Senin, 06 Maret 2017

KELONTONG



 Ada yang datang. Rizal hampir selalu mengartikan irama gesekan sandal dengan batako yang mendekat sebagai pembeli. Seringkali dia beralih dari bacaannya, hanya untuk mendapati irama itu lewat, terus memelan seiring langkah menjauh, sampai akhirnya hilang saat perhatiannya kembali ditelan bacaannya.
Irama itu untuk selang beberapa waktu tak lagi muncul. Dia duduk di belakang meja, yang kalau dilihat dari tata letak ruangan itu, pastilah dimaksudkan sebagai meja kasir. Terbenam dalam lembaran koran, dia kurang sadar Aji masuk ke dalam warung. Aji melintas di antara dua etalase, salah satunya berangka kayu dan sudah berumur, lalu berhenti di depan etalase mungil yang memajang rokok-rokok. Kaos polo coklat bergaris putih tipis dan celana kolor biru membalut badannya.
"Djarum papat1," pintanya, "White Koffie siji2."
Aji menyodorkan tiga lembar dua ribuan. Dua ribuan lagi ada di puncak populasinya. Laci meja kasir mewakili keadaan ini dengan perbandingan yang kurang wajar antara dua ribuan dengan uang lain.
Aji mengambil bungkus Djarum isi 16 yang sudah dibuka di tingkat dasar etalase mungil, lalu menarik empat batang rokok dari situ. Sementara Rizal mengambil rentengan White Koffie dari tingkat dua etalase besar. Etalase besar itu memanggul etalase mungil, seperti  ayah yang baik hati mendudukkan anak balitanya di bahu.
“Pas,” kata Rizal, melihat Aji masih berdiri di depannya.
“Eh, iya ya naik. Lupa.” Setelah mendapat apa yang dimauinya, Aji berjalan keluar, sama heningnya seperti saat masuk. Dia menuruni tiga anak tangga teras, kemudian kaki telanjangnya beradu dengan batako.
Di atas meja kasir, bersebelahan dengan timbangan, koran memampang halaman terbelakang. Ada berita tentang Robert dan Michael yang berhasil masuk Forbes.
Beberapa pembeli datang saat Rizal asyik mengisi teka-teki silang di koran. Salah satunya anak usia Taman Kanak-kanak. “Rokoknya dua sama jajan,” katanya pelan. Anak perempuan itu cuma lebih tinggi sekepala ketimbang meja kasir. Tangannya menggapai-gapai ke atas meja. Salah satunya menjatuhkan dua lembar uang kertas.
“Jajannya yang di kulkas boleh nggak?”
Rizal menarik dua batang rokok dari bungkusnya, meletakkan di atas meja terus berjalan ke kulkas pamer. Dia mengambil minuman gelas seribuan, dan meletakkannya di meja. Anak itu terus mengekor saat Rizal mondar-mandir. Lagi-lagi dua ribuan. Rizal memberikan uang kembalian.
Rizal kembali asyik dengan teka-teki silang. Nomor 9 mendatar sembilan kotak, pemodal. Kotak pertama sudah diisi oleh ‘K’. Kotak keempat dan keenam adalah huruf kedua jawaban 4 dan 5 menurun, ‘I’ dan ‘A’. Kotak terakhir ‘S’, huruf pertama jawaban pertanyaan 10 menurun, ‘sebelum bernama SD’. ‘KAPITALIS’, ia isikan huruf-huruf kapital itu ke dalam kotak, satu untuk tiap kotak.
Sementara itu di cakruk yang berseberangan dengan warung, tukang sayur sedang melayani dua pembeli, ibu Aji dan ibu Rizal. Ibu-ibu itu mengorbol tentang anak perempuan tetangga mereka yang masih SMP, Rika. Rumah ibu-ibu itu mengapit rumah Rika.
Ketimbang obrolan, ini lebih cocok disebut monolog ibu Aji. Rizal bisa mendengar dengan lumayan jelas dari tempatnya duduk. Ibu Aji bercerita tentang kejadian kemarin. Dia mau membeli sesuatu di warung. Dia berjalan lewat depan rumah Rika. Dari dalam rumah, dia mendengar cekakak-cekikik. Suara tawa laki-laki dan perempuan.
Ibu Rizal sesekali meningkahi monolog ini dengan pertanyaan ke mbak Sri si tukang sayur tentang harga cabai atau jamu kunir asem dan pertanyaan semacam itu.
