Rabu, 26 Februari 2014

"Menjadi manusia justru berarti tanggung jawab, berarti merasa malu berhadapan dengan suatu kesengsaraan yang tampaknya tidak bergantung pada dirinya..." (Antoine de Saint-Exupery)

Pagi tadi si anak laki-laki membaca tajuk rencana surat kabar harian tentang bancakan suap migas. Dituliskan di situ besaran 200.000 dolar Amerika. Dibagi-bagi buat siapa saja, si anak laki-laki bilang malas mengingatnya. "Sebentar lagi semua orang juga sudah lupa," katanya, "siapa yang ingat Century?"
     Terus dia juga cerita jadi ingat tentang kekuasaan mutlak yang kembali ke pangkuan MK, yang beberapa hari atau pekan sebelumnya juga jadi tajuk rencana di koran yang sama. "Masa UU tentang batasan kekuasaan MK yang punya keuputusan mengesahkan MK. Ini seperti bocah laki-laki usia puber memutuskan berapa kali dia boleh masturbasi seminggunya."
     Sorenya di tv si anak laki-laki terlihat menonton seorang anak, yang harusnya sekolah menuntut ilmu, kerja keras membantu ibunya. Dia mengangkat kayu bakar (semoga bukan dari kebun perusahaan mana), dan menyiangi sawah (yang entah milik siapa). Oh, siapa bilang sudah tidak ada generasi muda yang mau jadi petani (kecuali terpaksa)?
     Ini semua, si anak laki-laki bercerita, dia ingat saat makan sore dengan menu: kecambah rebus, wortel rebus, kubis rebus, timun, tahu, telur rebus disiram saos kacang ditambah kerupuk ditemani susu kedelai. "Tanpa berkeringat aku bisa makan semua ini," katanya.

Senin, 24 Februari 2014

Sekumpulan kutipan dari Bumi Manusia-nya Antoine de Saint-Exupery

Dalam buku berisi cerita dan renungan ini, Saint-Exupery melukiskan "bumi manusia" dilihat dari udara: betapa kerdilnya manusia di tengah kemahaluasan bumi, betapa agungnya manusia karena dialah yang memberikan arti kepada bumi. (sampul belakang)

"Bumi mengajarkan kepada kita tentang diri kita jauh lebih banyak daripada semua buku di dunia ini, karena ia menantang kita. Manusia menemukan dirinya manakala ia harus mengukur kekuatannya sendiri ketika menghadapi suatu hambatan." (hal. 9)

"Dan aku sudah menduga bahwa suatu tontonan tidak akan bermakna kecuali melalui suatu budaya, suatu peradaban, suatu usaha. Orang gunung tahu juga tentang lautan awan. Namun, di situ mereka tidak menemukan tirai yang luar biasa indah itu." (hal. 14)

"Demikianlah kami mengangkat detail-detail dari nasib mereka yang terlupakan, dari pengucilan mereka yang tak masuk akal, yang luput dari perhatian para pakar geografi di dunia." (hal. 16)

"Aku sempat pula mendengar curahan hati yang diucapkan dengan suara perlahan. Isinya tentang penyakit, uang, masalah rumah tangga yang menyedihkan, yang menunjukkan dinding-dinding penjara kusam tempat manusia terkurung." (hal. 23)

Kamis, 20 Februari 2014

(Masih) Percakapan dalam Kepala



Iya, aku juga lihat edisi Sabda Zarathustra yang lain.
“Judulnya Seruan Zarathustra.”
Ada beberepa bab yang kusuka, tapi secara garis besar... ehm, entahlah. Ide tentang adimanusia atau manusia yang unggul secara intelektual, mental, fisik? Kamu harus coba lihat Gattaca. Ah, aku suka film itu. Terus terang aku kurang sepaham dengan Nietzsche tentang ini. Bukannya setiap orang, siapapun itu mempunyai kesempatan, atau lebih tepatnya, hak yang sama?
“Hak asasi?”
Iya ada yang superior atau inferior, tapi dalam satu hal. Dalam hal lain mungkin yang inferior jadi superior dan sebaliknya. Atau sekarang satu orang si pemenang, dan satu lagi si pecundang, lain kali mungkin si pemenang jadi si pecundang dan sebaliknya. Seperti yang dibilang Bob Dylan di The Time, They Are A Changing.
“Jangan bicara terlalu cepat pada roda yang masih berputar?”
Yap...
“Kenapa, sakit mata?”
...
“Buku apa yang lagi kamu baca?”
50 halaman terakhir Kota Tuhan-nya E.L. Doctorow.
“Yang dibuat filmnya itu? Tentang peredaran narkoba di Brazil?”
Awalnya kukira juga, tepi ternyata beda. Lumayan, meski aku kadang di beberapa bagian nggak paham.
“Belum.”
Eh?
“Iya, belum. Bukannya nggak paham, tapi belum paham. Belum paham dengan tingkat pemahamanmu sekarang ini.”
Bisa jadi. Banyak kutipan yang kusuka. Ini semacam buku yang bisa menerbitkan keraguan. Bukan, bukan.. ehm, lebih tepatnya menyenggol iman.
“Lagi-lagi buku yang membuat berpikir?”
Bukannya membaca itu memang memaksa berpikir? Memang, mungkin sebagian besar dari tujuh miliar orang di dunia ini akan lebih senang bilang, ‘berikan saja kebenarannya!’ alih-alih disuruh bertanya-tanya, ‘kenapa begitu?’ terus cari jawabannya. Tapi alam semesta tidak bekerja seperti itu. Dia mungkin agak introvert. Dia nggak mungkin akan ngomong tentang dirinya dan mencurahkan isi hati macam Woody Allen.
“Nggak bisa lebih setuju lagi sama kamu, Bung.”
Yah, karena aku mungkin juga ikut ke mayoritas itu...

