Selasa, 10 September 2013

Berkubang Di Kolam Masa Lalu

Yth. Tuan Blog (maaf jika ada kesalahan dalam penulisan nama dan gelar, itu sama sekali bukan merupakan kesengajaan)

Semoga Kamu tidak bosan mendengar keluh kesahku tentang salah jurusan. Apa Aku sudah pernah cerita tentang itu, salah jurusan. Tentang kenapa bukannya Aku memilih masuk ke jurusan lain ketimbang jurusan yang sekarang ini. Siapa juga yang tertarik dengan Akuntansi, ya kan? Kamu tertarik? Kenapa dulu Aku tidak memilih masuk ke jurusan Sastra Indonesia misalnya, atau Sejarah umpamanya. "Desain Komunikasi Visual atau Pariwisata!" teriak Suara dalam Kepala. "Bukankah dulu Kamu pernah bilang Kamu tertarik keduanya waktu ngobrol dengan Kepala SMA?" Ya, kenapa bukan itu semua?
     Aku beri tahu rahasia yang sudah lama kupendam. Meski sepertinya Aku pernah menguaknya dengan media lain. Sesuatu yang lebih konvensional. Tapi itu bukan masalah. Masalahnya di sini, dalam topik ini, adalah dulu Aku cuma anak ingusan lulusan SMA yang tak tahu apa-apa tentang yang namanya kuliah. Jurusan apa yang kutahu ada di kampus? Tak satupun. Bahkan kalau ditanya apa itu jurusan atau apa itu kampus Aku tidak yakin Aku bisa menjawabnya sesuai definisi yang diterima umum.
     Habis SMA, Aku sebenarnya cuma ingin main bola. Tapi bukan sepenuhnya ingin jadi atlet. Dan Aku bersyukur dengan itu, mengingat bagaimana sistem persepakbolaan di negeri ini. Main bola dan kerja paruh waktu, itu pasti menyenangkan. Tapi apa Kamu tahu? Kurasa tidak, kan? Aku hidup di lingkungan yang sangat tidak mendukung bocah delapan belas tahun lulusan SMA untuk pergi mencari kerja paruh waktu. "Merantau?" Apalagi. Memangnya siapa Aku ini, Eko Uwais? Maaf mbak Audy, bukannya Aku menyalahkan lingkungan, eh, maksudku menyeret-nyeret nama suami mbak. Dalam keluarga ini ada satu prinsip, terutama yang dijunjung begitu tinggi oleh ibu rumah tangganya, pokoknya harus kuliah. Ayah tak terlalu ambil pusing dengan keadaanku waktu itu, kelihatannya. Entah antara dia percaya penuh kepadaku atau dia memang sudah tidak peduli dengan apapun yang kulakukan dan apapun jadinya Aku.
     Akhirnya dengan dorongan 50% dari ibu dan 50% dari hati, Aku mendaftar ke salah satu universitas negeri di kota yang katanya punya hati yang nyaman ini. Ralat, mungkin persentase yang kupaparkan di sini tidak mewakili kejadian sesungguhnya. Jujur mungkin itu akan lebih adil jika kuberi 70-30, dengan kemenangan dorongan ibu tentunya. Dan ini yang paling penting dari semuanya, doa yang kupanjatkan sebelum kukerjakan soal ujian jahanam itu: "semoga Aku tidak diterima." Terdengar sombong? Karena menurutku, terjun ke dalam jurang yang tak kau tahu kedalamannya, juga binatang buas apa yang menunggumu di dasarnya, adalah hal konyol, apalagi saat kau tahu kau tidak punya cukup peralatan pendukung, dan lebih penting lagi nyali.
     Tolong jangan samakan Aku dengan kuda nil. Kuda nil yang suka berkubang. Berkubang di kolam masa lalu. Aku tak lebih dari seorang manusia. Apa yang lebih buruk dari itu, ya kan? Akhir cerita ini, sebentar. Cerita ini belum berakhir. Sulit mengatakan bahwa cerita ini akan berakhir dalam waktu dekat. Meski aku berharap demikian. Kurasa cerita ini berakhir bersamaan dengan nafasku yang terakhir. Aku masih tersesat di daerah antah-berantah dan merasa sekarat. Buta arah, entahlah.

Seraya berkubang di kolam masa lalu, Setjoeil Asa
10 September 2013

0 komentar:

Posting Komentar