjarak satu-dua depa dari kandang.

mungkin jurnal ini akan berlanjut ke episode genosida rajakaya...
nonton Stay (2005) dulu.

"un suicide élégant est l'oeuvre d'art finale"

Kamis, 18 September 2014

Tempat ini dipesan buat kutipan Hemingway...

"Bagaimana bisa ada yang nggak suka Hemingway?"
"Pertanyaaan macam apa itu? Ada kok orang yang nggak suka baca. Aku kenal beberapa."
"Ya. Ada juga yang nggak bisa baca, ya kan?"
"Ya. Ada yang nggak bisa baca, secara harfiah. Banyak malah."

Selasa, 16 September 2014

Cukup membosankan jadi manusia yang pengambilan keputusan terberat dalam hidupnya adalah 'mandi pagi atau tidak.' Kalau mandi mungkin itu bisa saja dirasa sebagai perbuatan yang kurang menghargai mereka yang tengah berjuang matia-matian demi sereguk air. Yah, ini katanya lagi musim kemarau berkepanjangan. Tapi itu bisa juga jadi perbuatan distribusi air. Kalau air tidak dipakai mandi. air cuma mengendon di bak. Dengan mandi air bisa mengalir lewat saluran, pipa-pipa, terus selokan, infiltrasi ke dalam tanah, mengalir ke tempat yang mungkin lebih dibutuhkan, jadi air tanah (di bawah hotel. Hotel buat sumur. Warga juga punya sumur), atau evaporasi, menguap jadi awan, lalu bisa jadi hujan di tempat yang tanahnya lebih layak diguyur hujan... Bukan di ibukota, .. kenapa? tanya saja ke Ahok, eh? Kalau tak mandi, mungkin cuma bau... kalau mandi entar juga bau lagi... sama saja...
     Yah, jadi pengangguran memang punya kelewat banyak waktu buat merenung tentang itu semua. Bukan memikirkan hal-hal yang dipandang kurang sepele macam, apa bandara musti dibangun di sini atau di sana, apa trem musti dihadirkan di Jogja, apa mobil dinas musti diganti sama yang lebih mewah dari Lamborghini.

Jumat, 12 September 2014

Kutipan dari 'Optimisme di Tengah Tragedi' Karya Victor E. Frankl

"ET LUX IN TENEBRIS LUCET."
"JIka seseorang bertanya kepada kami kebenaran teori Dostoyevski yang secara tegas menyatakan bahwa manusia bisa terbiasa dengan kondisi apapun, maka kami akan menjawab, "Benar manusia memang bisa membiasakan diri dengan kondisi apapun, tetapi jangan meminta kami menjelaskannya." (48)
Di bukunya Dostoyevski yang mana ya?
"Saya kira Lessing-lah yang pernah berkata, 'Ada hal-hal yang membuat kamu kehilangan akal sehat, atau kamu sama sekali tidak punya akal sehat yang bisa hilang.'" (51)
Kurasa keduanya benar...
"... penderitaan hadir di mana-mana. Penderitaan manusia bisa dianalogikan denga perilaku gas. Jika sejumlah gas dipompakan ke dalam sebuah ruangan kosong yang tertutup, gas tersebut akan mengisi ruangan secara merata, berapa pun besarnya ruangan tersebut. Begitu pula penderitaan; dia akan mengisi seluruh jiwa dan pikiran sadar manusia, tanpa peduli besar atau kecilnya penderitaan tersebut. Karena itu "ukuran" dari penderitaan manusia sangat relatif." (85)
Maaf Patkay, bukan hanya cinta yang penderitaan tanpa akhir. Malangnya cinta cuma bagian dari hidup...
"Lalu, bagaimana dengan kebebasan manusia? Benarkah tidak ada kebebasan spiritual dalam perilaku dan dalam bereaksi dalam lingkungan tertentu? Benarkah teori yang mengatakan bahwa manusia hanya sekadar produk dari berbagai kondisi dan faktor lingkungan--baik yang bersifat biologis, psikologis atau sosiologis?" (114-115)
Beri aku jawabannya Dr. Frankl...!

Jumat, 22 Agustus 2014

Kutipan dari 1984 karya George Orwell

"Masa depan bisa mirip masa kini, dan kalau begitu maka masa depan juga tidak akan mau mendengarkannya; atau dapat pula masa depan berbeda dengan masa kini, dan kesulitan yang sekarang dialaminya akan tak berarti." (9)
"Yang harus dilakukan hanyalah memindahkan ke kertas, monolog kegelisahan tanpa putus yang sudah berkecamuk di kepalanya selama, secara harfiah, bertahun-tahun. Tetapi, tepat saat ini monolog itu pun menguap, kering begitu saja." (10)
"Mengelakkan perasaan-perasaanmu, menguasai tarikan wajahmu, melakukan apa yang sedang dilakukan semua orang lain, adalah reaksi naluriah." (20)
"Bukan dengan menjadikan dirimu terdengar, melainkan dengan menjaga kewarasanmu sendirilah engkau mengemban pusaka warisan kemanusiaan." (33)

Kamis, 21 Agustus 2014

"Dia kejar setoran bet," katanya sebelum pergi. "tiga puluh."
"Juta?" kataku heran.
"Ceritanya panjang."
    Aku ingat percakapan singkat itu, dengan Sul dua malam sebelumnya. Malam Kamis ini dia bercerita tentang tiga puluh juta itu, yang ternyata ceritanya tak sepanjang imajinasi liarku. Yang digunjingkan ini adalah Roi yang memang keranjingan judi. Awalnya togel, terus merembet ke judi bola online. Tidak sedikit memang orang yang menaruh banyak harapan di atas pundak judi bola. Meski tidak sedikit pula yang menganggap judi bola itu cuma pemberi harapan palsu.
    Di atas tiga tikar lusuh yang diatur seadanya, kami bertiga menikmati jeruk hangat dan teh hangat. Di mana tukang angkringan ini menemukan tikar sekecil ini. Entahlah.
    Uap keluar dari cerek di atas tungku berarang membara. Suara percakapan penuh semangat terdengar dari bapak-bapak di sebelah lain angkringan. Mereka duduk di dipan depan rolling door toko perak yang buka sepanjang hari. Hampir setiap malam halaman toko ini jadi area kekuasaan tukang angkringan.
     Di trotoar sebelah angkringan, tukang nasi goreng sedang memasak magelangan pesanan kami bertiga. Api merah biru kompar gas menjilat-jilat wajan yang sudah gosong bagian bawahnya. Angin membawa aroma bawang dan bumbu lain ke arahku, menggelitik hidung.
     Raung lalu lalang motor meningkahi suara kompor gas yang dibesar-kecilkan dengan ritmis dan bentrokan sutil dengan wajan. "Permisi mas," ada orang yang mau lewat, kumajukan badan dan dia lewat dibelakangku. Lalu dia duduk di atas tikar yang tak kalah lusuh dari yang kududuki. Orang itu, yang kira-kira sepantar dengan kami entah dari mana mengeluarkan satu buku, dan mulai membaca.
     "Ini yang nggak pedas," kata tukang nasi goreng.
     "Awalnya dia pasang satu atau dua juta," sambil menyantap nasi gorengnya Sul bercerita, "kalah. Terus pengin pasang lagi. Nah, waktu itu kebetulan ayahnya titip tiga puluh juta di rekening Roi. Nggak tahu bagaimana semuanya ludes. Tiga puluh juta itu duit jual tanah. Dia bilang ke bosnya. Jujur. Bosnya mau bantu. Dia dipinjami duit. Gantinya tiap bulan gajinya dipotong lima ratus ribu buat bayar pinjaman itu. Bosnya sempat bilang, 'kamu itu kalau main yang begituan anggap saja seperti main di timezone atau apalah, cuma hiburan.'"
     Percakapan setelah santap malam berkisar tentang masa SD. Di sela-sela percakapan kami asyik sendiri dengan ponsel pintar masing-masing. Percakapan tentang kampret yang secerdik kancil sewaktu mengelabui anak-anak, pelajaran olahraga dan menggambar, dan cerita hasil perasan kenangan lainnya...
     "Hei, Sul...?" Kidj tanya  ke dia tentang entah apa, sepertinya soal teman sekampus. Dia baru menengok di panggilan kedua atau ketiga. Di satu-dua obrolan dia bahkan bergeming, tidak menengok, menyarangkan tatapannya ke layar ponsel android-nya. Betapa momen canggung.

