Ada
yang datang. Rizal hampir selalu mengartikan irama gesekan sandal dengan batako
yang mendekat sebagai pembeli. Seringkali dia beralih dari bacaannya, hanya
untuk mendapati irama itu lewat, terus memelan seiring langkah menjauh, sampai
akhirnya hilang saat perhatiannya kembali ditelan bacaannya.
Irama itu untuk selang beberapa waktu
tak lagi muncul. Dia duduk di belakang meja, yang kalau dilihat dari tata letak
ruangan itu, pastilah dimaksudkan sebagai meja kasir. Terbenam dalam lembaran
koran, dia kurang sadar Aji masuk ke dalam warung. Aji melintas di antara dua
etalase, salah satunya berangka kayu dan sudah berumur, lalu berhenti di depan
etalase mungil yang memajang rokok-rokok. Kaos polo coklat bergaris putih tipis
dan celana kolor biru membalut badannya.
"Djarum papat1," pintanya, "White Koffie siji2."
Aji menyodorkan tiga lembar dua ribuan.
Dua ribuan lagi ada di puncak populasinya. Laci meja kasir mewakili keadaan ini
dengan perbandingan yang kurang wajar antara dua ribuan dengan uang lain.
Aji mengambil bungkus Djarum isi 16 yang
sudah dibuka di tingkat dasar etalase mungil, lalu menarik empat batang rokok
dari situ. Sementara Rizal mengambil rentengan White Koffie dari tingkat dua
etalase besar. Etalase besar itu memanggul etalase mungil, seperti ayah yang baik hati mendudukkan anak balitanya
di bahu.
“Pas,” kata Rizal, melihat Aji masih
berdiri di depannya.
“Eh, iya ya naik. Lupa.” Setelah
mendapat apa yang dimauinya, Aji berjalan keluar, sama heningnya seperti saat
masuk. Dia menuruni tiga anak tangga teras, kemudian kaki telanjangnya beradu
dengan batako.
Di atas meja kasir, bersebelahan dengan
timbangan, koran memampang halaman terbelakang. Ada berita tentang Robert dan
Michael yang berhasil masuk Forbes.
Beberapa pembeli datang saat Rizal asyik
mengisi teka-teki silang di koran. Salah satunya anak usia Taman Kanak-kanak.
“Rokoknya dua sama jajan,” katanya pelan. Anak perempuan itu cuma lebih tinggi
sekepala ketimbang meja kasir. Tangannya menggapai-gapai ke atas meja. Salah
satunya menjatuhkan dua lembar uang kertas.
“Jajannya yang di kulkas boleh nggak?”
Rizal menarik dua batang rokok dari
bungkusnya, meletakkan di atas meja terus berjalan ke kulkas pamer. Dia
mengambil minuman gelas seribuan, dan meletakkannya di meja. Anak itu terus
mengekor saat Rizal mondar-mandir. Lagi-lagi dua ribuan. Rizal memberikan uang
kembalian.
Rizal kembali asyik dengan teka-teki
silang. Nomor 9 mendatar sembilan kotak, pemodal. Kotak pertama sudah diisi
oleh ‘K’. Kotak keempat dan keenam adalah huruf kedua jawaban 4 dan 5 menurun,
‘I’ dan ‘A’. Kotak terakhir ‘S’, huruf pertama jawaban pertanyaan 10 menurun,
‘sebelum bernama SD’. ‘KAPITALIS’, ia isikan huruf-huruf kapital itu ke dalam
kotak, satu untuk tiap kotak.
Sementara itu di cakruk yang
berseberangan dengan warung, tukang sayur sedang melayani dua pembeli, ibu Aji
dan ibu Rizal. Ibu-ibu itu mengorbol tentang anak perempuan tetangga mereka
yang masih SMP, Rika. Rumah ibu-ibu itu mengapit rumah Rika.
Ketimbang obrolan, ini lebih cocok
disebut monolog ibu Aji. Rizal bisa mendengar dengan lumayan jelas dari
tempatnya duduk. Ibu Aji bercerita tentang kejadian kemarin. Dia mau membeli
sesuatu di warung. Dia berjalan lewat depan rumah Rika. Dari dalam rumah, dia mendengar
cekakak-cekikik. Suara tawa laki-laki dan perempuan.
Ibu Rizal sesekali meningkahi monolog
ini dengan pertanyaan ke mbak Sri si tukang sayur tentang harga cabai atau jamu
kunir asem dan pertanyaan semacam
itu.
