Si Kusir*
Aku berani bilang tak ada pria berselingkuh, entah dia
direktur bank atau senator atau dramawan, yang tidak mengkhianati cinta demi perempuan
jangak tua bangka yang mengenakan topi yang bukan main noraknya, hidup di gubuk
dan mata pencahariannya bahkan kamu tak mau membahasnya kelewat rinci. (Ini
kata Hakim Mahkamah Agung. Aku tak mau pura-pura mendukung teori atau
ceritanya.) Dia mungkin saja pramuwisata Maine, atau montir tua yang biasa menjaga
livernya stabil, atau pengurus penginapan yang paripurna brengseknya yang minggat
untuk membedil bebek saat dia semestinya menyapu lantai, tapi seorang pesohor kotamu
yang angkuh akan mencari akal untuk balik dan menemuinya tiap tahun, dan
mengeluyur bareng, dan diam-diam mengenalkannya dengan semua pemuka kota yang
congkak.
Ada sebegitu banyak kebenaran, paling tidak, pada soal Pertemuan
Umum1 ini yang kamu baca di iklan novel Western yang liar dan
lusuh. Aku tak tahu filosofinya; mungkin maksudnya bahwa kita memelihara
kesederhanaan yang layak, tak peduli seberapa banyak kita terikat pada Materi,
pada rumah, dan mobil dan istri yang mahal. Atau lagi-lagi itu mungkin saja hadiah
keseluruhan permainan peradaban ini; boleh jadi kalau manusia yang kelihatannya
beradab itu intinya cuma seorang pengembara yang suka baju flanel dan pipi
berewok dan memaki dan piring timah kotor untuk segala keadaan, higenis, hidup
yang berpandangan-ke-depan kaum perempuan kita membuat kita memakainya.
Waktu Aku lulus sekolah hukum kukira Aku kurang lebih
sepalsu dan seidiot dan seambisius kebanyakan anak muda. Aku ingin naik, secara
sosial dan finansial. Aku ingin jadi terkenal dan makan malam di rumah yang
besar bareng orang yang ngeri sama Rakyat Jelata yang tak berdandan buat makan
malam. Kamu tahu, Aku tak belajar kalau satu-satunya hal yang lebih menjemukan
ketimbang makan malam resmi ialah percakapan setelahnya, saat para korban
sedang mencerna makan malamnya dan menghimpun cukup kekuatan untuk main kartu. Oh,
Aku memang pedet yang sedap! Aku bahkan berencana menikah dengan mewah. Bayangkan
kemudian bagaimana Aku merasa waktu, sehabis menerima kehormatan dan menjadi
asisten kerani kelimabelas di firma hukum Hodgins, Hodgins, Berkman and Taupe
yang hebat, Aku ditugasi tidak untuk menyiapkan laporan tapi menyampaikan surat
panggilan! Seperti detektif swasta murahan! Seperti opsir kotor! Mereka bilang
Aku musti mengawali seperti itu dan, mencoba tabah, Aku dengan lesu pergi bekerja.
Aku ditendang keluar dari ruang ganti aktris, dan dari waktu ke waktu Aku
selayaknya digebuk oleh penggugat yang besar dan geram. Aku jadi tahu, dan
terlebih lagi benci, tiap sudut kota yang kotor dan gelap. Aku berangan untuk
minggat ke kampung halamanku, tempat Aku bisa seketika itu juga jadi pengacara
hukum penuh. Aku girang suatu hari saat mereka mengirimku sejauh enam puluh
lima kilometer atau lebih ke suatu kota yang namanya New Mullion, untuk
menyampaikan surat panggilan buat Oliver Lutkins. Lutkins ini bekerja di
Northern Woods, dan dia tahu fakta tentang persetejuan batas hutan tertentu.
Kami perlu dia sebagai saksi, dan dia sudah mengelak panggilan.
