Selasa, 03 Oktober 2017

Kenal Wong Njero

Sakaratulmaut sungguh suatu misteri. Misteri kerap kali menarik rasa ingin tahu. Ergo, sakaratulmaut tak pernah basi diramu menjadi sebuah cerita. Dalam hal ini Rizal punya kisah. Bagi yang sudah pernah menyimak cerita-cerita Rizal, bisalah memaklumi bumbu-bumbu ironis, irasional maupun paradoksal yang ditabur ke adonan ceritanya...

         Pada suatu ketika yang belum begitu lampau—persepsi unik Rizal tentang waktu membuat kapan tepatnya cerita ini berlangsung menjadi buram; alih-alih Agustus atau September, mungkin Rizal akan bilang: saat pohon mangga mulai berbunga; meski perkiraan yang dapat ditarik setelah melihat nisan si sekarat dalam cerita ini menunjukkan saat itu Selasa Wage beberapa hari setelah tahun baru Jawa 1951—Rizal mendapati kawan sepermainan semenjak kanak-kanaknya tergolek di pembaringan untuk hari ketiga malam itu. Demi menjunjung asas perkawanan Rizal menolak membeber nama kawannya. Apa yang membawa si sekarat menyambut akhir hayat dalam kondisi menggenaskan? Sempat muncul desas-desus tentang santet atau klenik. Si sekarat memang dikenal sebagai orang pintar jempolan. Ada saja pejabat setempat yang meminta jasanya. Bisa jadi saingannya iri, lalu menyantetnya. Bagaimana bisa orang pintar jempolan kena sihir semudah itu, tak banyak yang menggubris; barangkali sebenarnya memang hampir tak ada yang memahami atau, paling tidak mau-tahu, bagaimana hidup bisa sekeparat itu buat si sekarat.
          Di pembaringan kawannya mengigau. Seperti pengakuan dosa, si kawan beleter dosa-dosanya masa kecil: bola sepak plastik agak kempes yang ditendangnya membobol kaca jendela Pak RT; menabrak pagar hidup tetangga saat latihan bersepeda; memanjat pohon jambu air tetangga dan mengambil buahnya tanpa izin, belimbing tetangga lain, mangga tetangga satunya lagi—ya, itu dulu perumahan dengan aneka ragam pohon buah di depan rumah-rumah, sekarang cuma ada mobil-mobil keluaran 2012 ke atas... Tak sampai hati Rizal membuka dosa-dosa lama lain si sekarat. Rizal yang memang sudah seperti berbagi hati dengan kawannya itu menangkap bahwa kawannya tak mati-mati sebab takut pintu surga tertutup untuk makhluk separuh terkutuk sepertinya.
      Arkian, Rizal berbisik ke telinga kawannya, kalau kawannya bisa mati dengan tenang. Ditambahinya—dengan nada ragu-ragu yang terlalu susah ditutupi—sebagai alasan: “Aku kenal Wong Njero.”
          Akhirnya dengan keikhlasan yang terpaksa, si kawan merelakan kesadaran, napas terakhir dan jiwanya ditarik serempak dari wadah fananya oleh Izrail. Selama menemani si sekarat, Rizal hampir yakin ada sosok di sudut kamar itu. Belakangan dia penasaran apakah sosok itu malaikat maut yang menunggu tiga hari berturut—sembari membaca buku Apa yang Tidak Kita Bicarakan Ketika Kita Berbicara Tentang Jiwa yang Sekarat; terus dilanjut Nyawa yang Dicabut Tak Pernah Membenci Malaikat Maut; barangkali dua buku best seller di kalangan malaikat maut.
         Semoga jiwa si mati tenang, di mana saja sekarang dia ada. Kalau-kalau ada yang penasaran, Rizal mengaku, nama orang dalamnya itu Malik.




0 komentar:

Posting Komentar