Kamis, 27 Maret 2014

Ilham Dermawan

Maaf, aku tidak akan menyumbangkan satu pun buku-bukuku--yang kurasa adalah harta duniawi paling berhargaku. Yah, aku memang bukan dermawan, dan tidak pernah merasa demikian. juga diri ini tidak pernah merasa lebih baik dari pada siapa pun jua. Tidak pada mereka yang meminjam barang orang lain tanpa izin karena desakan dan seruan perut mereka yang memekakkan telinga mereka sendiri akibat kosong selama hampir tiga hari penuh. Tidak juga pada mereka yang memampang foto wajah ramah-semringah di pohon-pohon atau tiang-tiang listrik pinggir jalan. Tapi entah pada mereka yang mengambil yang bukan haknya karena belum merasa puas dengan yang mereka miliki.
     Jangan. Jangan panggil aku eksistensialis. Tapi aku memang tertarik dengan kebebasan individu yang hanya dibatasi oleh kebebasan individu lain. Sayangnya dalam hal ini kebebasan spesies lain tidak diacuhkan.
     Oh, kenapa juga tadi aku menyinggung soal buku-buku. Apa gunanya membaca buku. Apa dengan itu hidup ini lebih layak dijalani? Barusan aku baca buku. Di dalamnya ada kalimat menarik. Akan kukutip, "... tetapi segera perasaan itu diganti oleh suatu kekecewaan yang amat getir, aku nyaris menangis karena ternyata masih hidup." Aku pasti akan merasa bersalah kalau tidak kusebutkan buku apa yang kukutip dan siapa penulisnya. Itu Lapar-nya Knut Hamsun. Meski aku pernah membaca entah di mana--atau sekarang ini aku sengaja lupa--kalau penulis kelas teri meminjam, penulis kelas kakap mencuri.
     Jujur, tadi aku tersambar ilham dalam guyuran air tanah yang ditarik paksa ke permukaan. Apa ilham sedang bergesa-gesa? Apa dia merentangkan terus mengepak-ngepakkan sayapnya? Terbang entah ke mana? Dan hinggap di pundak orang lain, entah siapa? Ilham yang satu ini barangkali berhati lembut. Tak sekuku pun jejak cengkeramannya tertinggal di bagian mana pun di benak ini dia tadi bertengger. Susah payah kucari-cari, tak ketemu juga. Tidak pula peninggalan barang sepatah, dua patah kata perpisahan. Tak tahu adat ini ilham.

Ilham, oh ilham, ke mana gerangan engkau mendarat? Semoga nasibmu lebih baik dari MH370.
Salam, Setjoeil Asa.

27 Maret 2014, di bawah pengaruh "Lapar". Sungguh ingin kubakar saja buku ini, tapi maaf saja jika harus meminum abunya yang dicampur dengan air. Tidak! Tidak akan pernah! Ya, ya aku rasa aku tahu kenapa orang ini dapat Nobel. Iri? Siapa bilang aku iri? Bajingan mana yang tidak iri kalau membaca buku seperti ini...

Jumat, 07 Maret 2014

Si anak laki-laki bilang kalau dia lagi perang dengan pengedar candu. Aku tanya siapa?
Lebih tepatnya apa, katanya, koran adalah candu. Tajuk rencana: harus bisa berhenti baca itu tiap siang sehabis bangun tidur pagi.
Hari ini tajuk rencana cerita tentang betapa kaya dan dermawannya negara ini. Dia, negara yang katanya gemah ripah loh jinawi ini bagi-bagi 7 triliun (sial! berapa ya nolnya ya?) lebih buat orang-orang yang punya bank, apa itu namanya, entahlah, semua orang sudah lupa. Dua orang diantaranya bukan orang pribumi katanya.
Negara ini kasih duit sebegitu banyaknya (eh, triliun itu banyak, kan?) ke segelintir orang--yang entah siapa itu mereka--bisa, tapi kasih makan ke 21 juta rakyatnya yang perutnya keroncongan kok nggak mau ya? Apa duit yang digelontorkan buat itu harus lebih deras lagi?
Atau, atau sekolahkan saja 11 juta anak itu, biar melek aksara. Bagaimana negara? 7 triliun lagi buat itu tak masalah tentunya, kan?
Oh, atau lagi, bangun rusunawa saja lagi. Di tempat yang bukan semacam pinggir sungai atau pinggir rel kereta api atau pinggir kuburan atau pinggir jurang kematian...

setjoeil asa, tulisan yang masih harus banyak direvisi (bajingan, revisi: benci kata itu)
oh, lupa tentang si tukang cukur rambut yang pandai marketing, atau kasarnya susah tutup mulut...