Minggu, 28 September 2014

Hari yang aneh. Atau harus kukatakan, kemarin hari yang aneh. Tapi apa gunanya. Kemarin adalah kemarin. Sesuatu yang disebut manusia (makhluk yang mungkin menganggap dirinya superior, tapi kuanggap menyedihkan, aku masih belum percaya aku bagian dari mereka) sejarah sejak mereka menemukan tulisan. Ya, cuma sejarah. Dan ada cabang ilmu tersendiri yang mempelajarinya. Hari yang aneh itu, yang sudah bisa disebut sejarah, yah itu memang hari yang aneh harus kuakui. Namun lingkup sejarah yang diobrolkan ini kecil. Dalam radius persepsiku. Jadi terserah aku mau jadi seperti apa sejarah itu, terutama sekali dalam bentuk tulisan. Dia yang punya kuasa, bisa menulis ulang sejarah sesukanya, katanya.
     Aku menulis tentang sapi di bawah naungan spanduk-spanduk dan kambing di bawah naungan seng. Penggambaranku agak keliru tentang lindungan mereka. Maklum saati itu lewat tengah malam, aku cuma mengandalkan ingatan, dan seringkali ingatan ini menipu. Orang menutup ingatan yang mereka lupakan dengan fantasi yang mereka inginkan atau dipaksakan secara halus ke mereka. Di bawah naungan spanduk, cuma satu batang bambu diikatkan melintang sedikit di atas seperampat bagian bawah tiang bambu, sepanjang naungan. Sebatang bambu buat mengikat si sapi. Di bawah naungan seng-lah bilah-bilah bambu melintang melingkari naungan persegi itu. Tapi cukup buat sapi dan kambing. Toh beberapa hari lagi ajal mereka....

Sabtu, 27 September 2014

Penggal tanah itu, di antara asrama SMP yang tengah dibangun dan lapangan yang barusan ditanam sepasang gawang tanpa jaring, akhir-akhir ini ramai oleh khalayak. Tanah itu tak seberapa luasnya. Kira-kira setengah dari luas lapangan bola di sampingnya. Dan jelas lapangan itu pun, dengan gulma berduri mengerayanginya, seperti bayi prematur, berukuran kurang dari semestinya.
     Di pinggir-pinggir tanah itu yang berbatasan dengan lapangan di selatan, bekas kali di timur, dan asrama di utara, berdiri rapuh kanopi-kanopi bertiang bambu. Kanopi-kanopi itu mengelilingi tanah itu, kecuali di sisi yang berbatasan dengan jalan aspal, tanah melandai yang diperuntukkan buat jalan keluar masuk. Atap-atapnya dari bekas spanduk yang biasanya terpampang di depan gedung pameran sewaan, atau perempatan jalan besar. Bagian bawah tiang bambu itu, dipasang melintang sepanjang kanopi, beberapa baris belahan-belahan bambu. Jarak antar mereka belasan centimeter.
     Khalayak tadi mendapat tontonan gratis dari penghuni-penghuni baru tanah itu. Di bawah naungan atap spanduk, di atas sisa makanan, tahi dan kencing mereka sendiri, hewan-hewan berkaki empat ini pasrah merenungi nasib dan menunggui takdir, terekspos tanpa ampun oleh mata penikmat-penikmatnya. Sebentar lagi, tak akan lama, bukan cuma mata penikmat-penikmat mereka saja yang akan terpuaskan. Tunggu saja.
     Sapi-sapi dan kambing-kambing terkurung di kandang, apa ada yang menarik dari hal ini. Salah satu sapi terduduk, sapi di sebelahnya memakan apapun yang disodorkan oleh tangan-tangan mungil dari luar bilah-bilah bambu. Ada bilah-bilah bambu lain di antara sapi yang duduk dengan sapi yang bersantap sore sambil mengibas-ngibas ekornya.
     Di malam hari, saat sunyi, terkadang embik kambing terdengar dari seberang lapangan. Namun jarang lenguh sapi tertangkap telinga. Kadang pula bau mereka beranjangsana bersama angin, menyambangi hidung. Bagaimana khalayak ini bisa tahan di bawah sana. Cuma berjarak satu-dua depa dari kandang.

mungkin jurnal ini akan berlanjut ke episode genosida rajakaya...
nonton Stay (2005) dulu.