Rabu, 19 Februari 2014

Film kemarin malam: The Kid (1921). Bisa jadi, dan barangkali akan tetap seperti itu: salah satu film terbaik yang pernah kutonton. Akhir-akhir ini Charlie Chaplin memenuhi ruang dan waktuku. Aku suka humornya. The Great Dictator (1940) dan Modern Times (1936) melengkapi daftar tiga teratas film yang disutradarai, ditulis, dan (diproduseri?) Charlie Chaplin versiku. Maaf kalau kurang sependapat. Meski itu bukan sepenuhnya salahku.
     Aku cuma nonton dan... wow. Susah mau bilang atau komentar apa tentang film ini. Mungkin film (ini) memang bukan buat dikomentari tapi buat ditonton.
     Orang ini sudah buat film waktu pemuda-pemudi Indonesia lagi sibuk bikin sumpah. Jauh sebelum itu mungkin. Sumpah yang cuma ditepati satu generasi. Sejak Anak Semua Bangsa ada mungkin sumpah ini memang sudah tidak wajib ditepati. "Aku anak semua bangsa dari segala jaman."

Minggu, 16 Februari 2014

"Siapa tadi itu bilang apa?" tanya Suara dalam Kepala
"Kalau cuma dengan kerja keras semua bisa kaya, maka banyak wanita di Afrika sudah kaya raya."
"Kamu pernah ke sana?"
"Ke mana?"
"Afrika."
Garuk-garuk kepala sembari senyum, Si Anak Laki-laki jawab, "belum."
"Hm..., pengin ke sana?" suara Suara dalam Kepala terdengar memudar.
"Apa? Kita sudah rampung ngomongnya?"
"Tentang apa? Wanita Afrika?" Suaranya mengeras lagi, agak. Tapi tak pernah sampai membentak.
"Maksudku, itu mungkin yang namanya nasib. Satu orang mujur, orang lain apes."
"Kamu selalu suka hukum alam itu, kan?"
"Yang mana?"
"Berpasang-pasangan, yang berlainan saling melengkapi. Di kasus ini, mujur-apes."
"Bisa jadi. Dan seperti biasa, obrolan kita, nggak tahu mau dibawa ke mana."
"Ah, quo vadis, aku suka frase itu?"
"Ah, yang dari alkitab itu ya?"
"Apa iya? Alkitab yang mana?"
"Entahlah, yang salah satu isinya tentang yang mujur wajib berbagi dengan yang apes mungkin?"
"Kamu jawab pertanyaan pakai pertanyaan?"
"Yah, hidup ini isinya cuma tanda tanya, kan?"
"Harusnya tanda seru saja. Di bawahnya ditulisi huruf kapital semua: BAHAYA."
"Sepertinya obrolan ini selesai. Tapi mungkin nggak selamanya."
"Selamanya itu seberapa cepat?
"Entah. Mungkin cuma selama satu lagu Iwan Fals - Sore Tugu Pancoran."

Jumat, 14 Februari 2014

Abu Vulkanik

"Ideal bagi satu orang sudah nggak ideal lagi jika itu sudah jadi ideal juga bagi banyak orang lain," kata Dinas. Nama panggilan kawan si anak laki-laki ini memang terdengar birokratis. Nama lengkapnya malah terdengar monarkis, Dinasti. Tapi orangnya, menurut si anak laki-laki, nggak anarkis, meski sedikit kurang romantis. (Plis.) "Satu orang menganggap lebih nyaman, murah, enak pakai motor buat ke mana-mana. Tapi kalau bukan cuma orang ini yang punya pikiran macam ini, bayangkan," kawan ini melanjutkan, "Banyak orang lain juga pakai motor ke mana-mana."
     "Macet..." sela si anak laki-laki. "Tapi bukannya pemerintah juga malah lebih senang kalau banyak masyarakatnya punya kendaraan bermotor pribadi. Pemerintah dapat pajak kendaraan bermotor, pajak penghasilan perusahaan otomobil yang jual kendaraan. Polisi juga lebih banyak mangsa, ya kan?" si anak laki-laki menyesap wedang jeruk hangatnya, "katanya pajak kendaraan bermotor penghasilan terbesar pemerintah propinsi. Kalau masyarakat lebih memilih naik kendaraan publik massal?"
     Obrolan sehabis badminton malam itu disela oleh satu dentuman. Sekitar hampir tengah malam. Teman yang lain dapat kabar dari teman yang lain lagi lewat gadget analan andalannya. Kabar bahwa itu dentuman Gunung Kelud. Lalu obrolan berlanjut kisaran ereksi erupsi gunung berapi.
     Si anak laki-laki yang sorenya juga tarkam--sebutannya buat sepakbola kampungan--juga terlihat cukup antusias dengan obrolan ini. Dia jenis orang yang akan bilang, "mumpung masih muda," waktu ditanya, "memang nggak capai?"