Karena curiga campur penasaran, ibu Aji mengetuk
pintu rumah Rika. Berkali-kali ketukan, dan tak ada sambutan. Malahan suara
tawa tertahan itu lagi-lagi kedengaran. Dia menelusuri bunyi itu, yang asalnya
dari kamar depan. Kali ini diketuk-ketuknya kaca jendela kamar itu. Cekikik itu
lenyap. Entah untuk berapa lama berselang senyap.
Dia kembali ke pintu depan, dan
mengetuknya lagi. Kali ini, dia juga memanggil-manggil nama Rika. Selang
sebentar, pintu terbuka.
“Pergi,” jawab Rika saat ibu Aji
bertanya ke mana ibunya dan adik perempuannya. Cuma satu kata lagi keluar dari
mulut Rika, yakni teman. Untuk menjawab pertanyaan berikutnya, sama siapa di
rumah.
Ibu Aji memberi saran, sebaiknya
temannya pulang dulu. Besok boleh datang lagi, waktu Rika tidak sendirian di
rumah.
Lekas-lekas teman Rika keluar rumah.
Bocah laki-laki itu berjalan menunduk di bawah tatapan menyidik ibu Aji. Dia
menghampiri sepeda yang tergeletak di teras. Setelah mendirikannya dan
menuntunnya ke jalan, si bocah mengayuh sepedanya, menjauh sebelum disebut
tertuduh.
Ada jeda dalam monolog itu. Ibu Rizal
pamit balik ke rumahnya. Mbak Sri mengajak sepeda motornya melanjutkan pencaharian.
Ibu Aji baru mau melanjutkan bercerita tapi melihat para pendengarnya pergi,
akhirnya dia ikutan pulang, tanpa seikat sayuran pun di tangan.
Hafis masuk saat jam dinding di warung
kelontong menunjukkan pukul empat belas lebih. “Tuku opo, Lik?”3 tanyanya ketika dia melihat Fendi juga
ada di situ.
“Bayar pulsa,” jawab Fendi.
“Kopi, Zal” pinta Hafiz.
“Cilik po gede?”
Hafiz bertanya harga keduanya dan
memutuskan untuk membeli yang besar. Sebelum Hafiz dan Fendi keluar, mereka
bertiga mengobrol sebentar. Obrolan tentang mencari pekerjaan, lowongan, panggilan,
tes, wawancara, job fair dan hal lain
seputar itu. Obrolan singkat.
Dan Rizal duduk lagi di belakang meja
kasir. Dia membuka buku dan larut di dalamnya, entah untuk waktu berapa lama.
Dia mendongak ke arah jam dinding. Terus
diambilnya pembatas buku, menyelipkannya di antara halaman-halaman terakhir
yang dibacanya, dan menutup buku itu.
Lalu, dia berjalan ke pekarangan
belakang. Dia mengambil gembor, dan mengisinya dengan air kolam yang dia ambil
mengunakan ember bekas cat dinding. Saat ember itu dicelupkan ke air kolam yang
kehijauan-hijauan, ikan-ikan nila yang semula berenangan di permukaan kolam
menyelam lebih dalam.
Dia membawa gembor yang hampir penuh itu
ke depan rumah. Di sana, air mencurah dari ujung kepala gembor, menyirami
tanaman-tanaman di dalam pot yang ditaruh di atas selokan yang ditutup. Dia
menyeberangi jalan dan menyirami deretan tanaman di sisi itu, tapi baru sampai
tengah deretan, air di dalam gembor sudah habis.
Rizal berbalik untuk mengisi gembor dan
dia melihat Ifa duduk di depan toko rotinya. Ifa juga tengah melihat Rizal.
Dia berdiri, lalu berjalan menghampiri
Rizal. Mulutnya mengunyah roti. Tangan kanannya memegang sebongkah roti yang
setengah terkunyah. Tangan kirinya memegang kantong kertas. Jalannya agak pelan
dan malas, seperti orang yang merasa mempunyai seluruh waktu luang di dunia
ini.
“Nih,” masih dibaluri samar aroma khas roko roti, Ifa
menyodorkan tangan kiri yang menggenggam kantong kertas, “buat pegiat
lingkungan kawasan sini.”
Rizal menerima bungkusan itu, lalu
membukanya. “Resep baru?” Dia mengambil roti dari dalam bungkusan dan
memakannya.
