Hari 1: Air
Hati ini tersayat-sayat melihat air
tanah ditarik paksa ke permukaan, terus digelandang ke kolam berair keruh.
Tidak lebih perih ketimbang menatap nanar tangan yang secara sadar menguyurkan
air keran ke kloset yang berlumuran air kemih.
Koran edisi itu
memajang foto istrinya Chris si pelantun tembang, atau dia itu istrinya Robert.
Entahlah, siapa peduli. Istri salah satu dari mereka ini dipertontonkan waktu
lagi minum air mineral botolan. 22 Maret Hari Air Sedunia, tulisan di sekitar
gambar itu mudah terbaca. Mudah terbaca tentunya bagi mereka yang tidak buta
aksara.
Tapi
siapa yang peduli sama air kalau air bersih mudah saja menggelontor sekali
putar kenop keran. Selalu saja ada yang berkoar-koar di dalam kepala bahwa
kemudahan menumpulkan pikiran, mengikis rasa syukur.
Orang
yang menarik paksa air tanah, bapak, kelihatannya saja hampir tiap hari ngelaju Jogja-Wonosari. Bukannya di sana
ada yang namanya pedagang air. Konon satu tangki dihargai 20.000. Bisa sampai 160.000
pula kalau diantar jauh. Entah isi berapa liter satu tangkinya. Ah, lama-lama
bisa jadi akan ada pula pedagang udara. Atau memang sekarang ini sudah ada?
Lihat
siapa yang punya pandangan macam ini. Dasar pelanggan PDAM.
***
Hari 2: Penjaga Toko
“Mas,
bisa minta tas kreseknya. Malu bawanya,” kata janda tua yang tinggal di pojok
simpang tiga sebelah kanan warung kelontong. Wajahnya terlihat berat oleh
riasan, bahkan seakan jumlah usianya pun tak mampu menampung riasan semacam
itu. Janda ini beli seperempat atau setengah kilogram gula pasir. Lagi, hati
remuk redam oleh mudahnya diri ini memberi pelanggan tas kresek jahanam. Mau
ditaruh mana muka ini di hadapan bumi. Maafkan aku bumi.
Menjelang
adzan Ashar berkumandang, pengamen wanita dengan alat musik potongan kayu
dipadu tutup-tutup botol minuman berkarbonasi menyambangi warung. Wanita ini
tampaknya masih muda, tapi dengan dandanan macam itu siapa juga yang berani
menerka usianya. Wajahnya kusam, dirajah matahari. Wajah yang seolah menampung
seluruh kebusukan hidup yang sudah dijalaninya. Kotor oleh terpaan udara yang
semakin tak ramah. Berlepotan dengan noda-noda yang tak kuasa menahan mimik
pasrah. Musik ecek-eceknya seakan menandaskan kepura-puraannya menjalani hidup.
Aku ingin menawarkan makanan saja ke wanita ini. Tapi urung, karena malas
bertanya apakah dia mau atau tidak. Akhirnya kusodorkan sekeping 500.
Sebelumnya
ada gadis awal duapuluhan membeli pembalut. Gadis berkerudung ini terlihat
cukup kalem untuk ukuran perempuan yang sedang PMS. Eh, cewek itu beli pembalut
waktu dia sindrom pra haid atau waktu haid. Mau kutanyakan perihal ini ke gadis
sintal itu, tapi urung, takut dianggapnya ini pertanyaan yang kurang pantas. Bisa
jadi juga dia akan tersinggung. Dia tidak minta tas kresek. Dia tidak malu
dengan belanjaannya atau dia malu meminta sebenarnya. Entahlah. Ah, apa yang
laki-laki tahu tentang perempuan.
Dan
anak perempuan usia pra-TK yang jadi kurir rokok ayahnya. Oh, semoga
keselamatan selalu dinaungkan ke kalian, hai anak-anak berbakti. Yang paling
utama keselamatan sistem pernapasan kalian.
Di
sepertiga akhir sore, ada pelanggan yang balik memboyong serta semua
belanjaannya. Sunguh diluar dugaan. Aku menghitung setengah kilogram gula pasir
dengan harga 3.000. Padahal tidak pernah ada diskon di warung ini. Setengah
harga apalagi. Tapi ibu-ibu itu menerangkan duduk perkaranya saat beliau balik
ke warung. Dia tanya apa harga belanjaannya tidak keliru hitung. Dan aku
pura-pura hitung ulang itu belanjaan. Andai di dunia ini ada lebih banyak orang
seperti ibu-ibu ini, ya kan Knut?
