Rabu, 28 Mei 2014

Resensi Jiwa-jiwa Mati, Nikolai Gogol



Judul Buku       : Jiwa-jiwa Mati
Penulis             : Nikolai Gogol
Penerjemah    : Koeslah Soebagyo Toer
Penerbit          : Yayasan Obor Indonesia
Cetakan           : II, 2013
Tebal               : 550 halaman



Ini adalah gunjingan hebat buat pejabat bejat yang mengaku mewakili rakyat. Oleh sebab itu, buku ini cocok bagi mereka yang muak dengan birokrasi. Ini adalah gudang karakter manusia. Oleh sebab itu, buku ini cocok bagi mereka yang benci tapi suka manusia. Ini bukan buku motivasi picisan. Agaknya cukup bagus buat mereka yang selalu melihat setitik bayangan saat menghadap matahari.

Khay dan Naya



Ah, dia datang lagi. Kenapa dia membawa tas gunung segala? Tampak penuh pula. Pastilah isinya cerita-cerita demotivasi ala dia. Teman yang satu ini, bukan main semangatnya bila membawakan cerita-cerita macam itu.
Lagi-lagi, bukan salam atau pertanyaan tentang kabar yang pertama terlontar dari mulutnya. Dia bilang, baru saja dia bertemu dengan Khay. Temannya yang seekor kelinci.
Ya kan. Kali ini, ia bercerita tentang seekor kelinci. Khay si kelinci baru saja lari dan bersembunyi dari Naya, majikannya. Tapi sekarang, dia sudah tertangkap.
"Apa Naya jahat?" tanyaku.
"Sebaliknya," katanya.

Selasa, 20 Mei 2014

Sehabis makan, orang bisa melihat sisa irisan-irisan cabai yang tergelar setengah melingkari pinggir piringnya. Bahkan malaikat Atid pun akan kesulitan jika disuruh menghitung irisan-irisan itu. Bijaksanalah Tuhan tak membiarkan tugas mahaberat ini dipikul sang malaikat.
     Meski begitu, hampir tiap ada kesempatan, sehabis santap malam, dia akan bilang ke istrinya tentang berapa cabai yang dimasukkan ke jangan buncis, atau jangan tempe-tahu atau masakan yang tadi disantap. Pertanyaan ini diucapkan sedemikian rupa, hingga jelas bahwa ini dimaksudkan untuk menyinggung kekurangpedasan masakan si istri. Dan istrinya akan menjawab bahwa jumlahnya cukup untuk membuat pelanggan warung batuk-batuk dan bersin-bersin saat mencium aroma masakannya. Atau dalam beberapa kesempatan si istri akan bilang, "jumlah yang cukup bikin pedagang cabai girang."
     Kalau kebetulan pasangan ini mengunjungi kampung kelahirannya, mereka hampir pasti membawa pulang berikat-ikat petai yang menjuntai. Sampai-sampai pernah mereka ini dikira pedagang petai yang lagi kulak. Dalam kesempatan ini, beda lagi komentar yang terlontar dari mulut si suami. Dia akan bilang, "Kamu ke manakan petai tadi?" Dengan nada yang dibuat-buat, seakan dia tidak bilang seperti barusan tapi, "kenapa nggak ada petai di oseng-oseng ini?" Padahal di hadapannya ada masakan yang disebut oleh si istri sebagai 'oseng-oseng petai'. Akan sangat tidak adil memanggil masakan itu oseng-oseng tempe atau oseng-oseng kacang panjang, karena perbandingan yang kurang ajar antara jumlah kacang panjang atau tempe dengan petai. Kalau saja ini pemilihan presiden, petai akan menang dalam satu putaran, dan uang negara yang dihemat, ralat, maksud kami diembat akan lebih banyak.
     Yah, begitulah sekilas yang bisa diceritakan tentang pasangan bahagia yang sudah berlayar dalam bahtera rumah tangganya selama hampir tiga dekade ini. Apa yang selanjutnya terjadi dengan mereka, hanya Tuhan yang tahu.

Setjoeil Asa

Senin, 19 Mei 2014

Pengayuh Sepeda Berteman Kesepian

"Chicikov berpendapat bahwa cerita itu memang terjadi, dan ada beratus hal di tengah alam ini yang tak dapat dijelaskan walaupun oleh sarjana yang paling besar."                                                                                                                                    ( Nikolai Gogol - Jiwa-jiwa Mati)

Sore:
"Berapa mas sekilo?" tanyaku
"Enam ribu," jawab mas penjual pakan ternak singkat.
     Tentu saja percakapan terkait jual-beli pelet kecil ini dalam bahasa Jawa. Harap maklum, karena latar jurnal kali ini memang, lagi-lagi, terjadi di tempat yang mensunahkan, kalau penulis boleh bilang, menggunakan bahasa setempat.
     Selepasnya, kukayuh sepeda ke arah tenggelamnya matahari, ke arah yang juga menuju Pasar Kotagede. Pernah suatu fajar, sebelum adzan subuh berkumandang, setelah habis pertandingan Manchester United, penulis lewat pasar yang tadi disebutkan. Pedagang- pedagang yang berani hidup sudah sibuk dengan kegiatannya masing-masing: ada yang menggelar tikar alas dagangan, menurunkan kubis dari kendaraan pengangkutnya, bercengkrama dengan sesamanya tentang apakah Jokowi memang pantas jadi presiden, Mengkritisi buku Depe tentang penjara perempuan (mereka pikir dia itu Nawal El Sadawi atau siapa, meski yang bersangkutan sendiri baru bilang mau menulis), mambaca novel Jiwa-jiwa Mati-nya Gogol, (maaf, salah ketik. Kalau orang jaman sekarang yang doyan bersosial-media bilang tipus, maaf lagi, maksudnya typo. Tapi penulis menganggap dirinya anakronis. Apa lagi ini?)
     Mohon dimaafkan dan lupakan saja pikiran-pikiran kurang waras penulis yang dituangkan di tempat ini. Walau memang tempat ini memang sepenuhnya seharusnya menjadi tempat seperti itu (apa-apaan ini?) Harap maklum penulis belum menyesap sedikit pun cafein hari ini. Penulis minta ijin untuk meminum kopi Kapal Api sebentar. Sebentar saja. Hanya beberapa menit. Tak perlulah pembaca menanti terlalu lama.

