Si Pendongeng*
Saat itu sore yang panas, dan di dalam gerbong kereta api tak
kalah gerahnya, dan pemberhentian berikutnya adalah Templecombe, hampir satu
jam lagi. Penumpang di gerbong itu terdiri dari seorang gadis kecil, dan
seorang gadis yang lebih kecil, dan seorang bocah kecil. Bibi anak-anak itu
mengisi salah satu pojokan tempat duduk, dan pojokan jauh tempat duduk
seberangnya diisi oleh seorang sarjana muda yang adalah seorang asing bagi
rombongan mereka, tapi si gadis kecil dan si bocah kecil betul-betul menduduki
kompartemen. Baik si bibi maupun anak-anak itu bercakap dalam suatu batas,
terus-menerus, mengingatkan pada salah satu sikap dari seekor lalat rumahan
yang menolak untuk putus asa. Kebanyakan kata-kata si bibi agaknya dimulai
dengan “Jangan,” dan nyaris semua kata-kata anak-anak itu dimulai dengan
“Kenapa?” Si sarjana muda diam saja. “Jangan, Cyril, jangan,“ seru si bibi,
waktu si bocah kecil mulai memukul-mukul bantalan tempat duduk, menyembulkan sehembus
awan debu pada tiap pukulan.