Waktu Aku keluar kereta di New Mullion, tiba-tiba kasihku akan
desa yang santun dan sahaja terhempas oleh pemandangan tempat itu, jalanan
lumpur dan barisan warung-warungnya entah yang tidak dicat atau dipulas coklat
suram. Meski di situ ada delapan atau sembilan ribu penghuni, New Mullion
sekumuh bedeng penambangan. Ada seorang yang ramah di stasiunnya—pak pos. Dia
mungkin empatpuluhan, bermuka merah, riang, berewok; dia mengenakan overal dan
sweter denimnya seolah itu kepunyaannya, dia lumayan kotor dan sangat
bersahabat dan kamu langsung tahu dia suka orang-orang dan menepuk punggung
mereka sekadar beramahtamah.
“Aku mau,” ujarku kepadanya, “ketemu orang yang namanya
Oliver Lutkins.”
“Dia? Aku lihat dia di sekitar sini ndak sampai sejam lalu. Orang yang susah dicari, sungguh—selalu
sibuk sama bisnis gadungan atau lainnya. Mungkin lagi main poker di belakang
warung abah-abah Fritz Beinke. Dengar, nak—buru-buru ketemu Lutkins?”
“Iya. Aku mau mengejar kereta pulang sore.” Aku jadi
serahasia detektif.
“Aku kasih tahu. Aku punya andong. Aku akan keluarkan
pedatinya dan kita bisa berkendara dan cari
Lutkins. Aku tahu nyaris semua
tempat dia biasa nongkrong.”
Dia baik betul, dia segera saja menyerapku dalam lingkar
kasihnya, yang kurasai semarak dengan kehangatan. Aku tahu, tentu saja, kalau
dia mengangkat bisnis, tapi keramahannya memang sungguh-sungguh, dan kalau Aku
musti membayar ongkos andong biar ketemu orang itu, Aku senang duit itu pergi
ke orang baik ini. Aku menyewanya dua dolar sejam; dia membawa dari pondoknya,
seblok jauhnya, satu benda seperti sekotak piano hitam di atas roda-roda.
Dia tidak membukakan pintu, pastinya dia tidak berujar
“Siap, tuan.” Kurasa dia akan mati duluan sebelum memanggil siapapun “tuan.”
Saat dia sampai di gerbang Surga dia akan memanggil St. Peter “Pete,” dan Aku
membayangkan si santo baik akan suka. Dia berujar, “Nah, anak muda, inilah si
delman istimewa,” dan seringainya—nah, itu membuatku merasa kalau Aku sudah
lama jadi tetangganya. Mereka siap benar membantu orang asing, orang-orang desa
itu. Dia sampai membuat ini menjadi tugasnya sendiri untuk menemukan Oliver
Lutkins demi aku.
Dia berkata, malu-malu: “Aku tak mau mencampuri urusan
pribadimu, anak muda, tapi tebakanku kamu mau menagih utang Lutkins—dia tak
pernah bayar siapa pun sesen pun; dia masih utang aku enam kali main poker Aku
bodoh betul mau ikut-ikutan. Dia bukan semacam Preman tapi toh dia cuma tentu
saja benci melepas sepeser saja. Jadi kalau kamu coba menagih duit dari dia,
kita lebih baik mengendap-endap dan mengepungnya. Kalau kamu langsung tanya ke
dia—siapa pun tahu kamu dari kota, pakai trik Fedora-mu itu—dia akan curiga dan
minggat. Kalau kamu mau, Aku akan masuk ke Fritz Beinke dan tanya ke dia, dan
kamu bisa sembunyi di belakangku.”
Aku suka sarannya. Sendirian saja Aku mungkin tak pernah
bisa menemukan Lutkins. Sekarang, Aku punya pasukan cadangan. Berturut-turut
Aku memberi tahu si kusir kalau Aku ingin memberikan surat panggilan untuk
Lutkins; kalau orang itu menolak secara kasar untuk bersaksi dalam perkara
dimana pengetahuan tentang pembicaraan tertentu akan membikin jelas semuanya.
Si kusir menyimak sunguh-sungguh—dan Aku masih cukup muda untuk berterimakasih
lantaran dianggap serius oleh seorang berusia empatpuluhan. Pada akhirnya dia
menepuk pundakku (sangat menyakitkan) dan terkekeh: “Nah, kita akan bikin
sedikit kejutan buat Brer Lutkins.”