Jumat, 08 Agustus 2014

Seikat Kutipan dari A Farewell to Arms karya Ernest Hemingway

"Lalu aku menjelaskan bagaimana kita tidak selalu dapat menjalan kan semua hal yang telah kita rencanakan." (20)

"Entahlah, ... Tidak semua hal selalu memiliki penjelasan."
"Oh, benarkah itu? Sejak kecil aku dididik dengan pemikiran sebaliknya." (25)

"Aku suka kenikmatan yang lebih sederhana." (Rinaldi, 50)

"Tidak mungkin menjadi lebih buruk, ... Tidak ada yang lebih buruk daripada perang." (Passini, 58)
"Tidak akan berakhir. Tidak ada istilah berakhir untuk sebuah perang." (Passini, 59)
"Perang tidak dikalahkan dengan kemenangan. ..." (Masih Passini, 59)
"Kami berpikir. Kami membaca. Kami bukan sekadar petani. Kami adalah sekumpulan montir-montir. Bahkan petani pun tidak mau tunduk pada perang. Semua orang benci peperangan." (Lagi-lagi Passini, 59)
Kalau semua orang benci perang, Passini, kenapa perang masih saja berkecamuk?

Senin, 14 Juli 2014

Secuil Kutipan dari Malam karya Elie Wiesel

"Hidup? Aku tidak lagi merasa hidup itu ada sesuatu kegunaannya." (Mosye si Pelayan Gereja, 9)
Yah, kalau aku sibuk memikirkan alasan kenapa aku hidup, aku akan kehabisan waktu untuk menjalani hidup...
"Ide mati, tidak ada, mulai mempesonaku." (132)
"Alangkah baiknya bila aku dapat mati sekarang juga!" (115) 
***
"Aku bukannya menyangkal adanya Tuhan, tetapi aku ragukan keadilan mutlak-Nya." (68)
"Di mana Tuhan? Tuhan ada di sini--dibunuh di tiang gantungan..." (99)
Yah, ini memang topik yang agak sensitif. Barangkali bisa dikonsultasikan dengan Nietzsche. Atau sebaiknya sudahi saja sampai sini. Tapi aku ragu dengan pilihan terakhir, mengingat buku ini... dan anak kecil di tiang gantungan itu... dan bayi-bayi yang dilempar dan dijadikan sasaran tembak... dan tungku, asap, lidah api itu... dan... ini adalah saat manusia berhenti menjadi manusia...

"... Akulah penggugat, Tuhan yang digugat. Mataku terbuka dan aku seorang diri--sangat sendiri dalam suatu dunia tanpa Tuhan dan tanpa manusia. Tanpa kasih sayang atau belas kasihan. Aku sudah bukan apa-apa lagi, cuma abu, ... Aku berdiri di tengah-tengah umat yang berdoa itu, mengamatinya bagaikan seorang asing." (103)
***
 "Lonceng. Sudah tiba saatnya berpisah, pergi tidur. Aku benci lonceng. Segala sesuatu ditentukan olehnya. Lonceng itu memberi perintah padaku, dan aku secara otomatis menurutinya. Bilamana aku bermimpi tentang dunia yang lebih baik, aku hanya dapat membayangkan suatu alam semesta tanpa lonceng." (111)
"Tetapi manusia cepat membiasakan diri dengan segala hal." (118)
Jadi, manusia sudah terbiasa saling lempar roket...
"Ketidakpedulian mematikan semangat." (150)
***
"Suatu hari, ketika kami berhenti, seorang pekerja mengambil sepotong roti dari tasnya, dan melemparkannya ke dalam gerbong. Terjadilah huru-hara. Puluhan orang kelaparan bertempur mati-matian untuk memperoleh beberapa remah roti. Pekerja-pekerja Jerman itu sangat tertarik pada adegan itu." (153)
Sama seperti saat seseorang melempar secuil roti ke kolam berisi puluhan ikan nila... harusnya orang itu meminta maaf ke nila-nila itu, kan?
Terus tentang gadis Perancis yang Elie temui, dan apa yang selanjutnya terjadi di gerbong itu...

***
Oh, Elie. Barangkali banyak yang percaya, mukjizatlah yang menolongmu melewati sekleksi demi seleksi keji itu, dan bertahan hidup untuk menulis memoar ini. Dan mukjizat berasal dari sesuatu yang lebih kuasa dari pada manusia. Seperti halnya dalam prakata yang percaya dengan campur tangan ilahi dalam tragedi hidupmu, dan itu makin meyakinkannya akan keberadaan Tuhan...
Kontras. Kamu menganggap Tuhan memalingkan wajah, pura-pura mati, bahkan memang sudah digantung. Dan siapa yang bisa menyalahkan anak lima belas tahun yang mempertanyakan kerahiman dan keadilan Tuhan setelah menonton semua tragedi itu...
 "ARBEIT MACHT FREI"
"akhirnya aku bebas" (172)
nb: tapi bukan bekerja yang membuatku bebas...

Jumat, 11 Juli 2014

11 Juli 2014 (Brazil 1 - 7 Jerman. Setelah ini, kurasa tidak ada perbuatan hidup yang berefek kejut terhadapku)

Pangeran yang Selalu Bahagia, salah satu dongeng terbaik yang pernah kubaca. Hanya karena Oscar punya anak, terus dia pengin mendongeng buat anak-anaknya, dia bisa menulis sehebat itu.
Orangtua jaman sekarang akan membeli TV LED 42 inch, HP android, tab (?), dan mereka berseru puas, "Ini cukup untuk menjamin kebahagiaannya dan menghindarkan mereka dari kerasnya realitas!"
"Lagi-lagi kamu mengeneralisasi, Nak."
Hidup orang sekarang berbeda dengan orang dulu, lihatlah hidupku sebagai contoh: tidak berarti! Ya kan, Soba?
***
Berita yang masih suam-suam kuku--atau istilah yang lebih menjijikannya hangat-hangat tahi ayam, dan mungkin musti keburu disantap selagi hangat, sebelum dingin--roket-roket Israel mendarat di Gaza.
"Yes, and how many times must cannonballs fly before they're forever banned,"
samar-samar Bob Dylan bernyanyi di dalam kepala...
Orang lain akan bilang, "Manusia, terutama pria, akan berperang untuk hal yang diyakininya."
Sampai pada akhirnya mereka lupa kenapa mereka berperang? 
Kalau begitu, aku akan pergi ke dan berdiri di tanah tanpa keyakinan... Ya kan, John?

Atau yang lain lagi akan bilang, "Kamu harus memihak (pada yang benar)." Siapa yang benar, siapa yang salah? Siapa tahu, siapa peduli!
Kalaupun aku memihak, aku tidak akan memihak manusia.
Hidup sudah terlalu buruk. Hidup sebagai manusia? Tidak bisa lebih buruk lagi. Ya kan, Mark?

