Rabu, 25 Juni 2014

Seikat kutipan dari Haji Murad Karya Leo Tolstoy

"Tali yang bagus adalah tali panjang, obrolan yang bagus adalah obrolan singkat." (Haji Murad, hal 16)

"Omong-omong, ... apa kau pernah merasa sedih?
"Aku kadang-kadang merasa sedih, sangat sedih, sehingga aku tidak tahu apa yang akan kulakukan." (Avdeev si tentara ceria, hal 26)

"Tidak seorang pun melihat saat terpenting dalam hidup dalam kematian itu--akhir kehidupan dan kembali ke pangkuan sang pencipta--tetapi hanya melihat keberanian perwira gagah berani yang menyerbu orang gunung  dengan pedangnya dan dengan cekatan membunuhi meraka." (hal, 49)

"Namun otak seorang wanita sama banyaknya dengan rambut pada sebutir telur." (Haji Murad, hal. 104-105)
Entah kenapa, maaf, saya kurang sepaham dengan Haji Murad kali ini. Dan entah kenapa, saya sendiri selalu merasa inferior di hadapan wanita, siapapun dan dari golongan apapun dia, terutamanya anak-anak, karena anak-anak dipenuhi pertanyaan dengan jawaban yang bahkan Einstein saja akan berkeringat di jidat dibuatnya (eh, kenapa melantur sampai di sini. Rasa-rasanya anak-anak, baik laki-laki atau juga perempuan tak ada yang saling mengalahkan dalam hal rasa ingin tahu. Mereka semua sama-sama juara). Kembali pada soal wanita, dan wanita adalah pencuri sandal, maaf, handal. Pencuri secuil hati dan sebilah iga kekasihnya, pencuri uang suaminya, pencuri pandang lelaki mana saja yang lewat, dan semacamnya. Tapi menjadi wanita merupakan anugerah tersendiri, karena karir paling hebat hanya bisa dilakukan oleh mereka yang memiliki puting susu dan vagina--yang dimaksud di sini bawaan lahir, karena sekarang tidak sedikit yang berani mereka-reka diri mereka, melubangi bagian menonjol, dan menonjolkan bagian yang rata: menjadi ibu rumah tangga. Tapi ingat-ingatlah pesan pemerintah--salah satu yang baik diantara sekian yang mengerikan--dua anak cukup. Ah, kalau tulisan ini diteruskan pasti akan melantur lagi entah sampai dimensi mana, karenanya ada baiknya tulisan ini disudahi saja, mengingat judul tulisan ini...
Semoga semangat dan kesempatan masih terus ada sampai kutipan selanjutnya. Sampai jumpa...

"Nicholas meyakini bahwa semua orang pernah mencuri. Dia tahu para pejabat komisaris itu harus dihukum dan memutuskan untuk mengirimkan mereka sebagai tentara biasa, tetapi juga tahu bahwa itu tidak akan mencegah orang-orang yang mengisi jabatan yang kosong itu dari melakukan hal yang sama. Sudah menjadi sifat para perwira suka mencuri dan sudah menjadi tugasnya menghukum mereka. Dan, walaupun muak dengan semua itu, dia dengan cermat melaksanakan tugasnya." (142-143)
Kali ini sudah pasti tak ada nada sumbang penolakan...

"Bukanlah kebencian, tetapi penolakan mengakui anjing-anjing Rusia ini sebagai manusia, rasa benci, jijik, dan bingung atas kekejaman tidak masuk akal makhluk ini, tentang keinginan untuk menyingkirkan mereka, seperti keinginan untuk menyingkirkan tikus, laba-laba beracun dan, serigala, sama alaminya dengan naluri mempertahankan diri." (163)

Sepertinya perang antar manusia di daerah Soviet atau bekasnya atau apalah namanya sudah berlangsung lama dan kecenderungannya mungkin akan tetap seperti itu dalam waktu yang lama di masa yang akan datang.
Seperti, melihat sekilas Malam-nya Elie Wiesel, sekarang Yahudi menyerang Palestina, dulu Nazi dikabarkan ingin membabat habis mereka, dan lebih dulu lagi tentang sejarah Diaspora Besar.
Mungkin manusia memang pada kodratnya misantropis. Ya, setiap manusia, rasa bencilah bahan utama dari penciptaan tiap selnya.