Karena curiga campur penasaran, ibu Aji mengetuk pintu rumah Rika. Berkali-kali ketukan, dan tak ada sambutan. Malahan suara tawa tertahan itu lagi-lagi kedengaran. Dia menelusuri bunyi itu, yang asalnya dari kamar depan. Kali ini diketuk-ketuknya kaca jendela kamar itu. Cekikik itu lenyap. Entah untuk berapa lama berselang senyap.
Dia kembali ke pintu depan, dan mengetuknya lagi. Kali ini, dia juga memanggil-manggil nama Rika. Selang sebentar, pintu terbuka.
“Pergi,” jawab Rika saat ibu Aji bertanya ke mana ibunya dan adik perempuannya. Cuma satu kata lagi keluar dari mulut Rika, yakni teman. Untuk menjawab pertanyaan berikutnya, sama siapa di rumah.
Ibu Aji memberi saran, sebaiknya temannya pulang dulu. Besok boleh datang lagi, waktu Rika tidak sendirian di rumah.
Lekas-lekas teman Rika keluar rumah. Bocah laki-laki itu berjalan menunduk di bawah tatapan menyidik ibu Aji. Dia menghampiri sepeda yang tergeletak di teras. Setelah mendirikannya dan menuntunnya ke jalan, si bocah mengayuh sepedanya, menjauh sebelum disebut tertuduh.
Ada jeda dalam monolog itu. Ibu Rizal pamit balik ke rumahnya. Mbak Sri mengajak sepeda motornya melanjutkan pencaharian. Ibu Aji baru mau melanjutkan bercerita tapi melihat para pendengarnya pergi, akhirnya dia ikutan pulang, tanpa seikat sayuran pun di tangan.
Hafis masuk saat jam dinding di warung kelontong menunjukkan pukul empat belas lebih. “Tuku opo, Lik?”3 tanyanya ketika dia melihat Fendi juga ada di situ.
“Bayar pulsa,” jawab Fendi.
“Kopi, Zal” pinta Hafiz.
“Cilik po gede?”
Hafiz bertanya harga keduanya dan memutuskan untuk membeli yang besar. Sebelum Hafiz dan Fendi keluar, mereka bertiga mengobrol sebentar. Obrolan tentang mencari pekerjaan, lowongan, panggilan, tes, wawancara, job fair dan hal lain seputar itu. Obrolan singkat.
Dan Rizal duduk lagi di belakang meja kasir. Dia membuka buku dan larut di dalamnya, entah untuk waktu berapa lama.
Dia mendongak ke arah jam dinding. Terus diambilnya pembatas buku, menyelipkannya di antara halaman-halaman terakhir yang dibacanya, dan menutup buku itu.
Lalu, dia berjalan ke pekarangan belakang. Dia mengambil gembor, dan mengisinya dengan air kolam yang dia ambil mengunakan ember bekas cat dinding. Saat ember itu dicelupkan ke air kolam yang kehijauan-hijauan, ikan-ikan nila yang semula berenangan di permukaan kolam menyelam lebih dalam.
Dia membawa gembor yang hampir penuh itu ke depan rumah. Di sana, air mencurah dari ujung kepala gembor, menyirami tanaman-tanaman di dalam pot yang ditaruh di atas selokan yang ditutup. Dia menyeberangi jalan dan menyirami deretan tanaman di sisi itu, tapi baru sampai tengah deretan, air di dalam gembor sudah habis.
Rizal berbalik untuk mengisi gembor dan dia melihat Ifa duduk di depan toko rotinya. Ifa juga tengah melihat Rizal.
Dia berdiri, lalu berjalan menghampiri Rizal. Mulutnya mengunyah roti. Tangan kanannya memegang sebongkah roti yang setengah terkunyah. Tangan kirinya memegang kantong kertas. Jalannya agak pelan dan malas, seperti orang yang merasa mempunyai seluruh waktu luang di dunia ini.
“Nih,”  masih dibaluri samar aroma khas roko roti, Ifa menyodorkan tangan kiri yang menggenggam kantong kertas, “buat pegiat lingkungan kawasan sini.”
Rizal menerima bungkusan itu, lalu membukanya. “Resep baru?” Dia mengambil roti dari dalam bungkusan dan memakannya.
