“Tahu, tempe, pisang, gembus.”
Sore merekah. Setengah cerah. Langit disaput cercah-cercah
awan yang mengalir diembus angin.
Empatupuluh lima menit lalu Pak Cowek mendorong gerobak
gorengannya menyusur salah satu sisi jalan Gedongkuning Selatan. Gerobak renta
yang setia. Hampir tiap jelang sore, sejak toko cat Wa-Wi-Wu di pojok
perempatan Ketandan belum berdiri, Pak Cowek dan gerobak ajek menjejak keras aspal
dan tak canggung melawan motor-mobil yang terus berbiak.
Cekatan benar tangan kanan Pak Cowek menjumputi gorengan
pakai capit, terus dilempar ke kresek putih di tangan kirinya. Mulutnya
komat-kamit menghitung. Dirasa pesanan terpenuhi Pak Cowek mengulurkan ke
pelanggan. “Gundul kui sopo?” tanya Pak Cowek sembari menunjuk kaos dia yang
beli tahu, tempe, pisang, gembus sepuluh ribu tadi.
“Wasit, Pak. Wasit Itali kae lho.”
“Pesen kui?” terus Pak Cowek mencecarnya tanya.
“Gawe dewe, Pak.”
“O, ning ‘Matamu’ kono kui?” berkesimpulan akhirnya Pak
Cowek, meski masih bernada tanya.
Tersimpul senyum tipis di bibir dia yang membeli tahu,
tempe, pisang, gembus sepuluh ribu tadi. Otak dia yang membeli tahu, tempe, pisang, gembus sepuluh
ribu tadi mencerna percakapan dengan bakul gorengan tadi lewat aneka sudut
pandang. Sebagian besar kelewat rumit, sulit dijabarkan. Satu pikiran yang
cukup jelas dilihatnya: waktu orang bicara tentang kaos di Jogja, yang muncul
pertama di pikiran mereka kebanyakan merek ‘Lambemu’.
Pikiran kedua, yang satu ini terus saja ada sehabis dia beli
gorengan. Rasa bersalah menggerogoti benak. Kelewat banyak tulisan-tulisan
tentang kesehatan tanpa permisi menyerbunya. Dia hampir percaya seharusnya
gerobak Pak Cowek ditempel stiker “Gorengan Membunuhmu”, ilustrasinya tengkorak
Raisa.
Selain itu dia selalu khawatir dengan ekspansi perkebunan
kelapa sawit. Minyak buat goreng kan dari kelapa sawit. Meski dia selalu
memasang kuota tiap dia beli gorengan. Tak lebih dari sepuluh ribu, yakinnya.
Dia sendiri kurang yakin itu berpengaruh banyak pada hutan hujan tropis yang
dikebiri, terus jadi kebun monokultur. Dan orang Prancis yang menolong orang
utan di borneo itu, sungguh baik. Entah kenapa pikiran itu sekonyong-konyong
muncul. Apapun yang dilakukannya, dia terus saja merasa bersalah.
Kulit gorengan ini bahannya terigu. Asalnya gandum. Alaminya
gandum kurang suka wilayah geografis dengan curah hujan tinggi katanya.
Jangan-jangan tempe sama tahu kedelainya juga bukan hasil tanam petani lokal.
Terus plastik ini bakal cuma jadi bahan reklamasi pulau plastik di Pasifik
sana. Bisa jadi.
Mendingan, endorfin yang biasanya memang mengalir lancar
waktu menggenjot sepeda tak ingkar janji. Jadi ada pengimbangnya itu si rasa
bersalah jalang.
Pada akhirnya, dia terus kepikiran merek kaos berlogo kuping
yang dipikirnya masih merajai dunia perkaosan.
0 komentar:
Posting Komentar