Malah
kedengaran seperti ahli fisiognomi. Atau feminis barangkali.
***
Hari 3: Konvoi Kendaraan Bermotor Partai
Politik
Lepas simpang empat aneh di sepenggal Jalan
Pares yang salah satu sudutnya didiami pom bensin, motor bebek kelahiran 2002
yang memikul 130-an kilo beratku dan ibuku terengah-engah menuju daerah rawan
kecelakan. Ya, daerah rawan kecelakan, itu yang tertulis di spanduk yang
dibentangkan melintang sekitar lima meter di atas jalan depan sebuah masjid.
Sesudahnya konvoi kendaran bermotor menghadang jalan. Terhirup suara riuh
rendahnya di udara. Kebisingan yang menyalakan kesiapsiagaan. Kuajak si bebek
berkelit menghindari orang-orang yang hanya Tuhan yang tahu apa motivasi
politik mereka. Aih, lebih baik tak usahlah bawa-bawa Tuhan. Itu topik yang
sensitif. Semenjak tak ada yang tahu siapa yang mungkin mendengar percakapan
siapa, siapapun hendaknya menghindari topik sensitif ini. Seperti si bebek yang
berusaha menghindari konvoi tadi.
Si bebek belok ke
kanan. Simpang tiga pertama lewat. Yang berikutnya belok ke kiri. Ternyata itu
perumahan. Akhirnya si bebek dengan muatannya kembali ke jalan semula, setelah
cuma berputar-putar kompleks perumahan. Kabar baiknya konvoi itu sudah lewat.
Dengar-dengar
orang-orang ini boleh bawa pulang 100.000, untuk dewasa, sekali tugas keliling bergembar-gembor knalpot
motor. Knalpot yang lupa, atau lebih tepatnya, sengaja dibuat lupa hakikatnya. Ikutan
pula anak-anak. Dipinjami motor cilik mereka ini. Sesuai postur. Maaf, kak Seto
tapi anak mana yang tahan godaan 20.000. Siapa dermawan ini, yang menjadi
penunjang hidup jiwa-jiwa malang ini? Setan mana yang tahu, ya kan Soe?
Barangkali mereka punya
pikiran, sekiranya inilah kesempatan mereka buat memeras orang berkepentingan. Aku
jadi ingat tentang kain rentang di jalan masuk satu dusun bertuliskan: Dusun
Ini Masih Menerima Serangan Fajar. Kain bertulis yang berlomba mencuri
pandangan mereka yang lewat, melawan spanduk-spanduk lain. Spanduk-spanduk berisi
gambar wajah ramah semringah yang minta ditusuk. Tapi balasan biasanya lebih
kejam. Pemilik wajah ini mungkin akan menusuk balik, berkali-kali lebih dalam.
Juga merampas balik 100.000 itu, malangnya tidak cuma sekali.
Mereka,
orang-orang yang berkonvoi, pasang mimik bergairah di tengah sorak-sorai motor
mereka. Padahal aku selalu merasa bersalah kalau harus naik kendaraan bermotor
roda dua. Apa nama perasaan ini, Antoine? Perasaan malu berhadapan dengan
kesengsaraan yang seolah tak bergantung pada diri ini? Harusnya aku malu
menginjakkan kaki di bumi. Permintaan maaf padanya saja takkan cukup.
Dan waktu melihat ada
pejalan kaki. Aku selalu saja ingin menawarkan tumpangan. Tapi urung, karena
malas berhenti dan bertanya apakah dia mau membonceng. Khawatir juga kalau
waktu menawarkan sadel belakang, malahan dikira mau menculik. Akhirnya cuma
lewati saja tak acuh itu pejalan kaki. Hai, para pejalan kaki kalian adalah
pecinta alam sejati.
***
½ Hari Terakhir: Menjelang Wisuda Teman.
Salah satu orang tua itu bilang bahwa
dulu di jamannya belum banyak lulusan sarjana muda seperti dia. Hei, bukannya
itu artinya saat itu pendidikan di negara ini belum merata, ya kan Pak? Aku sangka
nama orang tua ini berembel-embel B.A.
Bagaimana kabarnya
sekarang? Ada perubahan? Ke arah yang lebih baik? Sudah banyakkah jumlah
sarjana sekarang? Yang belum sarjana?
Ah, malaikat mana pula
yang mau ambil pusing. Kurasa dunia ini tidak butuh lebih banyak lagi sarjana,
ya kan Jamie?
Jogja,
Maret-April 2014
Setjoeil
Asa
0 komentar:
Posting Komentar