Mereka berdua duduk di cakruk. Ifa
menjelaskan roti segenggaman orang dewasa itu. Dia ingin membuat roti yang
harganya seribuan. Roti yang terjangkau anak-anak di sekitar situ. “Jadi
anak-anak nggak cuma beli jajanan nggak jelas di warung itu,” selorohnya sambil
mendongakkan dagu ke arah warung kelontong di depannya.
“Ah, jadi kamu pengin usaha
turun-temurun ini gulung tikar?”
“Oh, iya. Sarinah sudah mau selesai,”
katanya tiba-tiba membelokkan topik.
“Eh. Bagus, kan?”
“Lumayan. Kemarin, aku lihat bukunya Sir
Arthur Conan Doyle. Tebalnya, ampun, deh. Mungkin setebal buku telepon
se-Indonesia digabung.”
“Sherlock?”
“Kayaknya kumpulan tulisannya.”
“Aku lagi baca bukunya Conan Doyle.”
“Sejak kapan suka cerita detektif?”
“Bukan yang detektif. Ceritanya tentang
petualangan di Amazon. Hutan yang katanya setiap empat puluh lima menit,
luasnya berkurang seukuran lapangan bola.”
“Pantas saja orang-orang Brazil pada
jago main bola, ya?”
Di sebelah kanan mereka, selisih dua
rumah dari cakruk, Avansa perak terparkir. Ada anak laki-laki celingak-celinguk
di sampingnya. Anak itu berjalan ke buritan mobil, lalu melongok ke
belakangnya. Di sisi sebaliknya, ada dua anak lain berjalan ke arah depan. Saat
anak yang pertama tadi melihat ke belakang mobil, dua anak yang lain, sambil
menahan tawa, melongoknya dari depan mobil. Salah seorang tak kuasa membendung
tawa dan pecahlah tawanya. Dalam sekejap anak yang tadi celingukan berbalik dan
melihat dua temannya itu.
Gadis kecil kurir tembakau—begitu, Rizal
sering menyebutnya—duduk termangu dan menonton anak-anak itu dari depan
rumahnya. Satu gelas plastik tergeletak di dekatnya.
“Kota
ini juga bakalan jadi hutan,” kata Rizal
“Eh?”
“Hutan Beton.”
“Memangnya belum, ya?”
Obrolan mereka dipotong oleh lambaian
tangan teman Ifa dari toko roti. “Kalau sudah selesai baca, barter ya?” kata
Ifa sambil berdiri.
“Ya.”
Rizal kembali ke pekarangan belakang
untuk mengambil air. Masih ada setengah deret tanaman kehausan.
Dia sudah membereskan urusannya dengan
tanaman di depan rumah. Sekarang dia menenteng keranjang sampah ke pekarangan
belakang. Dia membuang isinya, sampah organik, ke lubang yang beberapa hari
lalu digalinya. Lubang itu sudah hampir penuh dengan sampah. Lubang yang
digalinya memang tidak terlalu dalam.
Dia melihat masih ada satu tempat lagi
yang bisa digalinya untuk membuang sampah organik. Pekarangan itu tidak terlalu
luas. Ada sebuah kolam yang ketiga tepinya diberi naungan. Di ketiga sisinya,
pekarangan itu dibatasi oleh bangunan dan di sisi keempat, pagar bambu
membatasinya dengan lapangan di bawah sana.
Salah satu tembok bangunan dijalari
dolar berdaun kecil. Tanaman rambat berbunga ungu menjalari salah satu tiang
dan rangka naungan. Kamboja dengan dua gerombolan bunga kuning, palem merah,
jati berumur lima atau enam tahun, rumpun bambu jepang di salah satu sudut, adenium,
anthurium dan tanaman-tanaman lain.
Rizal kembali ke dalam dan meletakkan
keranjang sampah tadi di dapur. Lalu dia mengambil keranjang sampah yang
satunya, dan menentengnya ke luar. Dia memindahkan sampah di keranjang itu ke
tempat sampah yang ada di depan rumah.
Malamnya, Rizal bersepeda. Hampir dua
jam sebelum tengah malam. Jalanan sudah mulai sepi. Ada sepeda motor
menyalipnya. Di depannya, si pengemudi membuang puntung rokok yang masih
berpijar. Tempias merah kekuning-kuningan merebak dari titik puntung rokok
menabrak aspal.
Di ujung jalan dia bertemu dengan
pertigaan. Di salah satu tepi jalan, beberapa orang sedang memugar tenda terpal
tempat mereka berjualan sate. Di sisi jalan yang lain, seseorang bersiap
mendorong pulang gerobak. Gerobak yang mengangkut sedikit kacang godok.
