Kamis, 10 April 2014

3½ Hari


Hari 1: Air
Hati ini tersayat-sayat melihat air tanah ditarik paksa ke permukaan, terus digelandang ke kolam berair keruh. Tidak lebih perih ketimbang menatap nanar tangan yang secara sadar menguyurkan air keran ke kloset yang berlumuran air kemih.
Koran edisi itu memajang foto istrinya Chris si pelantun tembang, atau dia itu istrinya Robert. Entahlah, siapa peduli. Istri salah satu dari mereka ini dipertontonkan waktu lagi minum air mineral botolan. 22 Maret Hari Air Sedunia, tulisan di sekitar gambar itu mudah terbaca. Mudah terbaca tentunya bagi mereka yang tidak buta aksara.
            Tapi siapa yang peduli sama air kalau air bersih mudah saja menggelontor sekali putar kenop keran. Selalu saja ada yang berkoar-koar di dalam kepala bahwa kemudahan menumpulkan pikiran, mengikis rasa syukur.
            Orang yang menarik paksa air tanah, bapak, kelihatannya saja hampir tiap hari ngelaju Jogja-Wonosari. Bukannya di sana ada yang namanya pedagang air. Konon satu tangki dihargai 20.000. Bisa sampai 160.000 pula kalau diantar jauh. Entah isi berapa liter satu tangkinya. Ah, lama-lama bisa jadi akan ada pula pedagang udara. Atau memang sekarang ini sudah ada?
            Lihat siapa yang punya pandangan macam ini. Dasar pelanggan PDAM.

***

Hari 2: Penjaga Toko
 “Mas, bisa minta tas kreseknya. Malu bawanya,” kata janda tua yang tinggal di pojok simpang tiga sebelah kanan warung kelontong. Wajahnya terlihat berat oleh riasan, bahkan seakan jumlah usianya pun tak mampu menampung riasan semacam itu. Janda ini beli seperempat atau setengah kilogram gula pasir. Lagi, hati remuk redam oleh mudahnya diri ini memberi pelanggan tas kresek jahanam. Mau ditaruh mana muka ini di hadapan bumi. Maafkan aku bumi.
            Menjelang adzan Ashar berkumandang, pengamen wanita dengan alat musik potongan kayu dipadu tutup-tutup botol minuman berkarbonasi menyambangi warung. Wanita ini tampaknya masih muda, tapi dengan dandanan macam itu siapa juga yang berani menerka usianya. Wajahnya kusam, dirajah matahari. Wajah yang seolah menampung seluruh kebusukan hidup yang sudah dijalaninya. Kotor oleh terpaan udara yang semakin tak ramah. Berlepotan dengan noda-noda yang tak kuasa menahan mimik pasrah. Musik ecek-eceknya seakan menandaskan kepura-puraannya menjalani hidup. Aku ingin menawarkan makanan saja ke wanita ini. Tapi urung, karena malas bertanya apakah dia mau atau tidak. Akhirnya kusodorkan sekeping 500.
            Sebelumnya ada gadis awal duapuluhan membeli pembalut. Gadis berkerudung ini terlihat cukup kalem untuk ukuran perempuan yang sedang PMS. Eh, cewek itu beli pembalut waktu dia sindrom pra haid atau waktu haid. Mau kutanyakan perihal ini ke gadis sintal itu, tapi urung, takut dianggapnya ini pertanyaan yang kurang pantas. Bisa jadi juga dia akan tersinggung. Dia tidak minta tas kresek. Dia tidak malu dengan belanjaannya atau dia malu meminta sebenarnya. Entahlah. Ah, apa yang laki-laki tahu tentang perempuan.
            Dan anak perempuan usia pra-TK yang jadi kurir rokok ayahnya. Oh, semoga keselamatan selalu dinaungkan ke kalian, hai anak-anak berbakti. Yang paling utama keselamatan sistem pernapasan kalian.
            Di sepertiga akhir sore, ada pelanggan yang balik memboyong serta semua belanjaannya. Sunguh diluar dugaan. Aku menghitung setengah kilogram gula pasir dengan harga 3.000. Padahal tidak pernah ada diskon di warung ini. Setengah harga apalagi. Tapi ibu-ibu itu menerangkan duduk perkaranya saat beliau balik ke warung. Dia tanya apa harga belanjaannya tidak keliru hitung. Dan aku pura-pura hitung ulang itu belanjaan. Andai di dunia ini ada lebih banyak orang seperti ibu-ibu ini, ya kan Knut?
            Malah kedengaran seperti ahli fisiognomi. Atau feminis barangkali.