"Kami memiliki sebuah pepatah. Anjing menyajikan daging kepada keledai, keledai menyajikan jerami kepada anjing--dan keduanya kelaparan. Semuanya merasa nyaman dengan kebiasaannya masing-masing." (Haji Murad, hal. 187)

Oh, dan bagaimana dengan pepatah, 'di mana bumi dipijak di situ langit dijunjung'? Nah, yah, semuanya cuma soal selera, ya kan?

 "Seorang pria bukanlah sebuah pasukan." (Jendral Kozlovsky, hal. 196)

Barangkali dalam bahasanya si Pejalan Udara, 'bakat memenangkan permainan, tapi kerjasama tim dan kecerdasan memenangkan kejuaraan'.

Sabtu, 21 Juni 2014

Pagi ini ada bocah yang berlari mondar-mandir di lapangan yang rumputnya hampir semuanya sudah dipapas. Dia berlari dekat kubangan karya hujan semalam. Di batas lapangan--pematang dari beton dan di atasnya berjejer bata merah gelap akibat basah yang membentang dari tanah melandai di tepi jalan ke bantaran kali--barusan bertengger ayam betina. Ayam itu turun ke lapangan, dengan heran mengamati bocah yang berlari mondar-mandir. Tangan kanan bocah itu menggenggam erat seutas benang. Agak di belakang layang-layang setengah basah melayang menguntitnya, seperti kucing betina berbuntut ikal yang lapar dan terus saja mengekor majikannya meminta makanan dengan meong paraunya. Dia tadi datang dari sisi lapangan yang terhalang bangunan taman kanak-kanak. Seorang yang tampak sudah tua mengendongnya, bisa jadi kakeknya. Di sebelahnya, agak di belakang, kakak perempuannya berjalan mengikuti sambil memegang sepasang sandal si bocah.
     Aroma kopi bercampur dengan bau kandang ayam dan kolam ikan. Dia menyesap kopi dari cangkir yang tadi diletakkannya di ambang jendela lantai atas. Dari situ sebagian lapangan bisa dilihat. Pemandangan yang belakangan jadi kelewat akrab ditangkap matanya. Hanya jati yang kurang gemar meranggas, pohon mangga kecil, dan waru yang menghalangi matanya, selain bangunan yang tadi sudah disebutkan. Kicau burung saling sahut, deru motor dari jalan di sebelah kiri meningkahi, dan sorak sorai anak-anak mulai ramai dari dalam bangunan dekat di sebelah kanan.
     Dia melihat awan yang jarang-jarang di langit sebelah timur laut. Nuansa dari putih kekuningan ke kelabu nampak di gumpalan awan paling besar. Dia memandanganya lewat kaca penuh bercak lumpur. Hujanlah tukang patrinya. Dia memfokuskan mata ke kaca patri lalu pindah ke awan, dan mengulang-ulanginya. Di langit utara pesawat berjalan malas tampak seperti lukisan yang bergerak dengan latar kelabu. Deru mesinnya sayup-sayup terdengar bila suara-suara yang lebih dekat memberi kesempatan.
     Si bocah, kakeknya dan kakak perempuannya pergi dari lapangan, berjalan menyusuri tepi jalan melewati dua mobil SUV baru, satu berwarna putih dan satu lagi merah tua. Di tempatnya berdiri, dia mereguk sisa kopi, menyisakan ampas di dasar cangkir.

21 Juni 2014

Selasa, 17 Juni 2014

Ada kata-kata menarik yang diucapkan Quentin Compson III, karakter rekaan dalam The Sound and the Fury karya William Faulkner, yang--semoga saja tidak ada yang keberatan--aktual dan relevan dengan musim yang tengah bergulir saat ini: musim pilpres. Dia bernarasi,
"Mereka semua bicara serentak, suara mereka bersitegang dan bertentangan dan tidak sabar, membuat ketidaknyataan menjadi kemungkinan, lalu peluang, lalu fakta tak terbantahkan, seperti yang dilakukan oleh semua orang ketika keinginan mereka berubah menjadi kata-kata."
Terus yang ada dalam halaman selanjutnya tak kalah menarik. Dia kembali bernarasi,
"...; mereka juga mengikuti sifat orang dewasa yang bisa diyakinkan mengenai segalanya dengan menunjukkan keunggulan lewat sikap membisu."