“Ayo jalan, kusir.”
“kebanyakan orang sini panggil aku Bill. Atau Magnuson.
William Magnuson, kereta angkutan mewah.”
“Baiklah, Bill. Bisa kita ketemu dia di toko perkap
kuda—punya Beinke?”
“Ya, kemungkinan ada di sana ketimbang tempat lain. Main
poker terus-terusan dan menggertak punya kartu bagus—bajingan dia!” Bill
kelihatan mengagumi kemampuan Mas Lutkins sebagai bajingan; Aku berkhayal kalau
dia jadi kapolsek dia akan menangkap Lutkins dengan semangat membara dan menggantungnya dengan rasa iba.
Di warung abah-abah yang agak suram kami turun dan masuk.
Ruangannya berurap bau kulit yang disamak. Seseorang yang sedikitnya seperti
laki-laki, agaknya Pak Beinke, sedang menjual ikat leher kuda kepada seorang
petani.
“Lihat Nolly Lutkins sekitaran sini hari ini? Temannya lagi
cari dia,” ujar Bill, dengan ketenangan licik.
Beinke melihat melewatinya pada sosok asingku yang
malu-malu; dia ragu dan mengaku: “Yuh, dia di sini barusan. Kayaknya dia pergi
ke Swede buat cukur.”
“Nah, kalau dia ke sini, bilang dia Aku cari dia. Mungkin
mau main poker sebentar. Aku dengar kalau Lutkins main di sini.”
“Yoh, kurasa dia terkenal sebagai Bandar,” senggak Beinke.
Kami mencari-cari di tempat Swede si tukang cukur. Bill
lagi-lagi lumayan bagus memimpin, waktu Aku mengintai di pintu. Dia bertanya
tak hanya kepada si Swede tapi juga dua pelanggan kalau-kalau mereka melihat
Lutkins. Si Swede tegas menjawab tidak; dia gusar: “Aku tak lihat dia, dan Aku
tak pengin lihat, tapi kalau kamu temukan dia bisa kamu tagih tiga puluh lima
dolar utangnya ke aku.” Salah seorang pelanggan merasa dia melihat Lutkiins “berjalan
di Jalan Utama, pada sisi sebelah hotel.”
“Kalau begitu,” simpul Bill, saat kami susah payah balik ke pondok,
“utangnya ke Swede’s sudah numpuk, dia mungkin cukur di Heinie Gray’s. Dia
kelewat malas cukur sendiri.”
Di tukang cukur Gray kami telat lima menit. Lutkins barusan
pergi—barangkali ke tempat bilyar. Di tempat bilyar kelihatannya dia cuma beli
sebungkus rokok terus pergi. Jadi kami mengejarnya, tepat di belakangnya tapi
tak pernah menangkapnya, sejam lamanya, sampai jam satu lewat dan Aku sudah
lapar. Lahir di desa sepertiku, dan di kota kerap kesepian lantaran watak
kampung yang keras namun tulus, Aku girang oleh opini sinis Bill pada tukang
cukur dan pastor dan dokter dan kurir dari New Mullion yang nyaris tak
menggubris apakah Aku ketemu Lutkins atau tidak.
“Bagaimana kalau makan dulu?” Usulku.” Ayo ke restoran dan
kutraktir makan siang.”
“Wah, musti balik ke rumah si perempuan tua. Dan Aku tak
peduli restoran-restoran itu—keempat-empatnya dan semuanya bobrok. Kubilangi
yang akan kita perbuat. Suka pemandangan bagus? Ada pemandangan elok dari Bukit
Wade. Kita bisa minta si perempuan tua bikin makan siang—dia tak bakal minta
lebih dari setengah dolar, dan sebanyak itu yang kamu bayar buat gorengan di
kedai—dan kita akan naik ke sana dan serasa piknik Minggu pagi.”
