Sabtu, 29 November 2014

Ambulans melaju cukup kencang. Dia datang dari selatan. Suara sirene mengatasi dengung semua motor dan beberapa mobil di sekitarnya. Bangjo di sebelah barat menyala hijau, tapi ambulans tak mau ambil pusing. Suara sirene adalah legalisasi perbuatannya, membuat persimpangan jalan lengang. Ucok dan mereka yang dari arah barat mempersilakan ambulans lewat, kecuali satu, gadis yang sudah mengacir ke seberang sana. Ambulans melaju mulus melewati perempatan, ke utara. Untung gadis pengendara sepeda motor itu selamat.
      Waktu menghitung detik merah tadi, di pinggir jalan sebelah kanan kami ada dua bocah berjalan. Mereka berjalan bersebelahan. Satu bocah terpaksa turun dari trotoar akibat mobil yang terparkir di sana. Dia turun ke jalan tepat di sebelah markah sepeda kuning. Kijang kapsul merah menguntit sampai dia naik ke trotoar lagi.
     Di bangjo Pojok Beteng Kulon, kami berpapasan dengan Si Thole. Itu Si Thole kedua yang kami temui. Sebelumnya, Si Thole pertama mengantri di bangjo perempatan ambulans tadi, di utara sana.
     "Kasihan tukang becak, jadi nggak laku, gara-gara Si Thole," kata Ucok.
     "5.000 katanya. Sekarang Trans Jogja 4.000, ya orang pada naik motor, lah."
     "Bukan, maksudnya wisatawan."
     Jemari kanan Ucok menarik tuas rem, berbarengan dengan kaki kanannya menginjak pedal rem. Entah rintihan itu datangnya dari rem depan atau belakang. Roda depan berhenti beberapa senti di depan garis putih.
     "Sudah musti ganti kampas rem, nih." Dia cuma tertawa. Bagian rem mana yang lucu. Entahlah.
     Dari belakang muncul sepeda motor, berhenti di aspal bercat hijau. Satu lagi muncul, berhenti di zebra cross.

katanya operasi zebra sampai tanggal 9 Desember
29 November 2014, setjoeil asa

Jumat, 28 November 2014

'Sedikit' Kutipan dari Ketika Hidup Bercahaya karya Serdar Ozkan

"Dalam diri manusia itu juga ada berbagai perang yang tak kunjung usai serta kerinduan panjang akan kedamaian." (hal. 7)
"Sebenarnya, Tuhan-lah yang mengerjakan semuanya. Tapi Tuhan menyisakan sebagian tugas pada hamba-hamba-Nya yang mereka pikir mereka kerjakan sendiri."(hal. 8)
"Segala sesuatu di dunia ini akan lenyap. itulah sebabnya hidup tidak bermakna. Jadi mengakhiri hidup pastilah tindakan yang bermakna, pikirku." (Omer, hal. 11)
"Jadi, jika aku bisa meredam suara dalam diriku, aku akan mati dengan tenang." (hal. 12)

Senin, 24 November 2014

Lintasan penyeberangan pudar di perempatan itu menjadi lantai dansa dua anak lelaki. Musik etnik menguar dari perkakas elektronis sederhana di atas trotoar sempit. Bertelanjang kaki, diiringi musik, mereka njathil.
     Langit berawan, tapi suhu lumayan panas. Sudah dua hari hujan tidak turun. Padahal sejak mulai turun pertama kali tahun ini, hujan kelihatan tak bosan-bosannya turun, membasahi semua yang disentuhnya. Tak lepas pula aspal yang sudah lebih dari enam bulan dididihkan terik matahari.
     Di ujung pembagi jalan dari arah barat, tampak dua orang berseragam polisi. Mereka bercakap-cakap seraya memerhatikan sekitar.
     Saat lampu lalu lintas sudah mengizinkan kendaraan-kendaraan dari arah timur menghambur keluar dari jeratan sesaatnya, salah satu bocah tadi--yang lebih tinggi--menyambangi para pengendara sambil menyodorkan wadah plastik kosong. Dan tetap kosong hingga bocah yang lain, yang lebih bersemangat berjoget, minggir--seolah-olah memberi jalan pada kuda-kuda besi dari arah selatan berpacu ke utara--ke arah Lembah.
     Semoga mereka lebih beruntung lain kali. Masih akan ada kuda-kuda besi lain yang akan terjerat bangjo di ujung jalan searah itu.
     Di sudut barat daya perempatan ada pom bensin yang sudah hampir sepekan memajang angka 8.500 di sebelah tulisan premium. Sebelumnya, angka 6.500 sudah membuat keder rakyat jelata. Mereka dijanjikan selisih dua angka ini. Apa mereka peduli dengan perhitungan rumit itu?
     Apa dua bocah tadi mendapat cipratan selisih itu, yang oleh orang-orang berwenang disebut 'Kartu Sakti'? Semoga.