Waktu sore hingga awal malam, tukang
batagor biasa memangkal di samping tukang sate. Dua hari yang lalu Rizal dan
Arya mampir ke sana. Dengan dua meja dan empat kursi, si tukang batagor
menyulap trotoar sempit di depan toko perak itu menjadi tempat makan sederhana.
Atap toko perak menaungi mereka dari siraman sinar lampu jalan.
Tukang sate menghisap rokok kretek
seraya memasang telinga untuk menangkap sumpah serapah tentang ibukota yang
keluar dari mulut istri tukang batagor.
“Lah, di sana es teh empat ribu,”
katanya sambil mengibas-ngibaskan tangan di atas tubuh anaknya yang terbaring
lelap di sampingnya, “banyak nyamuk lagi.” Rentetan sumpah serapah yang hilang
ditelan deru kendaraan bermotor.
Entah berapa banyak sepeda motor lalu
lalang di jalanan. Sambil menunggu pesanan, Rizal dan Arya menghitung berapa
sepeda kayuh yang lewat.
Warung mi ayam dan bakso di sebelah
mereka lumayan ramai waktu itu. Suatu kali, seseorang keluar dari warung itu.
Dia meremas-remas kantong plastik hitam, terus melemparnya ke arah keranjang
sampah. Lemparannya kurang jitu. Kantong plastik itu mengenai sisi keranjang
dan jatuh di sudut bertemunya aspal dan trotoar. Orang itu balik badan dan
masuk ke warung.
Di seberang
jalan, jemari tukang roti lagi asyik menari bersama adonan roti. Membagi-bagi
adonan menjadi bulat-bulat sesuai ukuran dan berat yang dimauinya. Adegan itu
terlihat jelas lewat kaca depan besar toko roti ini. Perempuan pembuat roti ini
seperti sedang tampil dalam sebuah acara memasak di televisi.
Rizal sampai
di angkringan Pak Mahmud. Ada beberapa sepeda motor terparkir di sebelah
angkringan. Dia meneliti, yang mana sepeda motor Arya. Setelah
memastikan kalau itu sepeda motor Arya, dia menyandarkan sepedanya ke sepeda
motor itu.
Arya dan Wicak duduk beralaskan tiga
tikar kecil lusuh yang diatur seadanya di sebelah lain angkringan. Dua gelas
jeruk hangat ada di hadapan mereka. Rizal memesan segelas jeruk hangat dan
bergabung dengan mereka.
Uap keluar dari cerek di atas anglo
berarang membara. Suara percakapan penuh semangat bapak-bapak. Mereka duduk di
dipan depan rolling door toko perak yang buka sepanjang hari. Hampir
setiap malam halaman toko ini menjadi area kekuasaan Pak Mahmud.
Tak jauh dari situ, tukang nasi goreng
sedang memasak magelangan pesanan mereka
bertiga. Api merah biru kompor gas menjilat-jilat bagian bawah wajan yang sudah
gosong. Angin membawa aroma bawang dan bumbu lain sesukanya. Bau yang
menggelitik hidung-hidung yang dilewatinya tanpa permisi. Raung sepeda motor meningkah suara
kompor gas yang dibesar-kecilkan dengan ritmis dan bentrokan sutil dengan
wajan.
"Permisi mas," ada orang yang
mau lewat. Rizal memajukan badan dan orang itu lewat dibelakangnya. Lalu, dia
duduk di atas tikar yang tak kalah lusuh dari yang Rizal duduki. Entah dari
mana, dia mengeluarkan satu buku, dan mulai membaca.
"Ini yang nggak pedas," kata
tukang nasi goreng. Tiga porsi magelangan siap disantap.
"Dia kejar setoran bet,"
Arya mulai bercerita. "Tiga puluh."
"Juta?" tanya Rizal heran.
"Awalnya dia pasang satu atau dua
juta," sambil menyantap magelangan, Arya meneruskan cerita, "kalah.
Terus pengin pasang lagi. Nah, waktu itu kebetulan ayahnya titip tiga puluh
juta di rekeningnya. Nggak tahu bagaimana semuanya ludes. Tiga puluh juta itu
duit jual tanah. Dia bilang ke bosnya. Jujur. Bosnya mau bantu. Dia dipinjami
duit. Gantinya tiap bulan gajinya dipotong lima ratus ribu buat bayar pinjaman
itu. Bosnya sempat bilang, 'kamu itu kalau main yang begituan, anggap saja
seperti main di timezone atau apalah, cuma hiburan.'"