Aku tahu kalau temanku Bill bukannya tanpa tipu muslihat;
Aku tahu kalau ramah-tamahnya pada Sobat Muda dari Kota bukanlah sama sekali
soal cinta persaudaraan. Aku membayarnya untuk menemaniku; total kubayar dia
untuk enam jam (termasuk jam makan siang) lumayan ngeri juga sebenarnya. Tapi
dia bukannya lebih tak jujur ketimbang Aku, yang membebankan semua tagihan ke
Firma, dan pastinya lumayan juga membayarnya buat menemaniku. Ketenangan khas
pedesaannya, kebijaksanaan alaminya, menjadi suatu siraman kesegaran buat si bocah
kota. Saat kami duduk di puncak bukit, melihat ke seberang kebun buah dan
sungai yang meluncur di antara
pohon-pohon willow, dia bercerita soal New Mullion, menyodorkan segaleri penuh
potret. Dia sinis namun lembut.
Tak ada yang dilewatkannya, satupun tak ada,
tak peduli betapa ironis tawanya, yang diluar pemahaman dan pengampunannya.
Dengan warna kemerahan dia melukiskan istri pendeta ketika si istri paling
berdosa paling lantang menanggapi pada apa yang disebutnya “gereja
Episcopalopian.” Dia berkomentar soal bocah yang pulang kampung dari kuliah
mengenakan “celana es krim,” dan soal pengacara yang, setelah tahun-tahun adu
argumen yang menyiksa melawan istrinya, memasang antara kerah linen atau dasi,
tapi tak pernah keduanya. Dia membikin mereka hidup. Sehari itu Aku jadi tahu
New Mullion lebih baik ketimbang yang
sejauh ini kutahu di kota, dan lebih menyukainya juga.
Andai saja Bill itu anak kuliahan dan orang kota yang dungu,
tapi dia sudah banyak berkelana di dunia kerja. Dia sudah pernah bekerja pada
regu perkeretaapian, di panen ladang dan kamp kontraktor, dan dari petualangannya
dia membawa pulang satu filosofi kesederhanaan dan tawa. Dia menguatkanku.
Sekarang, mengingat Bill, Aku tahu apa yang orang maksud (meski Aku jijik sama
omong kosong) saat mereka mendamba soal “cowok tulen.”
Kami tinggalkan kebun buah yang tentram itu dan kembali
mencari Oliver Lutkins. Kami gagal menemukannya. Paling tidak Bill memojokkan
teman Lutkins dan membikin dia mengaku kalau “dia rasa Oliver pergi ke
perkebunan ibunya, tiga mil ke utara.”
Kami berkendara ke sana, penuh taktik.
“Aku tahu ibunya Oliver. Dia sebuah teror. Dia sehembus
topan,” Bill mendesah. “Aku bawa peti buat dia suatu kali, dan dia nyaris
mengulitiku lantaran Aku tak memperlakukan peti itu selayaknya sepeti telur.
Dia kira-kira sembilan kaki tingginya dan empat kaki tebalnya dan selincah
kucing, dan dia pastinya merusak Queen’s
English2. Aku yakin Oliver dengar kalau seseorang membuntutinya
dan dia menyelinap ke sana buat sembunyi di dalam rok ibunya. Nah, kita akan
coba bikin ulah sama dia. Tapi mendingan biar aku saja yang lakukan, Nak. Kamu
mungkin hebat soal bahasa Latin dan geografi, tapi kamu tak terdidik soal
memaki.”
Kami berkendara memasuki sebidang lahan pertanian tandus;
kami disambut oleh perempuan tua gede dan riang. Pengawalku berdiri sok akrab
di depannya dan menggeram, “Ingat aku? Aku Bill Magnuson, pak pos. Aku pengin
ketemu anakmu Oliver. Temanku ini dari kota punya hadiah buat dia.”
“Aku sama sekali tak tahu soal Oliver dan Aku tak mau tahu,”
dia melenguh.
“Ayolah. Kami sudah capek main-main. Anak muda ini pengacara
kepala provos, dan kami punya hak dan alasan buat cari orang yang namanya
Oliver Lutkins.”