***

 Hari 3: Konvoi Kendaraan Bermotor Partai Politik
Lepas simpang empat aneh di sepenggal Jalan Pares yang salah satu sudutnya didiami pom bensin, motor bebek kelahiran 2002 yang memikul 130-an kilo beratku dan ibuku terengah-engah menuju daerah rawan kecelakan. Ya, daerah rawan kecelakan, itu yang tertulis di spanduk yang dibentangkan melintang sekitar lima meter di atas jalan depan sebuah masjid. Sesudahnya konvoi kendaran bermotor menghadang jalan. Terhirup suara riuh rendahnya di udara. Kebisingan yang menyalakan kesiapsiagaan. Kuajak si bebek berkelit menghindari orang-orang yang hanya Tuhan yang tahu apa motivasi politik mereka. Aih, lebih baik tak usahlah bawa-bawa Tuhan. Itu topik yang sensitif. Semenjak tak ada yang tahu siapa yang mungkin mendengar percakapan siapa, siapapun hendaknya menghindari topik sensitif ini. Seperti si bebek yang berusaha menghindari konvoi tadi.
Si bebek belok ke kanan. Simpang tiga pertama lewat. Yang berikutnya belok ke kiri. Ternyata itu perumahan. Akhirnya si bebek dengan muatannya kembali ke jalan semula, setelah cuma berputar-putar kompleks perumahan. Kabar baiknya konvoi itu sudah lewat.
            Dengar-dengar orang-orang ini boleh bawa pulang 100.000, untuk dewasa,  sekali tugas keliling bergembar-gembor knalpot motor. Knalpot yang lupa, atau lebih tepatnya, sengaja dibuat lupa hakikatnya. Ikutan pula anak-anak. Dipinjami motor cilik mereka ini. Sesuai postur. Maaf, kak Seto tapi anak mana yang tahan godaan 20.000. Siapa dermawan ini, yang menjadi penunjang hidup jiwa-jiwa malang ini? Setan mana yang tahu, ya kan Soe?
Barangkali mereka punya pikiran, sekiranya inilah kesempatan mereka buat memeras orang berkepentingan. Aku jadi ingat tentang kain rentang di jalan masuk satu dusun bertuliskan: Dusun Ini Masih Menerima Serangan Fajar. Kain bertulis yang berlomba mencuri pandangan mereka yang lewat, melawan spanduk-spanduk lain. Spanduk-spanduk berisi gambar wajah ramah semringah yang minta ditusuk. Tapi balasan biasanya lebih kejam. Pemilik wajah ini mungkin akan menusuk balik, berkali-kali lebih dalam. Juga merampas balik 100.000 itu, malangnya tidak cuma sekali.
            Mereka, orang-orang yang berkonvoi, pasang mimik bergairah di tengah sorak-sorai motor mereka. Padahal aku selalu merasa bersalah kalau harus naik kendaraan bermotor roda dua. Apa nama perasaan ini, Antoine? Perasaan malu berhadapan dengan kesengsaraan yang seolah tak bergantung pada diri ini? Harusnya aku malu menginjakkan kaki di bumi. Permintaan maaf padanya saja takkan cukup.
Dan waktu melihat ada pejalan kaki. Aku selalu saja ingin menawarkan tumpangan. Tapi urung, karena malas berhenti dan bertanya apakah dia mau membonceng. Khawatir juga kalau waktu menawarkan sadel belakang, malahan dikira mau menculik. Akhirnya cuma lewati saja tak acuh itu pejalan kaki. Hai, para pejalan kaki kalian adalah pecinta alam sejati.

***

½ Hari Terakhir: Menjelang Wisuda Teman.
Salah satu orang tua itu bilang bahwa dulu di jamannya belum banyak lulusan sarjana muda seperti dia. Hei, bukannya itu artinya saat itu pendidikan di negara ini belum merata, ya kan Pak? Aku sangka nama orang tua ini berembel-embel B.A.
Bagaimana kabarnya sekarang? Ada perubahan? Ke arah yang lebih baik? Sudah banyakkah jumlah sarjana sekarang? Yang belum sarjana?
Ah, malaikat mana pula yang mau ambil pusing. Kurasa dunia ini tidak butuh lebih banyak lagi sarjana, ya kan Jamie?

Jogja, Maret-April 2014
Setjoeil Asa

0 komentar:

Posting Komentar