Jumat, 22 Agustus 2014

Kutipan dari 1984 karya George Orwell

"Masa depan bisa mirip masa kini, dan kalau begitu maka masa depan juga tidak akan mau mendengarkannya; atau dapat pula masa depan berbeda dengan masa kini, dan kesulitan yang sekarang dialaminya akan tak berarti." (9)
"Yang harus dilakukan hanyalah memindahkan ke kertas, monolog kegelisahan tanpa putus yang sudah berkecamuk di kepalanya selama, secara harfiah, bertahun-tahun. Tetapi, tepat saat ini monolog itu pun menguap, kering begitu saja." (10)
"Mengelakkan perasaan-perasaanmu, menguasai tarikan wajahmu, melakukan apa yang sedang dilakukan semua orang lain, adalah reaksi naluriah." (20)
"Bukan dengan menjadikan dirimu terdengar, melainkan dengan menjaga kewarasanmu sendirilah engkau mengemban pusaka warisan kemanusiaan." (33)

Kamis, 21 Agustus 2014

"Dia kejar setoran bet," katanya sebelum pergi. "tiga puluh."
"Juta?" kataku heran.
"Ceritanya panjang."
    Aku ingat percakapan singkat itu, dengan Sul dua malam sebelumnya. Malam Kamis ini dia bercerita tentang tiga puluh juta itu, yang ternyata ceritanya tak sepanjang imajinasi liarku. Yang digunjingkan ini adalah Roi yang memang keranjingan judi. Awalnya togel, terus merembet ke judi bola online. Tidak sedikit memang orang yang menaruh banyak harapan di atas pundak judi bola. Meski tidak sedikit pula yang menganggap judi bola itu cuma pemberi harapan palsu.
    Di atas tiga tikar lusuh yang diatur seadanya, kami bertiga menikmati jeruk hangat dan teh hangat. Di mana tukang angkringan ini menemukan tikar sekecil ini. Entahlah.
    Uap keluar dari cerek di atas tungku berarang membara. Suara percakapan penuh semangat terdengar dari bapak-bapak di sebelah lain angkringan. Mereka duduk di dipan depan rolling door toko perak yang buka sepanjang hari. Hampir setiap malam halaman toko ini jadi area kekuasaan tukang angkringan.
     Di trotoar sebelah angkringan, tukang nasi goreng sedang memasak magelangan pesanan kami bertiga. Api merah biru kompar gas menjilat-jilat wajan yang sudah gosong bagian bawahnya. Angin membawa aroma bawang dan bumbu lain ke arahku, menggelitik hidung.
     Raung lalu lalang motor meningkahi suara kompor gas yang dibesar-kecilkan dengan ritmis dan bentrokan sutil dengan wajan. "Permisi mas," ada orang yang mau lewat, kumajukan badan dan dia lewat dibelakangku. Lalu dia duduk di atas tikar yang tak kalah lusuh dari yang kududuki. Orang itu, yang kira-kira sepantar dengan kami entah dari mana mengeluarkan satu buku, dan mulai membaca.
     "Ini yang nggak pedas," kata tukang nasi goreng.
     "Awalnya dia pasang satu atau dua juta," sambil menyantap nasi gorengnya Sul bercerita, "kalah. Terus pengin pasang lagi. Nah, waktu itu kebetulan ayahnya titip tiga puluh juta di rekening Roi. Nggak tahu bagaimana semuanya ludes. Tiga puluh juta itu duit jual tanah. Dia bilang ke bosnya. Jujur. Bosnya mau bantu. Dia dipinjami duit. Gantinya tiap bulan gajinya dipotong lima ratus ribu buat bayar pinjaman itu. Bosnya sempat bilang, 'kamu itu kalau main yang begituan anggap saja seperti main di timezone atau apalah, cuma hiburan.'"
     Percakapan setelah santap malam berkisar tentang masa SD. Di sela-sela percakapan kami asyik sendiri dengan ponsel pintar masing-masing. Percakapan tentang kampret yang secerdik kancil sewaktu mengelabui anak-anak, pelajaran olahraga dan menggambar, dan cerita hasil perasan kenangan lainnya...
     "Hei, Sul...?" Kidj tanya  ke dia tentang entah apa, sepertinya soal teman sekampus. Dia baru menengok di panggilan kedua atau ketiga. Di satu-dua obrolan dia bahkan bergeming, tidak menengok, menyarangkan tatapannya ke layar ponsel android-nya. Betapa momen canggung.

Jumat, 08 Agustus 2014

Seikat Kutipan dari A Farewell to Arms karya Ernest Hemingway

"Lalu aku menjelaskan bagaimana kita tidak selalu dapat menjalan kan semua hal yang telah kita rencanakan." (20)

"Entahlah, ... Tidak semua hal selalu memiliki penjelasan."
"Oh, benarkah itu? Sejak kecil aku dididik dengan pemikiran sebaliknya." (25)

"Aku suka kenikmatan yang lebih sederhana." (Rinaldi, 50)

"Tidak mungkin menjadi lebih buruk, ... Tidak ada yang lebih buruk daripada perang." (Passini, 58)
"Tidak akan berakhir. Tidak ada istilah berakhir untuk sebuah perang." (Passini, 59)
"Perang tidak dikalahkan dengan kemenangan. ..." (Masih Passini, 59)
"Kami berpikir. Kami membaca. Kami bukan sekadar petani. Kami adalah sekumpulan montir-montir. Bahkan petani pun tidak mau tunduk pada perang. Semua orang benci peperangan." (Lagi-lagi Passini, 59)
Kalau semua orang benci perang, Passini, kenapa perang masih saja berkecamuk?