***

Mengenai kedewasaan, hal ini pun cukup menarik. Entah apa ada hal yang kurang menarik di dunia ini.
"TIDAK UNTUK DIJUAL KEPADA ORANG YANG BELUM DEWASA"
tulisan ini terpampang di samping kanan dan kiri kotak bungkus rokok berwarna merah putih (kombinasi warna ini entah ada atau tidak ada kaitannya dengan hal lain, siapa yang tahu, bahkan Tuhan sekalipun). Apa ada yang pernah ketemu dengan seorang paruh baya bersifat kekanak-kanakan, atau manusia lanjut usia dengan sifat yang mirip dengan seorang paruh baya tadi? Sebaliknya, apa ada yang pernah ketemu dengan anak SD yang kelihatan sudah dewasa, dia bisa jadi kepala keluarga, merawat ibunya yang sakit-sakitan yang ditinggal pergi suami yang tidak pernah mengenal apa itu tanggung jawab, menghidupi dua adik-adiknya yang masih kecil?
Apa itu dewasa, apa indikasinya?
Bagian tenggara lapangan yang dulunya ladang tebu itu berwarna cokelat. Beberapa pekan setelah ladang tebu dirubah jadi lapangan, rumput-rumput mulai tumbuh. Di bagian tengah ada dua lajur tanah yang tidak ditumbuhi rumput. Dua lajur yang tampak seperti jejak roda kendaraan. Hampir tiap sore di lapangan itu anak-anak yang entah anak siapa bermain layang-layang, sekadar berkumpul bersama, bersepeda atau hal lain yang biasa dilakukan anak-anak.
     Tengah hari ini, dua orang tampak berjongkok agak berjauhan satu sama lain di lapangan. Satu, yang lebih tua, di pinggir sebelah utara dekat kali kecil yang dulunya cukup sering anak-anak mencari ikan di sana, tapi sekarang airnya kering di musim kemarau. Satu lagi di tengah, dekat satu dari dua lajur bekas roda kendaraan. Mereka memegang sabit kuat-kuat, menekankan dua ibu jari pada gagangnya, bagian sabit yang tumpul diletakkan di perbatasan antara tanah dan pangkal rumput dan mereka membuat gerakan tarik-dorong.
     Sesekali salah satu dari mereka, yang muda, menyeka keringat di dahi dengan lengan kaosnya. Dia memakai kaos warna gelap lengan panjang, celana olahraga panjang biru tua bergaris putih di sampingnya, sendal jepit dan caping yang talinya dicantolkan dagu.
     Matahari bukan sahabat mereka siang ini. Ada gumpalan awan di langit sebelah utara, namun enggan memberi naungan untuk mereka yang ada di lapangan. Mereka yang menjalani takdir, mengais apa yang disediakan takdir.
     Ada kebun setengah terbengkalai di utara lapangan, bersebelahan dengan bagian tanah yang selesai dicabuti rumputnya. Di sebelah utaranya kebun setengah terbengkalai itu ada proyek pembangunan SMP. Kuli-kuli bangunannya lagi mengaso. Kalau lagi kerja suara alat-alat milik mereka bersaut-sautan membentuk orkestra tanpa harmoni.
     Raung garang motor mendadak memenuhi udara di sekitar lapangan. Bocah bermotor kros masuk lapangan. Lewat di sebelah pencabut rumput muda dengan kata permisi yang diwakili oleh raungan mesin motornya. Cuma sebentar, bolak-balik sekali, dia terus keluar lapangan. Si tua dan si muda cuma mengangkat kepala, menengok sebentar, terus asyik lagi dengan rerumputan. Tak selang lama, bocah itu balik lagi, beraksi sama persis dengan yang pertama. Dua pencabut rumput juga bertindak sama. Melihat adegan ini serasa mengalami deja vu. Bedanya di akhir adegan terakhir, asap dan debu lebih bergairah, meski cuma figuran tak mau kalah, terbang terombang-ambing angin.