Mereka berdua duduk di cakruk. Ifa menjelaskan roti segenggaman orang dewasa itu. Dia ingin membuat roti yang harganya seribuan. Roti yang terjangkau anak-anak di sekitar situ. “Jadi anak-anak nggak cuma beli jajanan nggak jelas di warung itu,” selorohnya sambil mendongakkan dagu ke arah warung kelontong di depannya.
“Ah, jadi kamu pengin usaha turun-temurun ini gulung tikar?”
“Oh, iya. Sarinah sudah mau selesai,” katanya tiba-tiba membelokkan topik.
“Eh. Bagus, kan?”
“Lumayan. Kemarin, aku lihat bukunya Sir Arthur Conan Doyle. Tebalnya, ampun, deh. Mungkin setebal buku telepon se-Indonesia digabung.”
“Sherlock?”
“Kayaknya kumpulan tulisannya.”
“Aku lagi baca bukunya Conan Doyle.”
“Sejak kapan suka cerita detektif?”
“Bukan yang detektif. Ceritanya tentang petualangan di Amazon. Hutan yang katanya setiap empat puluh lima menit, luasnya berkurang seukuran lapangan bola.”
“Pantas saja orang-orang Brazil pada jago main bola, ya?”
Di sebelah kanan mereka, selisih dua rumah dari cakruk, Avansa perak terparkir. Ada anak laki-laki celingak-celinguk di sampingnya. Anak itu berjalan ke buritan mobil, lalu melongok ke belakangnya. Di sisi sebaliknya, ada dua anak lain berjalan ke arah depan. Saat anak yang pertama tadi melihat ke belakang mobil, dua anak yang lain, sambil menahan tawa, melongoknya dari depan mobil. Salah seorang tak kuasa membendung tawa dan pecahlah tawanya. Dalam sekejap anak yang tadi celingukan berbalik dan melihat dua temannya itu.
Gadis kecil kurir tembakau—begitu, Rizal sering menyebutnya—duduk termangu dan menonton anak-anak itu dari depan rumahnya. Satu gelas plastik tergeletak di dekatnya.
 “Kota ini juga bakalan jadi hutan,” kata Rizal
“Eh?”
“Hutan Beton.”
“Memangnya belum, ya?”
Obrolan mereka dipotong oleh lambaian tangan teman Ifa dari toko roti. “Kalau sudah selesai baca, barter ya?” kata Ifa sambil berdiri.
“Ya.”
Rizal kembali ke pekarangan belakang untuk mengambil air. Masih ada setengah deret tanaman kehausan.
Dia sudah membereskan urusannya dengan tanaman di depan rumah. Sekarang dia menenteng keranjang sampah ke pekarangan belakang. Dia membuang isinya, sampah organik, ke lubang yang beberapa hari lalu digalinya. Lubang itu sudah hampir penuh dengan sampah. Lubang yang digalinya memang tidak terlalu dalam.
Dia melihat masih ada satu tempat lagi yang bisa digalinya untuk membuang sampah organik. Pekarangan itu tidak terlalu luas. Ada sebuah kolam yang ketiga tepinya diberi naungan. Di ketiga sisinya, pekarangan itu dibatasi oleh bangunan dan di sisi keempat, pagar bambu membatasinya dengan lapangan di bawah sana.
Salah satu tembok bangunan dijalari dolar berdaun kecil. Tanaman rambat berbunga ungu menjalari salah satu tiang dan rangka naungan. Kamboja dengan dua gerombolan bunga kuning, palem merah, jati berumur lima atau enam tahun, rumpun bambu jepang di salah satu sudut, adenium, anthurium dan tanaman-tanaman lain.
Rizal kembali ke dalam dan meletakkan keranjang sampah tadi di dapur. Lalu dia mengambil keranjang sampah yang satunya, dan menentengnya ke luar. Dia memindahkan sampah di keranjang itu ke tempat sampah yang ada di depan rumah.
Malamnya, Rizal bersepeda. Hampir dua jam sebelum tengah malam. Jalanan sudah mulai sepi. Ada sepeda motor menyalipnya. Di depannya, si pengemudi membuang puntung rokok yang masih berpijar. Tempias merah kekuning-kuningan merebak dari titik puntung rokok menabrak aspal.
Di ujung jalan dia bertemu dengan pertigaan. Di salah satu tepi jalan, beberapa orang sedang memugar tenda terpal tempat mereka berjualan sate. Di sisi jalan yang lain, seseorang bersiap mendorong pulang gerobak. Gerobak yang mengangkut sedikit kacang godok.
