Jumat, 28 Oktober 2016

Beo dan Babi

Syahdan, hiduplah seekor beo. Beo yang dikenal sebagai pencerita ulung ini hidup bersama binatang-binatang lain di hutan, tepi sebuah desa manusia. Si beo pandai betul cerita tentang apa saja. Mulai humor, roman, horor, olahraga, hingga sesekali politik.
Suatu hari babi hutan bertanya, “Hai Beo, kenapa kamu tidak pernah bercerita soal agama atau tuhan. Bukankah di jaman edan ini kita butuh hal macam itu?”
“O, Babi kawanku yang baik, aneka binatang hidup berdampingan di hutan ini. Kita tak pernah tahu sepasang kuping siapa saja yang akan menangkap cerita yang keluar dari mulut kita. Tema agama mudah sekali menyulut emosi pendengarnya,” jawab si beo
“Tapi, cerita olahraga atau politik juga bisa menyulut emosi, kan?” potong babi.
“Yah, memang,” kata beo, “Biar aku kutipkan salah satu sajak penyair kondang jaman dulu, ‘bukan maksudku mau berbagi iman, iman adalah kesunyian masing-masing‘.”
Beberapa hari kemudian, si babi ditangkap manusia. Dia jadi suguhan istimewa di acara Lajar Tantjep. Pemutaran film arahan Tim Burton, Big Fish.

Sampai menjelang ajal, kutipan yang disuarakan beo masih terngiang-ngiang di benak babi. Barangkali di surga sana, Tuhan bakal kasih tahu babi kalau beo  mengutip Chairil, dan mengganti kata ‘nasib’ dengan ‘iman’.

Minggu, 23 Oktober 2016

Percakapan dengan Bakul Gorengan

Dia menyodorkan duit sepuluh ribu ke Pak Cowek. ”Opo iki?” tanya Pak Cowek.
     “Tahu, tempe, pisang, gembus.”
     Sore merekah. Setengah cerah. Langit disaput cercah-cercah awan yang mengalir diembus angin.
Empatupuluh lima menit lalu Pak Cowek mendorong gerobak gorengannya menyusur salah satu sisi jalan Gedongkuning Selatan. Gerobak renta yang setia. Hampir tiap jelang sore, sejak toko cat Wa-Wi-Wu di pojok perempatan Ketandan belum berdiri, Pak Cowek dan gerobak ajek menjejak keras aspal dan tak canggung melawan motor-mobil yang terus berbiak.
     Cekatan benar tangan kanan Pak Cowek menjumputi gorengan pakai capit, terus dilempar ke kresek putih di tangan kirinya. Mulutnya komat-kamit menghitung. Dirasa pesanan terpenuhi Pak Cowek mengulurkan ke pelanggan. “Gundul kui sopo?” tanya Pak Cowek sembari menunjuk kaos dia yang beli tahu, tempe, pisang, gembus sepuluh ribu tadi.
     “Wasit, Pak. Wasit Itali kae lho.”
     “Pesen kui?” terus Pak Cowek mencecarnya tanya.
     “Gawe dewe, Pak.”
     “O, ning ‘Matamu’ kono kui?” berkesimpulan akhirnya Pak Cowek, meski masih bernada tanya.
     Tersimpul senyum tipis di bibir dia yang membeli tahu, tempe, pisang, gembus sepuluh ribu tadi. Otak dia yang membeli tahu, tempe, pisang, gembus sepuluh ribu tadi mencerna percakapan dengan bakul gorengan tadi lewat aneka sudut pandang. Sebagian besar kelewat rumit, sulit dijabarkan. Satu pikiran yang cukup jelas dilihatnya: waktu orang bicara tentang kaos di Jogja, yang muncul pertama di pikiran mereka kebanyakan merek ‘Lambemu’.
     Pikiran kedua, yang satu ini terus saja ada sehabis dia beli gorengan. Rasa bersalah menggerogoti benak. Kelewat banyak tulisan-tulisan tentang kesehatan tanpa permisi menyerbunya. Dia hampir percaya seharusnya gerobak Pak Cowek ditempel stiker “Gorengan Membunuhmu”, ilustrasinya tengkorak Raisa.
     Selain itu dia selalu khawatir dengan ekspansi perkebunan kelapa sawit. Minyak buat goreng kan dari kelapa sawit. Meski dia selalu memasang kuota tiap dia beli gorengan. Tak lebih dari sepuluh ribu, yakinnya. Dia sendiri kurang yakin itu berpengaruh banyak pada hutan hujan tropis yang dikebiri, terus jadi kebun monokultur. Dan orang Prancis yang menolong orang utan di borneo itu, sungguh baik. Entah kenapa pikiran itu sekonyong-konyong muncul. Apapun yang dilakukannya, dia terus saja merasa bersalah.
      Kulit gorengan ini bahannya terigu. Asalnya gandum. Alaminya gandum kurang suka wilayah geografis dengan curah hujan tinggi katanya. Jangan-jangan tempe sama tahu kedelainya juga bukan hasil tanam petani lokal. Terus plastik ini bakal cuma jadi bahan reklamasi pulau plastik di Pasifik sana. Bisa jadi.
     Mendingan, endorfin yang biasanya memang mengalir lancar waktu menggenjot sepeda tak ingkar janji. Jadi ada pengimbangnya itu si rasa bersalah jalang.

    Pada akhirnya, dia terus kepikiran merek kaos berlogo kuping yang dipikirnya masih merajai dunia perkaosan.