"un suicide élégant est l'oeuvre d'art finale"

Kamis, 18 September 2014

Tempat ini dipesan buat kutipan Hemingway...

"Bagaimana bisa ada yang nggak suka Hemingway?"
"Pertanyaaan macam apa itu? Ada kok orang yang nggak suka baca. Aku kenal beberapa."
"Ya. Ada juga yang nggak bisa baca, ya kan?"
"Ya. Ada yang nggak bisa baca, secara harfiah. Banyak malah."

Selasa, 16 September 2014

Cukup membosankan jadi manusia yang pengambilan keputusan terberat dalam hidupnya adalah 'mandi pagi atau tidak.' Kalau mandi mungkin itu bisa saja dirasa sebagai perbuatan yang kurang menghargai mereka yang tengah berjuang matia-matian demi sereguk air. Yah, ini katanya lagi musim kemarau berkepanjangan. Tapi itu bisa juga jadi perbuatan distribusi air. Kalau air tidak dipakai mandi. air cuma mengendon di bak. Dengan mandi air bisa mengalir lewat saluran, pipa-pipa, terus selokan, infiltrasi ke dalam tanah, mengalir ke tempat yang mungkin lebih dibutuhkan, jadi air tanah (di bawah hotel. Hotel buat sumur. Warga juga punya sumur), atau evaporasi, menguap jadi awan, lalu bisa jadi hujan di tempat yang tanahnya lebih layak diguyur hujan... Bukan di ibukota, .. kenapa? tanya saja ke Ahok, eh? Kalau tak mandi, mungkin cuma bau... kalau mandi entar juga bau lagi... sama saja...
     Yah, jadi pengangguran memang punya kelewat banyak waktu buat merenung tentang itu semua. Bukan memikirkan hal-hal yang dipandang kurang sepele macam, apa bandara musti dibangun di sini atau di sana, apa trem musti dihadirkan di Jogja, apa mobil dinas musti diganti sama yang lebih mewah dari Lamborghini.

Jumat, 12 September 2014

Kutipan dari 'Optimisme di Tengah Tragedi' Karya Victor E. Frankl

"ET LUX IN TENEBRIS LUCET."
"JIka seseorang bertanya kepada kami kebenaran teori Dostoyevski yang secara tegas menyatakan bahwa manusia bisa terbiasa dengan kondisi apapun, maka kami akan menjawab, "Benar manusia memang bisa membiasakan diri dengan kondisi apapun, tetapi jangan meminta kami menjelaskannya." (48)
Di bukunya Dostoyevski yang mana ya?
"Saya kira Lessing-lah yang pernah berkata, 'Ada hal-hal yang membuat kamu kehilangan akal sehat, atau kamu sama sekali tidak punya akal sehat yang bisa hilang.'" (51)
Kurasa keduanya benar...
"... penderitaan hadir di mana-mana. Penderitaan manusia bisa dianalogikan denga perilaku gas. Jika sejumlah gas dipompakan ke dalam sebuah ruangan kosong yang tertutup, gas tersebut akan mengisi ruangan secara merata, berapa pun besarnya ruangan tersebut. Begitu pula penderitaan; dia akan mengisi seluruh jiwa dan pikiran sadar manusia, tanpa peduli besar atau kecilnya penderitaan tersebut. Karena itu "ukuran" dari penderitaan manusia sangat relatif." (85)
Maaf Patkay, bukan hanya cinta yang penderitaan tanpa akhir. Malangnya cinta cuma bagian dari hidup...
"Lalu, bagaimana dengan kebebasan manusia? Benarkah tidak ada kebebasan spiritual dalam perilaku dan dalam bereaksi dalam lingkungan tertentu? Benarkah teori yang mengatakan bahwa manusia hanya sekadar produk dari berbagai kondisi dan faktor lingkungan--baik yang bersifat biologis, psikologis atau sosiologis?" (114-115)
Beri aku jawabannya Dr. Frankl...!