12 Juli (Hidup memang absurd seperti film western yang tokoh utamanya diperankan aktor bernama Eastwood.)

13 Juli. Membaca kata pengantar Mochtar Lubis dalam Malam karya Elie Wiesel. Kurasa Pak Lubis ini orangnya lumayan religius.
Apa ini suatu kebetulan, membaca buku tentang genosida Yahudi saat Israel memborbardir Gaza?
      Kurasa apa yang terjadi di sana tidak bisa lebih manusiawi lagi. Inilah wajah manusia yang sesungguhnya.
Kalau kedua belah pihak punya hati yang cukup lapang--Hamas mau berhenti main lempar roket ke Israel, dan Israel mau kasih rehat mainan-mainan mahalnya--itu malah tidak manusiawi. Itu surgawi. Kata mereka yang percaya surga, "di surga, nafsu tidak eksis."
"Apakah kita pernah pikirkan akibat dari suatu kengerian, yang sekalipun tidak senyata, sekasar penghinaan lainnya, namun adalah kengerian yang paling berat ditanggung semua orang beriman: kematian Allah dalam jiwa seorang anak yang tiba-tiba menemukan kejahatan mutlak." (Fracois Mauriac, dalam prakata Malam karya Elie Wiesel)
Dia ini mengenyam pendidikan apa? Betapa dia bisa menemukan kata-kata seperti itu. Seringkali aku mengais-ngais dalam kehampaan, mencari kata-kata untuk mengungkapkan perasaan yang dikandung benak, tapi kata-kata itu pandai benar bermain petak umpet.

nb: buku itu tadi terjatuh. Mulut pemiliknya hampir tanpa sengaja mengumbar sumpah-serapah tak karuan seakan itu adalah tragedi terburuk dalam hidup, atau bahkan akhir dunia. O, kurasa akhir dunia tak seburuk itu.

Jumat, 04 Juli 2014

Secuil Kutipan dari The Yearling Karya Majorie Kinnan Rawlings

 Bisa jadi ini adalah sebuah penegasan dari apa yang dikatakan Quentin Compson di sini, beberapa waktu yang lalu.
"Kau bisa menjinakkan apapun, Nak, kecuali lidah manusia." (Penny Baxter, 102)
 Bicara soal lidah, bagaimana dengan ungkapan 'lidah kadang bisa lebih tajam dari silet'? Kalau begitu aku jilati saja pergelangan tanganku.
 "Kata-kata memulai pertikaian dan kata-kata pula yang mengakhirinya." (222)
***

Yang berikut ini lepas konteks dari yang sebelumnya. Sekadar kutipan yang menarik alam bawah sadar.
Eh, barangkali ini masih sedikit ada hubungan dengan politik, atau politikus yang kian hari kian 'pintar'.
"Kau makin licin seperti jalan tanah di tengah hujan." (Ma Baxter, 20)
Juga gambaran bagaimana kalau mereka tertangkap tergoda hal yang seharusnya mereka hindari.
"... merasa seperti anjing penangkap burung yang tertangkap basah sewaktu sedang mengejar tikus ladang." (15-16)

Selasa, 01 Juli 2014

Being John Malkovich (1999)

Judul          : Being John Malkovich
Tahun         : 1999
Director     : Spike Jonze
Writer        : Charlie Kaufman
Cast           : John Cusak, Cameron Diaz, Catherine Keener

Sialan! Kenapa juga musti susah-susah tulis semua spesifikasi yang di atas itu. Kasih saja link ke IMDb, selesai. Sialan, karena banyak banget kata sialan muncul di film ini. Yah, apa lagi yang bisa diharapkan dari film Holywood. Eh? Bukan bermaksud mengeneralisasi.
     Sutradara yang sama dengan yang bikin Her (2013). Sungguh suatu film yang progresif. Bukan, bukan progresif sebenarnya. Saya takut kata itu kelewat baik untuk menggambarkan Her. Kata 'berpandangan ke depan' mungkin cukup. Oh, itu frase. Dan penulisnya, orang yang sama dengan yang berimajinasi dengan dua Nicholas Cage dalam Adaptation (2002). Eh, bukannya sutradara film itu juga bang Spike?
     Siapa yang tak mau jadi orang lain. Menukar hidup yang sekarang dengan hidup yang baru. Siapa!?
     Meski hidup orang lain cuma memegang gagang telpon dan memesan keset kamar mandi. Ayolah, jangan remehkan hidup sendiri. Apa kamu mau menukar hidup dengan orang-orang yang harus berjalan berkilometer untuk mereguk air bersih. Lho, melantur lagi. Yah, toh, siapa saja tahu ungkapan 'rumput tetangga lebih hijau'. Barangkali tidak untuk orang yang tinggal di rusunawa.
     Kita langsung ke intinya. Apa intinya? Lebih baik kalian, masing-masing dari diri kalian tangkap sendiri point-nya. Tapi, ending-nya, sungguh mengingatkan ke satu buku tentang telaah sastra dari sisi psikologi. Mungkin kalau tidak ada yang keberatan judul alias film ini bisa saja: Derita Menjadi Oedektra.
     Maaf ini bukan resensi terbaik yang bisa disediakan untuk film ini. Bahkan ini bukan resensi sama sekali. Ini lebih ke curahan hati. Mohon jangan dimasukkan ke hati.

Subtitle Indonesia: subscene
Film: IDFL

Rabu, 25 Juni 2014

Seikat kutipan dari Haji Murad Karya Leo Tolstoy

"Tali yang bagus adalah tali panjang, obrolan yang bagus adalah obrolan singkat." (Haji Murad, hal 16)

"Omong-omong, ... apa kau pernah merasa sedih?
"Aku kadang-kadang merasa sedih, sangat sedih, sehingga aku tidak tahu apa yang akan kulakukan." (Avdeev si tentara ceria, hal 26)

"Tidak seorang pun melihat saat terpenting dalam hidup dalam kematian itu--akhir kehidupan dan kembali ke pangkuan sang pencipta--tetapi hanya melihat keberanian perwira gagah berani yang menyerbu orang gunung  dengan pedangnya dan dengan cekatan membunuhi meraka." (hal, 49)

"Namun otak seorang wanita sama banyaknya dengan rambut pada sebutir telur." (Haji Murad, hal. 104-105)
Entah kenapa, maaf, saya kurang sepaham dengan Haji Murad kali ini. Dan entah kenapa, saya sendiri selalu merasa inferior di hadapan wanita, siapapun dan dari golongan apapun dia, terutamanya anak-anak, karena anak-anak dipenuhi pertanyaan dengan jawaban yang bahkan Einstein saja akan berkeringat di jidat dibuatnya (eh, kenapa melantur sampai di sini. Rasa-rasanya anak-anak, baik laki-laki atau juga perempuan tak ada yang saling mengalahkan dalam hal rasa ingin tahu. Mereka semua sama-sama juara). Kembali pada soal wanita, dan wanita adalah pencuri sandal, maaf, handal. Pencuri secuil hati dan sebilah iga kekasihnya, pencuri uang suaminya, pencuri pandang lelaki mana saja yang lewat, dan semacamnya. Tapi menjadi wanita merupakan anugerah tersendiri, karena karir paling hebat hanya bisa dilakukan oleh mereka yang memiliki puting susu dan vagina--yang dimaksud di sini bawaan lahir, karena sekarang tidak sedikit yang berani mereka-reka diri mereka, melubangi bagian menonjol, dan menonjolkan bagian yang rata: menjadi ibu rumah tangga. Tapi ingat-ingatlah pesan pemerintah--salah satu yang baik diantara sekian yang mengerikan--dua anak cukup. Ah, kalau tulisan ini diteruskan pasti akan melantur lagi entah sampai dimensi mana, karenanya ada baiknya tulisan ini disudahi saja, mengingat judul tulisan ini...
Semoga semangat dan kesempatan masih terus ada sampai kutipan selanjutnya. Sampai jumpa...

