Jumat, 24 November 2017

Sisters by James Joyce (Sebuah Terjemahan yang Awut-awutan)

Saudari

Tiada lagi harapan baginya kali ini; itu adalah serangan stroke ketiganya. Malam demi malam, Aku melewati rumah itu (saat itu liburan) dan mengamati cahaya kotak dari jendela; dan malam demi malam Aku melihat cahaya yang sama, temaram dan tenang. Kalau dia mati, kurasa, Aku akan melihat bayangan lilin tergambar di tirai lantaran Aku tahu kalau dua lilin pasti diletakkan di dekat kepala si mati. Dia seringkali bilang kepadaku: “Aku tak akan lama di dunia ini,” dan kurasai kata-katanya senyap. Sekarang aku tahu itu memang betul. Tiap malam saat aku memandang ke jendela itu Aku berbisik ke diriku kata paralisis. Kata itu selalu saja kedengaran aneh di kuping, seperti kata gnomon dalam karya Euclid dan kata simony dalam Katekismus. Tapi sekarang kata itu kedengaran seperti nama makhluk buruk dan terkutuk.
Si tua Catter duduk di dekat perapian, merokok, saat Aku turun untuk makan. Waktu bibiku menyendokkan stirabout-ku Si Tua Catter bilang, seperti membantah ucapan sebelumnya:
“Tidak, Aku tak bilang dia tepatnya... tapi ada yang aneh... ada yang luar biasa dari dia. Akan kukatakan pendapatku...”

Dia mulai mengisap pipanya, tak ragu lagi sedang menyusun pendapat dalam benaknya. Si edan tua yang menjemukan! Waktu pertama kami mengenalnya dia sedikit lebih menarik, bercerita tentang faints dan worm; tapi Aku segera saja jemu dengannya dan cerita tak berujungnya tentang penyulingan.

“Aku punya teori sendiri soal itu,” katanya. “Kurasa itu salah satu dari... kasus khusus... Tapi sulit dikatakan...”

Dia mulai mengisap pipanya lagi tanpa memberitahu kami teorinya. Pamanku menatapku dan bilang ke aku:
“Nah, jadi kawan lamamu mati, kamu akan sedih mendengarnya.”

“Siapa?” kataku.

“Father Flynn.”

“Apa dia mati?”

“Pak Cotter barusan bilang ke kami. Dia lewat rumahnya tadi.”

Aku tahu kalau Aku lagi diamati jadi Aku lanjut makan seolah kabar itu tak menarik minatku. Pamanku menjelaskan ke Cotter tua.

“Anak muda ini dan orang itu sahabat baik. Lelaki tua itu mengajarinya banyak hal, asal anda tahu; dan agaknya dia berharap banyak kepada anak ini.”

“Tuhan ampunilah jiwanya,” kata bibiku khusyuk.

Cotter tua melihatku sejenak. Aku merasakan manik mata hitam kecilnya menjelajahiku tapi Aku tak akan membikin dia puas dengan mengangkat pandangan dari piringku. Dia kembali ke pipanya dan akhirnya meludah dengan kasar ke perapian.

“Aku tak akan suka anakku,” katanya, “berurusan dengan orang macam itu.”

“Maksud anda, Pak Cotter?” tanya bibiku

“Maksudku,” kata Cotter tua, “itu buruk buat anak-anak. Maksudku: biarlah anak muda berkegiatan dan main bareng anak muda sepantarannya dan tak... Iya kan, Jack?”

“Itu prinsipku, juga,” kata pamanku. “Biarlah dia belajar dengan menjalani hidup. Inilah yang selalu kukatakan ke si Rosicrusian itu: ambil ujian. Sebab, waktu Aku muda setiap pagi Aku mandi air dingin, musim dingin dan musim panas. Dan itulah yang kupegang sekarang. Pendidikan itu semuanya bagus dan luas... Pak Cotter silakan cicipi kaki kambing itu,” tambahnya ke bibiku.

“Tidak, tidak, tak usah,” kata Cotter tua.

Bibiku mengambil piring dari lemari dan meletakkannya di atas meja.

“Tapi kenapa anda pikir itu tak baik buat anak-anak, Pak Cotter?” Bibiku bertanya.

“Itu buruk buat anak-anak,” kata Cotter tua, ”karena pikiran mereka mudah terpengaruh. Waktu anak-anak melihat hal macam itu, kau tahu, hal itu mempengaruhi...”

Aku menjejali mulutku dengan stirabout karena takut Aku mungkin mengungkapkan kemarahanku. Imbesil berhidung merah yang menjemukan!