Setelah santap malam, percakapan mereka berkisar
masa SD. Percakapan tentang kampret4 yang secerdik kancil
sewaktu mengelabui anak-anak, pelajaran olahraga dan menggambar, dan cerita-cerita
hasil perasan kenangan lainnya. Di sela-sela percakapan, mereka asyik sendiri
dengan telepon pintar masing-masing.
"Hai, Ya?" Wicak bertanya
ke Arya soal teman sekampus. Arya baru menengok di panggilan kedua atau ketiga.
Di panggilan lain, dia bahkan bergeming, tidak menengok, menyarangkan
tatapannya ke layar telepon seluler android-nya. Wicak tampak canggung.
“Kemarin bagaimana?” tiba-tiba Arya
bertanya, “ketemu, kan?”
Kemarin, Rizal dan Wicak pergi berboncengan
dengan sepeda motor. Mereka mencari tempat yang disinggung Arya tadi.
Jemari kanan Wicak menarik tuas rem,
berbarengan dengan kaki kanannya menginjak pedal rem. Rintihan datang dari
salah satu rem. Entah depan atau belakang. Roda depan berhenti beberapa senti
di depan garis putih. “Harus ganti kampas rem, nih!” kata Rizal.
Ada pesan singkat masuk ke telepon
genggam Rizal. Bunyi pesan itu: “ring
road, sakdurunge bangjo Jakal, belok kiri.”5 Rizal menyampaikannya ke Wicak.
Di depan mereka, lintasan penyeberangan pudar menjadi lantai dansa dua
anak lelaki. Musik etnik menguar dari perkakas elektronis sederhana di atas
trotoar sempit. Bertelanjang kaki, diiringi musik, mereka menarikan tarian
tradisional.
Langit berawan,
tapi suhu lumayan panas. Sudah dua hari hujan tidak turun. Padahal sejak mulai
turun pertama kali tahun ini, hujan kelihatan tak bosan-bosannya turun,
membasahi semua yang disentuhnya. Tak lepas pula aspal yang sudah lebih dari
enam bulan dididihkan terik matahari.
Di ujung pembagi
jalan dari arah barat, tampak dua orang berseragam polisi. Mereka
bercakap-cakap seraya memerhatikan sekitar.
Dari belakang Wicak dan Rizal muncul
sepeda motor, berhenti di aspal bercat hijau. Satu lagi muncul, berhenti di zebra
cross.
Saat lampu lalu
lintas sudah mengizinkan kendaraan-kendaraan dari arah timur menghambur keluar
dari jeratan sesaatnya, salah satu bocah tadi, yang lebih tinggi, menyambangi
para pengendara sambil menyodorkan wadah plastik kosong. Dan tetap kosong
hingga bocah yang lain, yang lebih bersemangat berjoget, minggir seolah-olah
memberi jalan pada kendaraan-kendaraan dari arah selatan berpacu ke Lembah.
Di sudut barat
daya perempatan ada pom bensin yang memajang angka 8.500 di sebelah tulisan ‘premium’. Banyak juga kendaraan pada antri di
sana.
Lepas tengah malam, angkringan Pak Mahmud mulai sepi. Rizal pulang dengan menyusuri
kembali jalan berangkatnya tadi. Sampai, di depannya ada laki-laki mengayuh
becak. Dia mengayuh becaknya begitu pelan. Bangku penumpang diisi sejibun
rongsokan.
Becak ini menguntit perempuan. Dengan
karung tersampir di bahu, si perempuan berjalan merunduk, seolah karung itu
berisi seluruh beban hidup.
Kemudian, dia berhenti di depan bangunan
yang sedang dibangun. Di trotoar ada timbunan puing. Dia mengais-ngais puing-puing
dan menemukan selembar kardus kumal. Dia memungutnya—kardus kumal yang bahkan setan
paling kreatif pun tak bakal punya akal akan diapakan—lalu memasukkannya ke
karung. Dia kembali berjalan di bawah guyuran jingga lampu jalan. Laki-laki
pengayuh becak setia menguntit.
Akhirnya, Rizal berbaring di kamar.
Matanya terkatup tapi belum tertidur. Dia membayangkan esok. Atau nanti? Dia
duduk di kursi yang sama. Di belakang meja yang sama. Dengan bacaan yang sama.
- TAMAT -
1: empat
2: satu
3: “Beli apa?”
4: penjual mainan anak
5: “Jalan Lingkar, sebelum lampu lalu lintas Jakal,
belok kiri.”
0 komentar:
Posting Komentar