"Nicholas meyakini bahwa semua orang pernah mencuri. Dia tahu para pejabat komisaris itu harus dihukum dan memutuskan untuk mengirimkan mereka sebagai tentara biasa, tetapi juga tahu bahwa itu tidak akan mencegah orang-orang yang mengisi jabatan yang kosong itu dari melakukan hal yang sama. Sudah menjadi sifat para perwira suka mencuri dan sudah menjadi tugasnya menghukum mereka. Dan, walaupun muak dengan semua itu, dia dengan cermat melaksanakan tugasnya." (142-143)
Kali ini sudah pasti tak ada nada sumbang penolakan...

"Bukanlah kebencian, tetapi penolakan mengakui anjing-anjing Rusia ini sebagai manusia, rasa benci, jijik, dan bingung atas kekejaman tidak masuk akal makhluk ini, tentang keinginan untuk menyingkirkan mereka, seperti keinginan untuk menyingkirkan tikus, laba-laba beracun dan, serigala, sama alaminya dengan naluri mempertahankan diri." (163)

Sepertinya perang antar manusia di daerah Soviet atau bekasnya atau apalah namanya sudah berlangsung lama dan kecenderungannya mungkin akan tetap seperti itu dalam waktu yang lama di masa yang akan datang.
Seperti, melihat sekilas Malam-nya Elie Wiesel, sekarang Yahudi menyerang Palestina, dulu Nazi dikabarkan ingin membabat habis mereka, dan lebih dulu lagi tentang sejarah Diaspora Besar.
Mungkin manusia memang pada kodratnya misantropis. Ya, setiap manusia, rasa bencilah bahan utama dari penciptaan tiap selnya.

"Kami memiliki sebuah pepatah. Anjing menyajikan daging kepada keledai, keledai menyajikan jerami kepada anjing--dan keduanya kelaparan. Semuanya merasa nyaman dengan kebiasaannya masing-masing." (Haji Murad, hal. 187)

Oh, dan bagaimana dengan pepatah, 'di mana bumi dipijak di situ langit dijunjung'? Nah, yah, semuanya cuma soal selera, ya kan?

 "Seorang pria bukanlah sebuah pasukan." (Jendral Kozlovsky, hal. 196)

Barangkali dalam bahasanya si Pejalan Udara, 'bakat memenangkan permainan, tapi kerjasama tim dan kecerdasan memenangkan kejuaraan'.

Sabtu, 21 Juni 2014

Pagi ini ada bocah yang berlari mondar-mandir di lapangan yang rumputnya hampir semuanya sudah dipapas. Dia berlari dekat kubangan karya hujan semalam. Di batas lapangan--pematang dari beton dan di atasnya berjejer bata merah gelap akibat basah yang membentang dari tanah melandai di tepi jalan ke bantaran kali--barusan bertengger ayam betina. Ayam itu turun ke lapangan, dengan heran mengamati bocah yang berlari mondar-mandir. Tangan kanan bocah itu menggenggam erat seutas benang. Agak di belakang layang-layang setengah basah melayang menguntitnya, seperti kucing betina berbuntut ikal yang lapar dan terus saja mengekor majikannya meminta makanan dengan meong paraunya. Dia tadi datang dari sisi lapangan yang terhalang bangunan taman kanak-kanak. Seorang yang tampak sudah tua mengendongnya, bisa jadi kakeknya. Di sebelahnya, agak di belakang, kakak perempuannya berjalan mengikuti sambil memegang sepasang sandal si bocah.
     Aroma kopi bercampur dengan bau kandang ayam dan kolam ikan. Dia menyesap kopi dari cangkir yang tadi diletakkannya di ambang jendela lantai atas. Dari situ sebagian lapangan bisa dilihat. Pemandangan yang belakangan jadi kelewat akrab ditangkap matanya. Hanya jati yang kurang gemar meranggas, pohon mangga kecil, dan waru yang menghalangi matanya, selain bangunan yang tadi sudah disebutkan. Kicau burung saling sahut, deru motor dari jalan di sebelah kiri meningkahi, dan sorak sorai anak-anak mulai ramai dari dalam bangunan dekat di sebelah kanan.
     Dia melihat awan yang jarang-jarang di langit sebelah timur laut. Nuansa dari putih kekuningan ke kelabu nampak di gumpalan awan paling besar. Dia memandanganya lewat kaca penuh bercak lumpur. Hujanlah tukang patrinya. Dia memfokuskan mata ke kaca patri lalu pindah ke awan, dan mengulang-ulanginya. Di langit utara pesawat berjalan malas tampak seperti lukisan yang bergerak dengan latar kelabu. Deru mesinnya sayup-sayup terdengar bila suara-suara yang lebih dekat memberi kesempatan.
     Si bocah, kakeknya dan kakak perempuannya pergi dari lapangan, berjalan menyusuri tepi jalan melewati dua mobil SUV baru, satu berwarna putih dan satu lagi merah tua. Di tempatnya berdiri, dia mereguk sisa kopi, menyisakan ampas di dasar cangkir.

21 Juni 2014

Selasa, 17 Juni 2014

Ada kata-kata menarik yang diucapkan Quentin Compson III, karakter rekaan dalam The Sound and the Fury karya William Faulkner, yang--semoga saja tidak ada yang keberatan--aktual dan relevan dengan musim yang tengah bergulir saat ini: musim pilpres. Dia bernarasi,
"Mereka semua bicara serentak, suara mereka bersitegang dan bertentangan dan tidak sabar, membuat ketidaknyataan menjadi kemungkinan, lalu peluang, lalu fakta tak terbantahkan, seperti yang dilakukan oleh semua orang ketika keinginan mereka berubah menjadi kata-kata."
Terus yang ada dalam halaman selanjutnya tak kalah menarik. Dia kembali bernarasi,
"...; mereka juga mengikuti sifat orang dewasa yang bisa diyakinkan mengenai segalanya dengan menunjukkan keunggulan lewat sikap membisu."