Sudah larut waktu Aku tertidur. Meski Aku marah dengan Cotter tua karena menyebutku anak-anak, Aku memeras otak guna menggali makna kalimatnya yang tak selesai. Dalam gelapnya kamarku Aku membayangkan kalau Aku melihat lagi wajah kelabu tua si lumpuh. Aku menarik selimut menutupi kepalaku dan mencoba memikirkan Natal. Tapi wajah kelabu itu masih saja mengikutiku. Wajah itu bergumam, dan Aku paham kalau dia ingin mengakui sesuatu. Aku merasa jiwaku surut ke suatu tempat yang nyaman serta bejat; dan lagi-lagi si wajah sudah menungguku. Dia mulai mengaku kepadaku dalam suara menggumam dan Aku heran kenapa dia terus saja tersenyum dan kenapa bibirnya sangat lembab oleh ludah. Tapi kemudian Aku ingat kalau dia mati akibat paralisis dan Aku merasa bahwa Aku juga tersenyum simpul seolah-olah untuk membebaskan si simoniac dari dosanya.

Paginya sehabis sarapan Aku pergi untuk melihat-lihat di rumah kecil di Jalan Great Britain. Itu toko sederhana, terdaftar samar-samar sebagai Toko Pakaian. Toko Pakaian itu sebagian besar isinya sepatu anak-anak dan payung; dan pada hari-hari biasa sebuah pengumuman biasanya tergantung di jendela: Payung Sudah Diperbaiki. Tak ada pengumuman yang terlihat sekarang karena daun jendelanya tertutup. Sebuah karangan bunga diikatkan ke pengetuk-pintu dengan pita. Dua wanita miskin dan bocah telegram sedang membaca catatan yang tersemat di karangan itu. Aku juga mendekat dan membaca:
1 Juli 1895 The Rev. James Flynn (Dahulu dari Gereja S. Catherine, Jalan Meath), usia 65 tahun. RIP.

Pembacaan catatan itu meyakinkanku bahwa dia telah mati dan Aku terusik untuk mencari tahu kalau itu memang benar. Kalau saja dia belum mati Aku akan masuk ke ruangan temaram kecil di belakang toko mendapatinya duduk di kursi berlengannya dekat perapian, nyaris tertelan mantel kedodorannya. Mungkin bibiku akan menitipiku sepaket High Toast untuknya dan bingkisan ini akan membangungkannya dari tidur ayamnya. Selalu saja Aku yang memindahkan paket itu ke kotak tembakaunya sebab tangannya terlalu gemetar untuk memindahkannya tanpa mencecerkan separuh tembakau ke lantai. Bahkan waktu dia mengangkat tangannya yang gemetaran hebat ke hidungnya serpih tembakau menitis lewat sela-sela jemarinya ke mantelnya. Barangkali guyuran tembakau yang ajek itulah yang bikin pakaian imamat tuanya kelihatan hijau pudar sebab kacu merah, menghitam, seperti biasa, oleh noda tembakau sepekan, repihan yang dia coba seka, namun kurang cermat.

Aku ingin masuk dan menengoknya tapi Aku tak punya nyali untuk mengetuk. Aku pergi perlahan sepanjang sisi jalan yang disinari matahari, membaca semua iklan teater di kaca jendela toko seraya Aku berjalan. Aku merasa aneh baik Aku maupun hari rasanya ada dalam suasana berkabung dan Aku bahkan terganggu karena merasakan suatu sensasi kebebasan dalam diriku seolah Aku terbebaskan dari sesuatu oleh kematiannya. Aku heran dengan hal ini, seperti pamanku bilang tadi malam, orang itu sudah mengajariku banyak hal. Dia belajar di kolese Irlandia di Roma dan dia mengajariku melafalkan bahasa Latin dengan tepat. Dia berceita kepadaku tentang katakomba dan tentang Napoleon Bonaparte, dan dia menjelaskan kepadaku makna dari perayaan-perayaan Misa yang berbeda-beda dan perbedaan jubah yang dikenakan oleh pendeta. Kadang dia pusing sendiri akibat melontarkan pertanyaan sulit kepadaku, menanyaiku apa yang semestinya dilakukan seseorang dalam situasi tertentu atau apakah dosa begini dan semacamnya itu besar atau kecil atau cuma kekeliruan. Pertanyaannya menunjukkan kepadaku bagaimana rumit dan misteriusnya suatu institusi macam Gereja itu yang mana Aku selalu anggap sebagai laku paling sederhana. Tugas pendeta akan Ekaristi dan untuk menjaga kerahasiaan pengakuan dosa terdengar berat bagiku hingga Aku heran bagaimana seseorang punya nyali untuk menjalankannya; dan Aku tidak kaget saat dia bilang bahwa pastor Gereja mesti menulis buku setebal Direktori Kantor Pos dan seteliti pemberitahuan hukum dalam koran, menerangkan semua pertanyaan rumit itu. Sering saat Aku berpikir tentang ini Aku tak punya jawaban atau cuma suatu jawaban tolol dan terdiam adapun dia akan tersenyum dan kepalanya manggut-manggut dua kali atau tiga kali. Suatu kali dia mengajukan tanggapan soal Misa yang mana dia membuatku belajar sepenuh hati; dan, waktu aku beleter, dia biasanya tersenyum simpul dan kepalnya manggut-manggut, sesekali mendorong secubit besar tembakau ke tiap lubang hidung bergantian. Saat dia tersenyum dia biasanya tak menutupi geligi besarnya yang menghitam dan membiarkan lidahnya berbaring di bibir bawahnya—kebiasaan yang membuatku merasa tak enak pada awal perkenalan kami sebelum Aku tahu betul dia.