&&&

Sebelumnya di Kantor Lurah Jagalan. Bulutangkis memeras keringat. Salam perpisahan terselubung buat kawan yang Sabtu ini katanya akan terbang ke Australia. "Transit dulu di Bali," kata kawan yang satu ini. Dia akan menempuh strata dua selama dua tahun di negeri seberang rencananya.
     Kawan yang satunya lagi, yang nantinya jadi pembawa kabar dentuman gunung Kelud, bilang, "Sehabis pemilu berangkat." Jadi PNS di ibukota dia. Pacarnya jawab tegas, "Siap!" Waktu ditanya mau ikut ke sana.
     Sedang si anak laki-laki makin membusuk di tempanya sekarang, membaca obrolan di media sosial: "kapan kamu kerja?"dari kawan sekampus yang kini sudah di Lombok, kerja tentunya.

###

"Tadi pagi sudah kerja bakti. Bersih-bersih jalan. Abunya tebalnya 2 cm," kata ayah si anak laki-laki. Kenapa tidak sekalian saja 5 cm, kan bisa lihat Pevita pakai g-string. "Untung tadi hujan, kalau nggak pasti susah bersihkan abunya."
     Sehabis Jumat'an yang tidak diikutinya akibat sangat terlambat bangun, si anak laki-laki menonton surat kabar harian. Berita utama ereksi erupsi gunung Kelud besanding dengan berita kembalinya kekuasaan mutlak ke pangkuan MK. Berita yang kedua itu juga jadi tajuk rencana.

***

Sebelum adzan Ashar berkumandang si anak laki-laki duduk bermasker di depan komputer jinjingnya. Sementara di halaman belakang rumah selembar daun sudah tidak sanggup lagi menanggung beban abu vulkanik. Abu vulkanik meluncur jatuh ke kolam lele yang bertambah keruh saja.
     Susah payah si anak laki-laki mengejar kata-kata yang tadi sudah hinggap di benaknya tapi kini terbang liar bersama abu vulkanik di luar sana. Dia berpikir mungkin akan lebih baik jika dia bersepeda keluar, mengikuti rute biasanya dia bersepeda sore. Urung dia, sebab cemas dengan indera penglihatan dan sistem pernapasannya.
     Abu vulkanik terlindas ban sepeda motor di atas aspal. Abu vulkanik berdesakan di permukaan daun, entah daun talas atau daun jati. Abu vulkanik di atap gerobak bakso, sementara si pedagang bermasker mengayuhnya. Abu vulkanik di depan corong TOA masjid yang mengumandangkan adzan Ashar. Abu vulkanik... hari ini adalah harinya abu vulkanik. Abu vulkanik tidak ingin ketinggalan merayakan Hari Kasih Sayang.


Malam (atau pagi, dini hari?): Si Anak Laki-laki terlihat tercenung. Dagu dipangku telapak tangan kiri yang jemarinya terutama telunjuk bermain-main dengan mulut bawah. Sikut bertopang ambang jendela. Barangkali terngiang ingatan Sabtu beberapa pekan sebelumnya. Gempa Kebumen menggoncang kala bulutangkis mengaso lantaran rumah sembahyang di sebelah lapangan memaksa demikian.
Atau mungkin dia berpikir hujan abu ini adalah jawaban Tuhan atas dua biji alpukat yang ditanamnya di halaman belakang. Dari jendela lantai atas, tepat di atas kolam ikan, tatapannya yang entah berisi perasaan apa, ia kirimkan ke tanah yang seingatnya adalah tempat ia menanam dua biji alpukat itu. Tapi gelap malam adalah tandingan yang sempurna...


Jum'at, 14 Februari 2014 (Valentine's Day! Teriak pedagang cokelat dan si anak laki-laki beroleh cokelat Monggo sebab kalah di final futsal bersarung antar media akhir pekan sebelumnya)
Dia disebut si anak laki-laki meski secara umur sudah tidak layak di panggil demikian, dia masih menyisakan beberapa sifat dari masa-masa itu...