***

Mengenai kedewasaan, hal ini pun cukup menarik. Entah apa ada hal yang kurang menarik di dunia ini.
"TIDAK UNTUK DIJUAL KEPADA ORANG YANG BELUM DEWASA"
tulisan ini terpampang di samping kanan dan kiri kotak bungkus rokok berwarna merah putih (kombinasi warna ini entah ada atau tidak ada kaitannya dengan hal lain, siapa yang tahu, bahkan Tuhan sekalipun). Apa ada yang pernah ketemu dengan seorang paruh baya bersifat kekanak-kanakan, atau manusia lanjut usia dengan sifat yang mirip dengan seorang paruh baya tadi? Sebaliknya, apa ada yang pernah ketemu dengan anak SD yang kelihatan sudah dewasa, dia bisa jadi kepala keluarga, merawat ibunya yang sakit-sakitan yang ditinggal pergi suami yang tidak pernah mengenal apa itu tanggung jawab, menghidupi dua adik-adiknya yang masih kecil?
Apa itu dewasa, apa indikasinya?
Bagian tenggara lapangan yang dulunya ladang tebu itu berwarna cokelat. Beberapa pekan setelah ladang tebu dirubah jadi lapangan, rumput-rumput mulai tumbuh. Di bagian tengah ada dua lajur tanah yang tidak ditumbuhi rumput. Dua lajur yang tampak seperti jejak roda kendaraan. Hampir tiap sore di lapangan itu anak-anak yang entah anak siapa bermain layang-layang, sekadar berkumpul bersama, bersepeda atau hal lain yang biasa dilakukan anak-anak.
     Tengah hari ini, dua orang tampak berjongkok agak berjauhan satu sama lain di lapangan. Satu, yang lebih tua, di pinggir sebelah utara dekat kali kecil yang dulunya cukup sering anak-anak mencari ikan di sana, tapi sekarang airnya kering di musim kemarau. Satu lagi di tengah, dekat satu dari dua lajur bekas roda kendaraan. Mereka memegang sabit kuat-kuat, menekankan dua ibu jari pada gagangnya, bagian sabit yang tumpul diletakkan di perbatasan antara tanah dan pangkal rumput dan mereka membuat gerakan tarik-dorong.
     Sesekali salah satu dari mereka, yang muda, menyeka keringat di dahi dengan lengan kaosnya. Dia memakai kaos warna gelap lengan panjang, celana olahraga panjang biru tua bergaris putih di sampingnya, sendal jepit dan caping yang talinya dicantolkan dagu.
     Matahari bukan sahabat mereka siang ini. Ada gumpalan awan di langit sebelah utara, namun enggan memberi naungan untuk mereka yang ada di lapangan. Mereka yang menjalani takdir, mengais apa yang disediakan takdir.
     Ada kebun setengah terbengkalai di utara lapangan, bersebelahan dengan bagian tanah yang selesai dicabuti rumputnya. Di sebelah utaranya kebun setengah terbengkalai itu ada proyek pembangunan SMP. Kuli-kuli bangunannya lagi mengaso. Kalau lagi kerja suara alat-alat milik mereka bersaut-sautan membentuk orkestra tanpa harmoni.
     Raung garang motor mendadak memenuhi udara di sekitar lapangan. Bocah bermotor kros masuk lapangan. Lewat di sebelah pencabut rumput muda dengan kata permisi yang diwakili oleh raungan mesin motornya. Cuma sebentar, bolak-balik sekali, dia terus keluar lapangan. Si tua dan si muda cuma mengangkat kepala, menengok sebentar, terus asyik lagi dengan rerumputan. Tak selang lama, bocah itu balik lagi, beraksi sama persis dengan yang pertama. Dua pencabut rumput juga bertindak sama. Melihat adegan ini serasa mengalami deja vu. Bedanya di akhir adegan terakhir, asap dan debu lebih bergairah, meski cuma figuran tak mau kalah, terbang terombang-ambing angin.

setjoeil asa

Kamis, 12 Juni 2014

Menu makan malamnya kali ini nasi, oseng mie, dan tempe tepung yang proporsi antara tepung dan tempenya sungguh akan membuat penggemar mendoan kecewa berat. Dia tak menggubris nasehat ahli gizi, pemerhati makanan, atau bahkan Dedi Korbuser. Siapa juga yang mau nampang telanjang dada di sampul depan buku.
     Belum satu jam sebelumnya, bulan bangun kepagian. Matahari belum seutuhnya terbenam, bulan sudah tampil memukau di langit timur. Wajahnya tampak lebih besar dan riang. Apa ada yang bermain-main jadi Tuhan dan menariknya dengan laso lebih dekat ke bumi? Hanya Tuhan dan orang yang bermain-main jadi Tuhan itu yang tahu. Mungkin bulan cuma lagi kejar setoran.... Eh?
      Piala Dunia! Teriak saudagar-saudagar jersey kece, kicau olahragawan-olahragawan cabang sepakbola, oceh komentator-komentator jontor dan lolong para penggila bola serempak. Tapi apa yang dibisikkan oleh demonstran-demonstran itu di sana, apa Tuhan mendengarnya?
    
12 Juni 2014
setjoeil asa

Minggu, 08 Juni 2014

Berbaring di atas kasur yang mencekung akibat berat badan ini. Di dalam kamar, ditemani lampu LED biru pelantam suara dan kipas laptop. Lagu folk berkumandang mesra. Ingatan melangkah beberapa jam ke belakang: kucing di kolong angkringan, ujung lidah api dari anglo yang mencuat di sela-sela dua ceret kaleng, peminta-minta yang menolak dikasih nasi kucing, asap rokok dari pelanggan angkringan, entah kenapa semua hal sepele itu tampak berkesan.
Percakapan dengan teman kuliah tentang pekerjaan yang belum benar-benar digenggaman: "yah, aku cuma suka nulis, tapi nggak bisa nulis."
"Tapi semua berawal dari suka. Kalau sudah suka orang akan lakukan apa saja buat lebih hebat dan hebat lagi."
Mungkin benar, tapi siapa yang hebat, atau siapa juga yang pengin jadi hebat...
Lampu kota itu mati, terus hidup saat didekati. Mungkin memang begitu sistemnya, pikirku, kalau sudah panas mati sendiri, sudah agak dingin nyala lagi.
Sepeda restorasi ini mengalir tanpa peduli siliran hasil cipta sepeda motor yang tergesa-gesa di sebelah kanan. Ada sekali waktu, dari jalur sebaliknya, sekumpulan motor berlari dengan suara menyayat hati. Meski mencoba tak peduli, buang muka, pikiran tak mau berhenti mengkritisi. Tapi siapa juga pikiran ini mau jadi hakim yang kerjaannya ketok palu. Urus diri sendiri saja tak becus. Itu hidup mereka, suka hati mereka mau diapakan.
Di pinggir jalan, trotoar, angkringan bertebaran... Di sekitar stadion, sepelemparan batu dari satu angkringan ada angkringan lagi.
Burjoan tak mau kalah. Secuil tempat dipakai buat dagang itu aak-aak. Tak jual burjo tak masalah, gelar burjoan masih bisa disemat. Anak-anak komplek gemar main di situ. Mereka menggelar tikar butut, terus main kartu sampai lupa waktu. Kopi jadi sahabat baik. Asap rokok tertahan di atap seng di atas mereka, kesulitan mencari jalan ke habitatnya. Bau tembakau membikin tersedak buat mereka yang agak alergi. Ah, bukan itu hiperbol. Meski orang suka berlebih-lebihan saat cerita. Tapi tak ada yang alergi asap rokok berani dekat-dekat tempat begitu. Barangkali ini cuma alergi hidup.
Cukup dengan lambaian tangan. Tempat itu terlewat... Bukannya anti sosial. Mungkin sedikit. Manusia mana yang tahu dengan apa yang terjadi pada dirinya?

setjoeil asa

Rabu, 28 Mei 2014

Resensi Jiwa-jiwa Mati, Nikolai Gogol



Judul Buku       : Jiwa-jiwa Mati
Penulis             : Nikolai Gogol
Penerjemah    : Koeslah Soebagyo Toer
Penerbit          : Yayasan Obor Indonesia
Cetakan           : II, 2013
Tebal               : 550 halaman



Ini adalah gunjingan hebat buat pejabat bejat yang mengaku mewakili rakyat. Oleh sebab itu, buku ini cocok bagi mereka yang muak dengan birokrasi. Ini adalah gudang karakter manusia. Oleh sebab itu, buku ini cocok bagi mereka yang benci tapi suka manusia. Ini bukan buku motivasi picisan. Agaknya cukup bagus buat mereka yang selalu melihat setitik bayangan saat menghadap matahari.

Khay dan Naya



Ah, dia datang lagi. Kenapa dia membawa tas gunung segala? Tampak penuh pula. Pastilah isinya cerita-cerita demotivasi ala dia. Teman yang satu ini, bukan main semangatnya bila membawakan cerita-cerita macam itu.
Lagi-lagi, bukan salam atau pertanyaan tentang kabar yang pertama terlontar dari mulutnya. Dia bilang, baru saja dia bertemu dengan Khay. Temannya yang seekor kelinci.
Ya kan. Kali ini, ia bercerita tentang seekor kelinci. Khay si kelinci baru saja lari dan bersembunyi dari Naya, majikannya. Tapi sekarang, dia sudah tertangkap.
"Apa Naya jahat?" tanyaku.
"Sebaliknya," katanya.