***

     Nah, penulis bilang juga apa. Belum sempat pembaca kelar mengunduh lagu Twentysomething-nya Jamie Cullum, penulis sudah melanjutkan tugas sucinya ini. Sampai di mana tadi. Oh ya, mengunduh lagu. Eh, apa itu termasuk ikut membangun jalan tol buat para pembajak? Mungkin Captain Jack atau Johnny Depp punya pendapat.
     Oke, penulis melanjutkan mengayuh sepeda mengitari pasar lewat jalan di sebelah timur pasar, ke arah belakang pasar. Di selatan pasar ada jalan ke barat menuju Masjid Mataram yang kemarin baru melaksanakan ritual menguras kolam. Sayang tak banyak panen ikan kali ini, karena itu memang bukan kolam ikan. Itu kolam pemandian. Waktu kecil banyak teman penulis melihat orang mandi di sana. Sekali lagi penulis tekankan, teman penulis. Penulis tidak berani, tidak berani kalau cuma sebentar, lama-lama doyan. Ah, setengah jalan menuju voyeurism.
     Ke selatan lagi ada pabrik cokelat yang cukup terkenal akibat pemasaran gencar manajemennya. Begitulah kiranya yang penulis percayai. Lalu lepas dari jalan bebentuk 'S' yang sama sekali tidak terasa dingin kalau melewatinya, satu lagi situs bersejarah menghadang jalan. Semacam pondok kecil di tengah jalan. Di dalamnya ada batu-batu, yang entah kenapa penulis kurang paham, disebut bersejarah. Kurasa batu di pekarangan belakang rumah juga menyimpan sejarah hebat. Entahlah... Penulis mengaku suka sejarah, padahal di SMA saja tak mau beli buku pelajaran sejarah.
     Si pengayuh sepeda yang tak lain juga adalah penulis, disuguhi panorama sosial menawan di sekitar situs batu itu. Batu yang bukan merupakan batu yang muncul di Novel Harry Potter yang pertama. Katanya kalau mau jadi cerpenis atau novelis harus pandai-pandai menangkap semuanya sajalah yang ada di sekitar. Yang tersirat maupun yang tersurat. Apa iya? Ah, mungkin itu cuma khayalan penulis. Tak usahlah diambil hati. Lebih enak daging di bagian pinggang, atau kalau chef yang bertato di seluruh lengannya itu bilang Sirloin (semoga tidak salah sebut. Penulis bukan lulusan perikanan).
     Nah, singkat cerita, sampailah penulis di tempat dia seharusnya memang sampai (?).... SELESAI atau barangkali juga bersambung... Siapa yang tahu takdir siapa....

nb: Di jalan belakang perumahan, di tempat yang memungkinkan untuk melihat salah satu rumah paling selatan di kompleks perumahan itu, ada lelaki paruh baya yang entah lagi melakukan apa pada pagar rumahnya yang entah sejak era apa berdiri di pinggir jalan itu. Dia memegang palu, semetara ada salah seorang lagi, yang lebih tua melihat lelaki itu bekerja. Orang tua ini berdiri memegangi sepedanya di tengah jalan. Baru setelah dekat lelaki pemegang palu menyadari ada yang mau lewat, tapi tidak demikian dengan orang tua di tengah jalan itu. Akhirnya, setelah orang tua minggir, terjadilah ritual ala Jawa kalau berpapasan, menundukkan badan sambil bilang, "permisi," yang tentu saja seperti di awal cerita, dalam bahasa halus setempat.
     Lepas dari jalan kecil itu terasa sekali nuansanya, atau untuk menghindari kesalahpahaman, gradasinya. Rumah-rumahnya dengan arsitektur modern minimalis, isi garasinya, pagar, atap, tembok, pengasuh, pembantu, anak-anak, anak anjing, semuanya sajalah. Oh, bukan ini perbedaan yang teramat besar. Kesenjangan luar biasa. Jurang! Tanpa bisa dilihat tanah di seberang, dan betapa dalamnya. Tak seorang manusia dapat melompatinya, bahkan Jesus, Nuh, atau sekalipun Samson.
     Beberapa rumah sebelum sampai di tempat yang seharusnya, penulis memnjumpai dua orang pemuda beriman dengan pakaian religius mereka. Seseorang bilang, "kok sendirian. Apa nggak kesepian?" Kecuali kata terakhir, lagi-lagi semua itu diucapkan dalam bahasa setempat yang mungkin sudah membuat pembaca muak akibat terlalu sering disebut.
     Baru, penulis sadar kalau kesepianlah BBF-nya. Boy Friend Forever? Bukan, bukan. Bad Friend Forever? Bukan lagi. Blue Film Forever? Jelas bukan. Barangkali ini kejuaran gulat yang dihelat oleh Paman Sam itu? Boleh jadi... Atau selamanya teman terbaik. Kali ini bukan dalam bahasa setempat. Meski tak kalah bikin muak.


Jogja, 19 Mei 2014
Di bawah pengaruh hebat Jiwa-jiwa Mati-nya Nikolai Gogol, Setjoeil Asa