Waktu sore hingga awal malam, tukang batagor biasa memangkal di samping tukang sate. Dua hari yang lalu Rizal dan Arya mampir ke sana. Dengan dua meja dan empat kursi, si tukang batagor menyulap trotoar sempit di depan toko perak itu menjadi tempat makan sederhana. Atap toko perak menaungi mereka dari siraman sinar lampu jalan.
Tukang sate menghisap rokok kretek seraya memasang telinga untuk menangkap sumpah serapah tentang ibukota yang keluar dari mulut istri tukang batagor.
“Lah, di sana es teh empat ribu,” katanya sambil mengibas-ngibaskan tangan di atas tubuh anaknya yang terbaring lelap di sampingnya, “banyak nyamuk lagi.” Rentetan sumpah serapah yang hilang ditelan deru kendaraan bermotor.
Entah berapa banyak sepeda motor lalu lalang di jalanan. Sambil menunggu pesanan, Rizal dan Arya menghitung berapa sepeda kayuh yang lewat.
Warung mi ayam dan bakso di sebelah mereka lumayan ramai waktu itu. Suatu kali, seseorang keluar dari warung itu. Dia meremas-remas kantong plastik hitam, terus melemparnya ke arah keranjang sampah. Lemparannya kurang jitu. Kantong plastik itu mengenai sisi keranjang dan jatuh di sudut bertemunya aspal dan trotoar. Orang itu balik badan dan masuk ke warung.
Di seberang jalan, jemari tukang roti lagi asyik menari bersama adonan roti. Membagi-bagi adonan menjadi bulat-bulat sesuai ukuran dan berat yang dimauinya. Adegan itu terlihat jelas lewat kaca depan besar toko roti ini. Perempuan pembuat roti ini seperti sedang tampil dalam sebuah acara memasak di televisi.
Rizal sampai di angkringan Pak Mahmud. Ada beberapa sepeda motor terparkir di sebelah angkringan. Dia meneliti, yang mana sepeda motor Arya. Setelah memastikan kalau itu sepeda motor Arya, dia menyandarkan sepedanya ke sepeda motor itu.
Arya dan Wicak duduk beralaskan tiga tikar kecil lusuh yang diatur seadanya di sebelah lain angkringan. Dua gelas jeruk hangat ada di hadapan mereka. Rizal memesan segelas jeruk hangat dan bergabung dengan mereka.
Uap keluar dari cerek di atas anglo berarang membara. Suara percakapan penuh semangat bapak-bapak. Mereka duduk di dipan depan rolling door toko perak yang buka sepanjang hari. Hampir setiap malam halaman toko ini menjadi area kekuasaan Pak Mahmud.
Tak jauh dari situ, tukang nasi goreng sedang memasak magelangan pesanan mereka bertiga. Api merah biru kompor gas menjilat-jilat bagian bawah wajan yang sudah gosong. Angin membawa aroma bawang dan bumbu lain sesukanya. Bau yang menggelitik hidung-hidung yang dilewatinya tanpa permisi. Raung sepeda motor meningkah suara kompor gas yang dibesar-kecilkan dengan ritmis dan bentrokan sutil dengan wajan.
"Permisi mas," ada orang yang mau lewat. Rizal memajukan badan dan orang itu lewat dibelakangnya. Lalu, dia duduk di atas tikar yang tak kalah lusuh dari yang Rizal duduki. Entah dari mana, dia mengeluarkan satu buku, dan mulai membaca.
"Ini yang nggak pedas," kata tukang nasi goreng. Tiga porsi magelangan siap disantap.
"Dia kejar setoran bet," Arya mulai bercerita. "Tiga puluh."
"Juta?" tanya Rizal heran.
"Awalnya dia pasang satu atau dua juta," sambil menyantap magelangan, Arya meneruskan cerita, "kalah. Terus pengin pasang lagi. Nah, waktu itu kebetulan ayahnya titip tiga puluh juta di rekeningnya. Nggak tahu bagaimana semuanya ludes. Tiga puluh juta itu duit jual tanah. Dia bilang ke bosnya. Jujur. Bosnya mau bantu. Dia dipinjami duit. Gantinya tiap bulan gajinya dipotong lima ratus ribu buat bayar pinjaman itu. Bosnya sempat bilang, 'kamu itu kalau main yang begituan, anggap saja seperti main di timezone atau apalah, cuma hiburan.'"