Selasa, 20 Mei 2014

Sehabis makan, orang bisa melihat sisa irisan-irisan cabai yang tergelar setengah melingkari pinggir piringnya. Bahkan malaikat Atid pun akan kesulitan jika disuruh menghitung irisan-irisan itu. Bijaksanalah Tuhan tak membiarkan tugas mahaberat ini dipikul sang malaikat.
     Meski begitu, hampir tiap ada kesempatan, sehabis santap malam, dia akan bilang ke istrinya tentang berapa cabai yang dimasukkan ke jangan buncis, atau jangan tempe-tahu atau masakan yang tadi disantap. Pertanyaan ini diucapkan sedemikian rupa, hingga jelas bahwa ini dimaksudkan untuk menyinggung kekurangpedasan masakan si istri. Dan istrinya akan menjawab bahwa jumlahnya cukup untuk membuat pelanggan warung batuk-batuk dan bersin-bersin saat mencium aroma masakannya. Atau dalam beberapa kesempatan si istri akan bilang, "jumlah yang cukup bikin pedagang cabai girang."
     Kalau kebetulan pasangan ini mengunjungi kampung kelahirannya, mereka hampir pasti membawa pulang berikat-ikat petai yang menjuntai. Sampai-sampai pernah mereka ini dikira pedagang petai yang lagi kulak. Dalam kesempatan ini, beda lagi komentar yang terlontar dari mulut si suami. Dia akan bilang, "Kamu ke manakan petai tadi?" Dengan nada yang dibuat-buat, seakan dia tidak bilang seperti barusan tapi, "kenapa nggak ada petai di oseng-oseng ini?" Padahal di hadapannya ada masakan yang disebut oleh si istri sebagai 'oseng-oseng petai'. Akan sangat tidak adil memanggil masakan itu oseng-oseng tempe atau oseng-oseng kacang panjang, karena perbandingan yang kurang ajar antara jumlah kacang panjang atau tempe dengan petai. Kalau saja ini pemilihan presiden, petai akan menang dalam satu putaran, dan uang negara yang dihemat, ralat, maksud kami diembat akan lebih banyak.
     Yah, begitulah sekilas yang bisa diceritakan tentang pasangan bahagia yang sudah berlayar dalam bahtera rumah tangganya selama hampir tiga dekade ini. Apa yang selanjutnya terjadi dengan mereka, hanya Tuhan yang tahu.

Setjoeil Asa

Senin, 19 Mei 2014

Pengayuh Sepeda Berteman Kesepian

"Chicikov berpendapat bahwa cerita itu memang terjadi, dan ada beratus hal di tengah alam ini yang tak dapat dijelaskan walaupun oleh sarjana yang paling besar."                                                                                                                                    ( Nikolai Gogol - Jiwa-jiwa Mati)

Sore:
"Berapa mas sekilo?" tanyaku
"Enam ribu," jawab mas penjual pakan ternak singkat.
     Tentu saja percakapan terkait jual-beli pelet kecil ini dalam bahasa Jawa. Harap maklum, karena latar jurnal kali ini memang, lagi-lagi, terjadi di tempat yang mensunahkan, kalau penulis boleh bilang, menggunakan bahasa setempat.
     Selepasnya, kukayuh sepeda ke arah tenggelamnya matahari, ke arah yang juga menuju Pasar Kotagede. Pernah suatu fajar, sebelum adzan subuh berkumandang, setelah habis pertandingan Manchester United, penulis lewat pasar yang tadi disebutkan. Pedagang- pedagang yang berani hidup sudah sibuk dengan kegiatannya masing-masing: ada yang menggelar tikar alas dagangan, menurunkan kubis dari kendaraan pengangkutnya, bercengkrama dengan sesamanya tentang apakah Jokowi memang pantas jadi presiden, Mengkritisi buku Depe tentang penjara perempuan (mereka pikir dia itu Nawal El Sadawi atau siapa, meski yang bersangkutan sendiri baru bilang mau menulis), mambaca novel Jiwa-jiwa Mati-nya Gogol, (maaf, salah ketik. Kalau orang jaman sekarang yang doyan bersosial-media bilang tipus, maaf lagi, maksudnya typo. Tapi penulis menganggap dirinya anakronis. Apa lagi ini?)
     Mohon dimaafkan dan lupakan saja pikiran-pikiran kurang waras penulis yang dituangkan di tempat ini. Walau memang tempat ini memang sepenuhnya seharusnya menjadi tempat seperti itu (apa-apaan ini?) Harap maklum penulis belum menyesap sedikit pun cafein hari ini. Penulis minta ijin untuk meminum kopi Kapal Api sebentar. Sebentar saja. Hanya beberapa menit. Tak perlulah pembaca menanti terlalu lama.

***

     Nah, penulis bilang juga apa. Belum sempat pembaca kelar mengunduh lagu Twentysomething-nya Jamie Cullum, penulis sudah melanjutkan tugas sucinya ini. Sampai di mana tadi. Oh ya, mengunduh lagu. Eh, apa itu termasuk ikut membangun jalan tol buat para pembajak? Mungkin Captain Jack atau Johnny Depp punya pendapat.
     Oke, penulis melanjutkan mengayuh sepeda mengitari pasar lewat jalan di sebelah timur pasar, ke arah belakang pasar. Di selatan pasar ada jalan ke barat menuju Masjid Mataram yang kemarin baru melaksanakan ritual menguras kolam. Sayang tak banyak panen ikan kali ini, karena itu memang bukan kolam ikan. Itu kolam pemandian. Waktu kecil banyak teman penulis melihat orang mandi di sana. Sekali lagi penulis tekankan, teman penulis. Penulis tidak berani, tidak berani kalau cuma sebentar, lama-lama doyan. Ah, setengah jalan menuju voyeurism.
     Ke selatan lagi ada pabrik cokelat yang cukup terkenal akibat pemasaran gencar manajemennya. Begitulah kiranya yang penulis percayai. Lalu lepas dari jalan bebentuk 'S' yang sama sekali tidak terasa dingin kalau melewatinya, satu lagi situs bersejarah menghadang jalan. Semacam pondok kecil di tengah jalan. Di dalamnya ada batu-batu, yang entah kenapa penulis kurang paham, disebut bersejarah. Kurasa batu di pekarangan belakang rumah juga menyimpan sejarah hebat. Entahlah... Penulis mengaku suka sejarah, padahal di SMA saja tak mau beli buku pelajaran sejarah.
     Si pengayuh sepeda yang tak lain juga adalah penulis, disuguhi panorama sosial menawan di sekitar situs batu itu. Batu yang bukan merupakan batu yang muncul di Novel Harry Potter yang pertama. Katanya kalau mau jadi cerpenis atau novelis harus pandai-pandai menangkap semuanya sajalah yang ada di sekitar. Yang tersirat maupun yang tersurat. Apa iya? Ah, mungkin itu cuma khayalan penulis. Tak usahlah diambil hati. Lebih enak daging di bagian pinggang, atau kalau chef yang bertato di seluruh lengannya itu bilang Sirloin (semoga tidak salah sebut. Penulis bukan lulusan perikanan).
     Nah, singkat cerita, sampailah penulis di tempat dia seharusnya memang sampai (?).... SELESAI atau barangkali juga bersambung... Siapa yang tahu takdir siapa....