Bill membikinnya tampak ngeri, dan si Amazon kelihatan
kagum. Dia undur ke dapur dan kami membuntuti. Dari tungku pendek tua, dipagut
oleh panas menahun menjadi kelabu kelam keperakan, dia merenggut sadiron, dan dia mendekati kami,
berteriak, “Kalian cari saja semau kalian—asal kalian tak keberatan kebakar
jadi abu!” Dia menggertak, dia berlagak, dia terbahak saat kami tergugup-gugup
undur.
“Ayo keluar dari sini. Dia bisa-bisa bikin mampus kita,”
erang Bill dan, di luar: “Apa kamu lihat seringainya? Dia mengolok-olok kita.
Kamu terima?”
Aku setuju itu memang penghinaan besar.
Toh, kami bisa melakukan pencarian yang memadai. Pondok itu
cuma satu lantai. Bill mengelilinginya, mengintip lewat semua jendela. Dia
menjelajahi lumbung dan kandang kuda; kami lumayan yakin kalau Lutkins tak ada
di sana. Saat itu nyaris waktunya buatku untuk mengejar kereta sore, dan Bill
mengantarku ke stasiun. Dalam perjalanan ke kota Aku cemas sedikit saja soal
gagalnya bertemu Lutkins. Aku terserap dalam pikiran tentang Bill Magnuson.
Sungguh, Aku menimbang balik ke New Mullion buat berpraktik hukum. Betapa Aku temui
Bill sungguh manusia yang dalam dan kaya mungkinkah Aku sanggup untuk tak
mengasihi meski belum begitu kenal Fritz Beinke dan si tukang cukur Swede dan
seratusan tetangga bertutur halus, sederhana, bijak lainnya? Aku melihat satu kehidupan jujur dan
bahagia melebihi pelajaran teratur firma hukum universitas. Aku girang, seperti
seseorang yang menemu harta karun.
Tapi kalau Aku tak ambil pusing soal Lutkins, kantor iya.
Aku bertemu mereka dalam keadaan gelisah paginya; gugatannya siap
dipersidangkan; mereka musti mendapatkan Lutkins; Aku merasa malu dan tolol.
Pagi itu karirku terancam berakhir. Pak Kepala melakukan sebisanya asal tak
bikin kacau; dia entah bagaimana kelihatan betul kasih isyarat kalau Aku bakal
merampungkan kerja kotor ini. Aku ditugaskan balik ke New Mullion, dan
bersamaku mereka sertakan seorang bekas kerani pabrik kayu yang kenal Lutkins.
Aku agak kecewa, lantaran itu bakal mencegahku keluyuran lagi dalam kelembaman
menawan Bill Magnuson.
Saat kereta tiba di New Mullion, Bill ada di peron stasiun,
dekat gerobaknya. Yang bikin heran ada juga itu si naga bangkotan, ibunya
Lutkins, di sana mengobrol dengannya, dan mereka bukannya cekcok malah ketawa.
Dari undakan gerbong Aku menunjuk ke mereka pada si kerani pabrik
kayu dan seperti bocah memuja pahlawan, Aku berbisik: “Itu kawan baik, pria
sejati.”
“Ketemu dia di sini kemarin?” tanya si kerani.
“Aku seharian bareng dia.”
“Dia bantu kamu cari Oliver Lutkins?”
“Ya, dia banyak bantu aku.”
“Jelaslah! Dia tuh Lutkins!”
Tapi yang betul-betul bikin jengkel ialah saat Aku
menyerahkan surat panggilan Lutkins dan ibunya tertawa padaku seolah aku ini
bocah tujuh tahun yang pintar, dan dengan perhatian penuh kasih mereka
memintaku pergi ke rumah tetangga dan minum secangkir kopi.
“Aku kasih tahu mereka soal kamu, dan mereka setengah mati
pengin ketemu kamu,” ujar Lutkins riang. “Mereka itu orang di kota yang tak
sempat ketemu kamu kemarin.”
1 Open Spaces (https://encyclopedia.thefreedictionary.com/Open+Space+Technology)
2 Bahasa Inggris Halus.
0 komentar:
Posting Komentar