Sakaratulmaut sungguh suatu misteri. Misteri kerap kali
menarik rasa ingin tahu. Ergo,
sakaratulmaut tak pernah basi diramu menjadi sebuah cerita. Dalam hal ini Rizal
punya kisah. Bagi yang sudah pernah menyimak cerita-cerita Rizal, bisalah
memaklumi bumbu-bumbu ironis, irasional maupun paradoksal yang ditabur ke
adonan ceritanya...
Pada suatu ketika yang belum begitu lampau—persepsi unik
Rizal tentang waktu membuat kapan tepatnya cerita ini berlangsung menjadi buram;
alih-alih Agustus atau September, mungkin Rizal akan bilang: saat pohon mangga
mulai berbunga; meski perkiraan yang dapat ditarik setelah melihat nisan si
sekarat dalam cerita ini menunjukkan saat itu Selasa Wage beberapa hari setelah
tahun baru Jawa 1951—Rizal mendapati kawan sepermainan semenjak kanak-kanaknya
tergolek di pembaringan untuk hari ketiga malam itu. Demi menjunjung asas
perkawanan Rizal menolak membeber nama kawannya. Apa yang membawa si sekarat
menyambut akhir hayat dalam kondisi menggenaskan? Sempat muncul desas-desus
tentang santet atau klenik. Si sekarat memang dikenal sebagai orang pintar
jempolan. Ada saja pejabat setempat yang meminta jasanya. Bisa jadi saingannya
iri, lalu menyantetnya. Bagaimana bisa orang pintar jempolan kena sihir semudah
itu, tak banyak yang menggubris; barangkali sebenarnya memang hampir tak ada
yang memahami atau, paling tidak mau-tahu, bagaimana hidup bisa sekeparat itu
buat si sekarat.
Di pembaringan kawannya mengigau. Seperti pengakuan dosa, si
kawan beleter dosa-dosanya masa kecil: bola sepak plastik agak kempes yang
ditendangnya membobol kaca jendela Pak RT; menabrak pagar hidup tetangga saat
latihan bersepeda; memanjat pohon jambu air tetangga dan mengambil buahnya
tanpa izin, belimbing tetangga lain, mangga tetangga satunya lagi—ya, itu dulu
perumahan dengan aneka ragam pohon buah di depan rumah-rumah, sekarang cuma ada
mobil-mobil keluaran 2012 ke atas... Tak sampai hati Rizal membuka dosa-dosa
lama lain si sekarat. Rizal yang memang sudah seperti berbagi hati dengan
kawannya itu menangkap bahwa kawannya tak mati-mati sebab takut pintu surga
tertutup untuk makhluk separuh terkutuk sepertinya.
Arkian, Rizal berbisik ke telinga kawannya, kalau kawannya
bisa mati dengan tenang. Ditambahinya—dengan nada ragu-ragu yang terlalu susah
ditutupi—sebagai alasan: “Aku kenal Wong Njero.”
Akhirnya dengan keikhlasan yang terpaksa, si kawan merelakan
kesadaran, napas terakhir dan jiwanya ditarik serempak dari wadah fananya oleh
Izrail. Selama menemani si sekarat, Rizal hampir yakin ada sosok di sudut kamar
itu. Belakangan dia penasaran apakah sosok itu malaikat maut yang menunggu tiga
hari berturut—sembari membaca buku Apa
yang Tidak Kita Bicarakan Ketika Kita Berbicara Tentang Jiwa yang Sekarat;
terus dilanjut Nyawa yang Dicabut Tak
Pernah Membenci Malaikat Maut; barangkali dua buku best seller di kalangan malaikat maut.
Semoga jiwa si mati tenang, di mana saja sekarang dia ada. Kalau-kalau
ada yang penasaran, Rizal mengaku, nama orang dalamnya itu Malik.
0 komentar:
Posting Komentar