Setelah santap malam, percakapan mereka berkisar masa SD. Percakapan tentang kampret4 yang secerdik kancil sewaktu mengelabui anak-anak, pelajaran olahraga dan menggambar, dan cerita-cerita hasil perasan kenangan lainnya. Di sela-sela percakapan, mereka asyik sendiri dengan telepon pintar masing-masing.
"Hai, Ya?" Wicak bertanya  ke Arya soal teman sekampus. Arya baru menengok di panggilan kedua atau ketiga. Di panggilan lain, dia bahkan bergeming, tidak menengok, menyarangkan tatapannya ke layar telepon seluler android-nya. Wicak tampak canggung.
“Kemarin bagaimana?” tiba-tiba Arya bertanya, “ketemu, kan?”
Kemarin, Rizal dan Wicak pergi berboncengan dengan sepeda motor. Mereka mencari tempat yang disinggung Arya tadi.
Jemari kanan Wicak menarik tuas rem, berbarengan dengan kaki kanannya menginjak pedal rem. Rintihan datang dari salah satu rem. Entah depan atau belakang. Roda depan berhenti beberapa senti di depan garis putih. “Harus ganti kampas rem, nih!” kata Rizal.
Ada pesan singkat masuk ke telepon genggam Rizal. Bunyi pesan itu: “ring road, sakdurunge bangjo Jakal, belok kiri.”5 Rizal menyampaikannya ke Wicak.
Di depan mereka, lintasan penyeberangan pudar menjadi lantai dansa dua anak lelaki. Musik etnik menguar dari perkakas elektronis sederhana di atas trotoar sempit. Bertelanjang kaki, diiringi musik, mereka menarikan tarian tradisional.
Langit berawan, tapi suhu lumayan panas. Sudah dua hari hujan tidak turun. Padahal sejak mulai turun pertama kali tahun ini, hujan kelihatan tak bosan-bosannya turun, membasahi semua yang disentuhnya. Tak lepas pula aspal yang sudah lebih dari enam bulan dididihkan terik matahari.
Di ujung pembagi jalan dari arah barat, tampak dua orang berseragam polisi. Mereka bercakap-cakap seraya memerhatikan sekitar.
Dari belakang Wicak dan Rizal muncul sepeda motor, berhenti di aspal bercat hijau. Satu lagi muncul, berhenti di zebra cross.
Saat lampu lalu lintas sudah mengizinkan kendaraan-kendaraan dari arah timur menghambur keluar dari jeratan sesaatnya, salah satu bocah tadi, yang lebih tinggi, menyambangi para pengendara sambil menyodorkan wadah plastik kosong. Dan tetap kosong hingga bocah yang lain, yang lebih bersemangat berjoget, minggir seolah-olah memberi jalan pada kendaraan-kendaraan dari arah selatan berpacu ke Lembah.
Di sudut barat daya perempatan ada pom bensin yang memajang angka 8.500 di sebelah tulisan ‘premium. Banyak juga kendaraan pada antri di sana.
Lepas tengah malam, angkringan Pak Mahmud mulai sepi. Rizal pulang dengan menyusuri kembali jalan berangkatnya tadi. Sampai, di depannya ada laki-laki mengayuh becak. Dia mengayuh becaknya begitu pelan. Bangku penumpang diisi sejibun rongsokan.
Becak ini menguntit perempuan. Dengan karung tersampir di bahu, si perempuan berjalan merunduk, seolah karung itu berisi seluruh beban hidup.
Kemudian, dia berhenti di depan bangunan yang sedang dibangun. Di trotoar ada timbunan puing. Dia mengais-ngais puing-puing dan menemukan selembar kardus kumal. Dia memungutnya—kardus kumal yang bahkan setan paling kreatif pun tak bakal punya akal akan diapakan—lalu memasukkannya ke karung. Dia kembali berjalan di bawah guyuran jingga lampu jalan. Laki-laki pengayuh becak setia menguntit.
Akhirnya, Rizal berbaring di kamar. Matanya terkatup tapi belum tertidur. Dia membayangkan esok. Atau nanti? Dia duduk di kursi yang sama. Di belakang meja yang sama. Dengan bacaan yang sama.


TAMAT -














1: empat
2: satu
3: “Beli apa?”               
4: penjual mainan anak

5: “Jalan Lingkar, sebelum lampu lalu lintas Jakal, belok kiri.”

0 komentar:

Posting Komentar