nb: Di jalan belakang perumahan, di tempat yang memungkinkan untuk melihat salah satu rumah paling selatan di kompleks perumahan itu, ada lelaki paruh baya yang entah lagi melakukan apa pada pagar rumahnya yang entah sejak era apa berdiri di pinggir jalan itu. Dia memegang palu, semetara ada salah seorang lagi, yang lebih tua melihat lelaki itu bekerja. Orang tua ini berdiri memegangi sepedanya di tengah jalan. Baru setelah dekat lelaki pemegang palu menyadari ada yang mau lewat, tapi tidak demikian dengan orang tua di tengah jalan itu. Akhirnya, setelah orang tua minggir, terjadilah ritual ala Jawa kalau berpapasan, menundukkan badan sambil bilang, "permisi," yang tentu saja seperti di awal cerita, dalam bahasa halus setempat.
     Lepas dari jalan kecil itu terasa sekali nuansanya, atau untuk menghindari kesalahpahaman, gradasinya. Rumah-rumahnya dengan arsitektur modern minimalis, isi garasinya, pagar, atap, tembok, pengasuh, pembantu, anak-anak, anak anjing, semuanya sajalah. Oh, bukan ini perbedaan yang teramat besar. Kesenjangan luar biasa. Jurang! Tanpa bisa dilihat tanah di seberang, dan betapa dalamnya. Tak seorang manusia dapat melompatinya, bahkan Jesus, Nuh, atau sekalipun Samson.
     Beberapa rumah sebelum sampai di tempat yang seharusnya, penulis memnjumpai dua orang pemuda beriman dengan pakaian religius mereka. Seseorang bilang, "kok sendirian. Apa nggak kesepian?" Kecuali kata terakhir, lagi-lagi semua itu diucapkan dalam bahasa setempat yang mungkin sudah membuat pembaca muak akibat terlalu sering disebut.
     Baru, penulis sadar kalau kesepianlah BBF-nya. Boy Friend Forever? Bukan, bukan. Bad Friend Forever? Bukan lagi. Blue Film Forever? Jelas bukan. Barangkali ini kejuaran gulat yang dihelat oleh Paman Sam itu? Boleh jadi... Atau selamanya teman terbaik. Kali ini bukan dalam bahasa setempat. Meski tak kalah bikin muak.


Jogja, 19 Mei 2014
Di bawah pengaruh hebat Jiwa-jiwa Mati-nya Nikolai Gogol, Setjoeil Asa
    

Selasa, 22 April 2014

Sekumpulan Kutipan dari Gunung Kelima-nya Paulo Coelho

"Tuhan adalah tuhan. Tidak dikatakan-Nya pada Musa, apakah Dia baik atau jahat. Dia hanya mengatakan: Aku adalah aku. Dia menyatakan diri-Nya dalam segala sesuatu yang ada di bawah matahari--dalam pertir yang menyambar merusak rumah, dan dalam tangan manusia yang membangunnya kembali.'' (hal. 15)

"Tuhan maha kuasa. Kalau Dia membatasi diri-Nya hanya dengan melakukan apa-apa yang baik, Dia tidak bisa disebut Maha Kuasa; itu berarti Dia hanya menguasai satu bagian dari alam semesta, dan ada orang lain yang  lebih berkuasa daripada-Nya, yang mengawasi dan menilai tindakan-tindakannya. Kalau demikian halnya, aku memilih memuja orang yang lebih berkuasa itu." (hal,17)

"... dia sudah menemukan bahwa, hampir sepanjang masa hidupnya, manusia tidak berkuasa membuat keputusan." (hal. 36)

Sedang Memuat...



Kamis, 10 April 2014

3½ Hari


Hari 1: Air
Hati ini tersayat-sayat melihat air tanah ditarik paksa ke permukaan, terus digelandang ke kolam berair keruh. Tidak lebih perih ketimbang menatap nanar tangan yang secara sadar menguyurkan air keran ke kloset yang berlumuran air kemih.
Koran edisi itu memajang foto istrinya Chris si pelantun tembang, atau dia itu istrinya Robert. Entahlah, siapa peduli. Istri salah satu dari mereka ini dipertontonkan waktu lagi minum air mineral botolan. 22 Maret Hari Air Sedunia, tulisan di sekitar gambar itu mudah terbaca. Mudah terbaca tentunya bagi mereka yang tidak buta aksara.
            Tapi siapa yang peduli sama air kalau air bersih mudah saja menggelontor sekali putar kenop keran. Selalu saja ada yang berkoar-koar di dalam kepala bahwa kemudahan menumpulkan pikiran, mengikis rasa syukur.
            Orang yang menarik paksa air tanah, bapak, kelihatannya saja hampir tiap hari ngelaju Jogja-Wonosari. Bukannya di sana ada yang namanya pedagang air. Konon satu tangki dihargai 20.000. Bisa sampai 160.000 pula kalau diantar jauh. Entah isi berapa liter satu tangkinya. Ah, lama-lama bisa jadi akan ada pula pedagang udara. Atau memang sekarang ini sudah ada?
            Lihat siapa yang punya pandangan macam ini. Dasar pelanggan PDAM.

Kamis, 27 Maret 2014

Ilham Dermawan

Maaf, aku tidak akan menyumbangkan satu pun buku-bukuku--yang kurasa adalah harta duniawi paling berhargaku. Yah, aku memang bukan dermawan, dan tidak pernah merasa demikian. juga diri ini tidak pernah merasa lebih baik dari pada siapa pun jua. Tidak pada mereka yang meminjam barang orang lain tanpa izin karena desakan dan seruan perut mereka yang memekakkan telinga mereka sendiri akibat kosong selama hampir tiga hari penuh. Tidak juga pada mereka yang memampang foto wajah ramah-semringah di pohon-pohon atau tiang-tiang listrik pinggir jalan. Tapi entah pada mereka yang mengambil yang bukan haknya karena belum merasa puas dengan yang mereka miliki.
     Jangan. Jangan panggil aku eksistensialis. Tapi aku memang tertarik dengan kebebasan individu yang hanya dibatasi oleh kebebasan individu lain. Sayangnya dalam hal ini kebebasan spesies lain tidak diacuhkan.
     Oh, kenapa juga tadi aku menyinggung soal buku-buku. Apa gunanya membaca buku. Apa dengan itu hidup ini lebih layak dijalani? Barusan aku baca buku. Di dalamnya ada kalimat menarik. Akan kukutip, "... tetapi segera perasaan itu diganti oleh suatu kekecewaan yang amat getir, aku nyaris menangis karena ternyata masih hidup." Aku pasti akan merasa bersalah kalau tidak kusebutkan buku apa yang kukutip dan siapa penulisnya. Itu Lapar-nya Knut Hamsun. Meski aku pernah membaca entah di mana--atau sekarang ini aku sengaja lupa--kalau penulis kelas teri meminjam, penulis kelas kakap mencuri.
     Jujur, tadi aku tersambar ilham dalam guyuran air tanah yang ditarik paksa ke permukaan. Apa ilham sedang bergesa-gesa? Apa dia merentangkan terus mengepak-ngepakkan sayapnya? Terbang entah ke mana? Dan hinggap di pundak orang lain, entah siapa? Ilham yang satu ini barangkali berhati lembut. Tak sekuku pun jejak cengkeramannya tertinggal di bagian mana pun di benak ini dia tadi bertengger. Susah payah kucari-cari, tak ketemu juga. Tidak pula peninggalan barang sepatah, dua patah kata perpisahan. Tak tahu adat ini ilham.

Ilham, oh ilham, ke mana gerangan engkau mendarat? Semoga nasibmu lebih baik dari MH370.
Salam, Setjoeil Asa.