Tuhan bersama kalian, orang-orang biasa yang memang sudah terbiasa menjadi biasa dan menganggap keadan seperti apapun juga biasa
biasa, biasalah biasa sajalah
23 November 2014, setjoeil asa

Minggu, 16 November 2014

tentang Sarinah karya Ir. Soekarno

Sarinah: Kewajiban Wanita Dalam Perjuangan Republik IndonesiaSarinah: Kewajiban Wanita Dalam Perjuangan Republik Indonesia by Sukarno

My rating: 4 of 5 stars


Ini bukan sekadar buku yang cocok dibaca dalam pertemuan ibu-ibu, sebelum mengocok arisan. Lebih daripada itu, ini adalah sebuah panduan menuju masyarakat sosialis.

     Barangkali pada suatu ketika nanti, saat kondisi mental memperkenankan, bisa ditulis semacam resensi buku ini. Atau apalah yang lebih mengesankan, ketimbang catatan pendek kurang berarti ini.

ditambahkan sehari setelahnya:

Ada presiden negara ini yang merilis album. Konon, sampai lima album. Sebelumnya perempuan (yang  pertama di sini!) dan pelawak pluralis (maaf kalau ada yang tersinggung, ini murni sebuah pujian). Terus ada yang merancang pesawat. Tak ketinggalan ada pula yang (ingin) bikin rakyatnya dari ujung ke ujung kecanduan nasi.  Yang sekarang suka turun ke bawah. Apa yang terakhir ini ada hubungannya dengan pemikiran yang paling pertama, tentang pemimpin yang tidak terjun ke kalangan massa selalu melihat dari ‘atas’, sedangkan rakyat jelata selalu melihat dari ‘bawah’. Ah, ini bukan tempatnya membahas hal itu, Sudah kelewat banyak kitab-kitab menceracau (maafkan diksi kurang ajar ini) tentang itu.

Yang pertama sekali menulis buku ini. Buku tentang wanita .Paling tidak itu yang tersurat di sampulnya. Tapi siapa juga yang cuma mau membaca sampul buku.

Kamis, 06 November 2014

Seperti yang kita bahas di WA tadi, sekarang aku akan menuliskan perihal roti tawar. Kejadiannya belum lama ini, kapan tepatnya, maaf lupa.
     Wajah tukang roti itu kelihatan kurang senang. "nggak laku ya, Bu," katanya sambil melihat ke dagangannya yang jumlahnya masih sama dengan saat diantarnya dulu, "mungkin libur dulu ya, Bu." Tukang roti tadi tidak meninggalkan sebiji roti pun di keranjang plastik yang biasanya diletakkan di atas etalase. Langkahnya menyiratkan kekecewaan waktu balik ke motornya.
     Selang sebentar ada yang datang pakai motor ke warung kelontong. Laki-laki itu masuk. "Ada roti tawar," tanpa basa-basi ia berkata.
     "Adanya cuma kayak begini rotinya," Ibu pemilik warung itu menunjuk ke keranjang plastik berisi roti aneka rasa di samping keranjang plastik kosong.
     "Ah, carinya roti tawar," laki-laki itu pergi hampir sama cepatnya dengan datangnya.
     Suami ibu itu lagi leyeh-leyeh di lincak, memasang telinga, diam-diam menyimak kejadian barusan. "Yang namanya jualan itu nggak tahu kapan laku kapan tidak," nada bicara bisa jadi kurang sedap buat kuping si tukang roti, "mustinya ditinggali satu dua biji roti."
     "Iya ya, Pak."