setjoeil asa

Kamis, 12 Juni 2014

Menu makan malamnya kali ini nasi, oseng mie, dan tempe tepung yang proporsi antara tepung dan tempenya sungguh akan membuat penggemar mendoan kecewa berat. Dia tak menggubris nasehat ahli gizi, pemerhati makanan, atau bahkan Dedi Korbuser. Siapa juga yang mau nampang telanjang dada di sampul depan buku.
     Belum satu jam sebelumnya, bulan bangun kepagian. Matahari belum seutuhnya terbenam, bulan sudah tampil memukau di langit timur. Wajahnya tampak lebih besar dan riang. Apa ada yang bermain-main jadi Tuhan dan menariknya dengan laso lebih dekat ke bumi? Hanya Tuhan dan orang yang bermain-main jadi Tuhan itu yang tahu. Mungkin bulan cuma lagi kejar setoran.... Eh?
      Piala Dunia! Teriak saudagar-saudagar jersey kece, kicau olahragawan-olahragawan cabang sepakbola, oceh komentator-komentator jontor dan lolong para penggila bola serempak. Tapi apa yang dibisikkan oleh demonstran-demonstran itu di sana, apa Tuhan mendengarnya?
    
12 Juni 2014
setjoeil asa

Minggu, 08 Juni 2014

Berbaring di atas kasur yang mencekung akibat berat badan ini. Di dalam kamar, ditemani lampu LED biru pelantam suara dan kipas laptop. Lagu folk berkumandang mesra. Ingatan melangkah beberapa jam ke belakang: kucing di kolong angkringan, ujung lidah api dari anglo yang mencuat di sela-sela dua ceret kaleng, peminta-minta yang menolak dikasih nasi kucing, asap rokok dari pelanggan angkringan, entah kenapa semua hal sepele itu tampak berkesan.
Percakapan dengan teman kuliah tentang pekerjaan yang belum benar-benar digenggaman: "yah, aku cuma suka nulis, tapi nggak bisa nulis."
"Tapi semua berawal dari suka. Kalau sudah suka orang akan lakukan apa saja buat lebih hebat dan hebat lagi."
Mungkin benar, tapi siapa yang hebat, atau siapa juga yang pengin jadi hebat...
Lampu kota itu mati, terus hidup saat didekati. Mungkin memang begitu sistemnya, pikirku, kalau sudah panas mati sendiri, sudah agak dingin nyala lagi.
Sepeda restorasi ini mengalir tanpa peduli siliran hasil cipta sepeda motor yang tergesa-gesa di sebelah kanan. Ada sekali waktu, dari jalur sebaliknya, sekumpulan motor berlari dengan suara menyayat hati. Meski mencoba tak peduli, buang muka, pikiran tak mau berhenti mengkritisi. Tapi siapa juga pikiran ini mau jadi hakim yang kerjaannya ketok palu. Urus diri sendiri saja tak becus. Itu hidup mereka, suka hati mereka mau diapakan.
Di pinggir jalan, trotoar, angkringan bertebaran... Di sekitar stadion, sepelemparan batu dari satu angkringan ada angkringan lagi.
Burjoan tak mau kalah. Secuil tempat dipakai buat dagang itu aak-aak. Tak jual burjo tak masalah, gelar burjoan masih bisa disemat. Anak-anak komplek gemar main di situ. Mereka menggelar tikar butut, terus main kartu sampai lupa waktu. Kopi jadi sahabat baik. Asap rokok tertahan di atap seng di atas mereka, kesulitan mencari jalan ke habitatnya. Bau tembakau membikin tersedak buat mereka yang agak alergi. Ah, bukan itu hiperbol. Meski orang suka berlebih-lebihan saat cerita. Tapi tak ada yang alergi asap rokok berani dekat-dekat tempat begitu. Barangkali ini cuma alergi hidup.
Cukup dengan lambaian tangan. Tempat itu terlewat... Bukannya anti sosial. Mungkin sedikit. Manusia mana yang tahu dengan apa yang terjadi pada dirinya?

setjoeil asa