27 Maret 2014, di bawah pengaruh "Lapar". Sungguh ingin kubakar saja buku ini, tapi maaf saja jika harus meminum abunya yang dicampur dengan air. Tidak! Tidak akan pernah! Ya, ya aku rasa aku tahu kenapa orang ini dapat Nobel. Iri? Siapa bilang aku iri? Bajingan mana yang tidak iri kalau membaca buku seperti ini...

Jumat, 07 Maret 2014

Si anak laki-laki bilang kalau dia lagi perang dengan pengedar candu. Aku tanya siapa?
Lebih tepatnya apa, katanya, koran adalah candu. Tajuk rencana: harus bisa berhenti baca itu tiap siang sehabis bangun tidur pagi.
Hari ini tajuk rencana cerita tentang betapa kaya dan dermawannya negara ini. Dia, negara yang katanya gemah ripah loh jinawi ini bagi-bagi 7 triliun (sial! berapa ya nolnya ya?) lebih buat orang-orang yang punya bank, apa itu namanya, entahlah, semua orang sudah lupa. Dua orang diantaranya bukan orang pribumi katanya.
Negara ini kasih duit sebegitu banyaknya (eh, triliun itu banyak, kan?) ke segelintir orang--yang entah siapa itu mereka--bisa, tapi kasih makan ke 21 juta rakyatnya yang perutnya keroncongan kok nggak mau ya? Apa duit yang digelontorkan buat itu harus lebih deras lagi?
Atau, atau sekolahkan saja 11 juta anak itu, biar melek aksara. Bagaimana negara? 7 triliun lagi buat itu tak masalah tentunya, kan?
Oh, atau lagi, bangun rusunawa saja lagi. Di tempat yang bukan semacam pinggir sungai atau pinggir rel kereta api atau pinggir kuburan atau pinggir jurang kematian...

setjoeil asa, tulisan yang masih harus banyak direvisi (bajingan, revisi: benci kata itu)
oh, lupa tentang si tukang cukur rambut yang pandai marketing, atau kasarnya susah tutup mulut...

Rabu, 26 Februari 2014

"Menjadi manusia justru berarti tanggung jawab, berarti merasa malu berhadapan dengan suatu kesengsaraan yang tampaknya tidak bergantung pada dirinya..." (Antoine de Saint-Exupery)

Pagi tadi si anak laki-laki membaca tajuk rencana surat kabar harian tentang bancakan suap migas. Dituliskan di situ besaran 200.000 dolar Amerika. Dibagi-bagi buat siapa saja, si anak laki-laki bilang malas mengingatnya. "Sebentar lagi semua orang juga sudah lupa," katanya, "siapa yang ingat Century?"
     Terus dia juga cerita jadi ingat tentang kekuasaan mutlak yang kembali ke pangkuan MK, yang beberapa hari atau pekan sebelumnya juga jadi tajuk rencana di koran yang sama. "Masa UU tentang batasan kekuasaan MK yang punya keuputusan mengesahkan MK. Ini seperti bocah laki-laki usia puber memutuskan berapa kali dia boleh masturbasi seminggunya."
     Sorenya di tv si anak laki-laki terlihat menonton seorang anak, yang harusnya sekolah menuntut ilmu, kerja keras membantu ibunya. Dia mengangkat kayu bakar (semoga bukan dari kebun perusahaan mana), dan menyiangi sawah (yang entah milik siapa). Oh, siapa bilang sudah tidak ada generasi muda yang mau jadi petani (kecuali terpaksa)?
     Ini semua, si anak laki-laki bercerita, dia ingat saat makan sore dengan menu: kecambah rebus, wortel rebus, kubis rebus, timun, tahu, telur rebus disiram saos kacang ditambah kerupuk ditemani susu kedelai. "Tanpa berkeringat aku bisa makan semua ini," katanya.

Senin, 24 Februari 2014

Sekumpulan kutipan dari Bumi Manusia-nya Antoine de Saint-Exupery

Dalam buku berisi cerita dan renungan ini, Saint-Exupery melukiskan "bumi manusia" dilihat dari udara: betapa kerdilnya manusia di tengah kemahaluasan bumi, betapa agungnya manusia karena dialah yang memberikan arti kepada bumi. (sampul belakang)

"Bumi mengajarkan kepada kita tentang diri kita jauh lebih banyak daripada semua buku di dunia ini, karena ia menantang kita. Manusia menemukan dirinya manakala ia harus mengukur kekuatannya sendiri ketika menghadapi suatu hambatan." (hal. 9)

"Dan aku sudah menduga bahwa suatu tontonan tidak akan bermakna kecuali melalui suatu budaya, suatu peradaban, suatu usaha. Orang gunung tahu juga tentang lautan awan. Namun, di situ mereka tidak menemukan tirai yang luar biasa indah itu." (hal. 14)

"Demikianlah kami mengangkat detail-detail dari nasib mereka yang terlupakan, dari pengucilan mereka yang tak masuk akal, yang luput dari perhatian para pakar geografi di dunia." (hal. 16)

"Aku sempat pula mendengar curahan hati yang diucapkan dengan suara perlahan. Isinya tentang penyakit, uang, masalah rumah tangga yang menyedihkan, yang menunjukkan dinding-dinding penjara kusam tempat manusia terkurung." (hal. 23)

Kamis, 20 Februari 2014

(Masih) Percakapan dalam Kepala



Iya, aku juga lihat edisi Sabda Zarathustra yang lain.
“Judulnya Seruan Zarathustra.”
Ada beberepa bab yang kusuka, tapi secara garis besar... ehm, entahlah. Ide tentang adimanusia atau manusia yang unggul secara intelektual, mental, fisik? Kamu harus coba lihat Gattaca. Ah, aku suka film itu. Terus terang aku kurang sepaham dengan Nietzsche tentang ini. Bukannya setiap orang, siapapun itu mempunyai kesempatan, atau lebih tepatnya, hak yang sama?
“Hak asasi?”
Iya ada yang superior atau inferior, tapi dalam satu hal. Dalam hal lain mungkin yang inferior jadi superior dan sebaliknya. Atau sekarang satu orang si pemenang, dan satu lagi si pecundang, lain kali mungkin si pemenang jadi si pecundang dan sebaliknya. Seperti yang dibilang Bob Dylan di The Time, They Are A Changing.
“Jangan bicara terlalu cepat pada roda yang masih berputar?”
Yap...
“Kenapa, sakit mata?”
...
“Buku apa yang lagi kamu baca?”
50 halaman terakhir Kota Tuhan-nya E.L. Doctorow.
“Yang dibuat filmnya itu? Tentang peredaran narkoba di Brazil?”
Awalnya kukira juga, tepi ternyata beda. Lumayan, meski aku kadang di beberapa bagian nggak paham.
“Belum.”
Eh?
“Iya, belum. Bukannya nggak paham, tapi belum paham. Belum paham dengan tingkat pemahamanmu sekarang ini.”
Bisa jadi. Banyak kutipan yang kusuka. Ini semacam buku yang bisa menerbitkan keraguan. Bukan, bukan.. ehm, lebih tepatnya menyenggol iman.
“Lagi-lagi buku yang membuat berpikir?”
Bukannya membaca itu memang memaksa berpikir? Memang, mungkin sebagian besar dari tujuh miliar orang di dunia ini akan lebih senang bilang, ‘berikan saja kebenarannya!’ alih-alih disuruh bertanya-tanya, ‘kenapa begitu?’ terus cari jawabannya. Tapi alam semesta tidak bekerja seperti itu. Dia mungkin agak introvert. Dia nggak mungkin akan ngomong tentang dirinya dan mencurahkan isi hati macam Woody Allen.
“Nggak bisa lebih setuju lagi sama kamu, Bung.”
Yah, karena aku mungkin juga ikut ke mayoritas itu...