Saat Aku berjalan dinaungi matahari Aku ingat kata-kata Cotter tua dan mencoba mengingat apa yang terjadi selanjutnya dalam mimpi semalam. Aku ingat kalau Aku melihat tirai beludru panjang dan lampu gantung gaya kuno. Aku merasa kalau Aku sudah sangat jauh, di suatu dataran di mana adatnya aneh—di Persia, Kurasa... Tapi Aku tak ingat akhir mimpi itu.

Malamnya bibiku mengajakku berkunjung ke rumah duka. Matahari barusan terbenam; tapi kaca jendela rumah yang menghadap ke barat memampang segumpal besar awan emas jingga. Nannie menyambut kami di ruang depan; dan karena akan tak elok bila berteriak kepadanya, bibiku hanya berjabat tangan dengannya. Si perempuan tua menunjuk ke atas penuh tanya dan, pada anggukan bibiku, berjalan berpayah-payah lewat undakan sempit di depan kami, kepalanya menunduk hampir tidak di atas pegangan undakan. Di anak tangga paling atas dia berhenti dan memberi kami isyarat terus saja ke pintu terbuka ruang duka. Bibiku masuk dan si perempuan tua, melihat kalau aku ragu untuk masuk, mulai memberiku lagi isyarat berulang kali dengan tangannya.

Aku masuk berjingkat. Ruangan itu hingga ujung renda tirai diliputi cahaya remang keemasan dari lilin-lilin di tengah-tengah ruangan yang tampak seperti lidah api kurus pucat. Dia sudah dipetimatikan. Nannie memberi isyarat dan kami bertiga berlutut dekat kaki pembaringan. Aku berpura-pura berdoa tapi Aku tak mampu menjernihkan pikiranku karena gumaman si perempuan tua itu mengusikku. Aku memperhatikan betapa wagu roknya tersangkut di sebelah belakang dan betapa hak sepatu kainnya menjejak ke satu sisi saja. Ajaibnya tampak bagiku si pastor tua tersenyum saat dia terbaring  di peti matinya.

Tapi tidak. Ketika kami bangkit dan menuju ke kepala pembaringan Aku lihat kalau dia tidak tersenyum. Di sanalah dia terbaring, khidmat dan melewah, berpakain sebagaimana di altar, tangan besarnya menggenggam lemah sebuah cawan. Wajahnya begitu garang, kelabu dan raksasa, dengan lubang hidung menyerupai gua gelap dan dikelilingi bulu putih jarang-jarang. Ada aroma pekat di dalam ruangan itu—bebungaan.

Kami membentuk tanda salib dan keluar. Di ruangan kecil lantai bawah kami bertemu Eliza duduk gelisah di kursi berlengan. Aku terbata-bata menuju kursi yang biasa kududuki di pojokan sementara Nannie pergi ke bufet dan mengeluarkan botol sherry dan beberapa gelas anggur. Dia meletakkannya di meja dan menawari kami segelas anggur. Lalu, atas permintaan saudarinya, dia menuangkan sherry ke gelas dan menyuguhkannya kepada kami. Dia memaksaku untuk mengambil biskuit susu juga tapi Aku menolak karena kurasa Aku akan bikin gaduh saat memakannya. Dia tampak agak kecewa pada penolakkanku dan berjalan dengan tenang ke sofa di mana dia duduk di belakang saudarinya. Tak ada yang bicara: kami semua memandang ke perapian yang kosong.

Bibiku menunggu sampai Eliza mendesah dan kemudian bilang:
“Ah, nah, dia telah pergi ke dunia yang lebih baik.”

Eliza mendesah lagi dan menundukkan kepalanya mengiyakan. Bibiku meraba pegangan gelas anggurnya sebelum menyesapnya.

“Apa dia... damai?” dia bertanya

“Oh, sungguh damai, bu,” kata Eliza. “Kamu takkan bisa tahu kapan napasnya berhenti. Dia meninggal dalam damai, puji Tuhan.”

“Dan semuanya...?”

“Father O’Rourke bersamanya Selasa dan mengurapinya dan menyiapkannya dan segalanya.”

“Dia tahu kalau begitu?”

“Dia manut betul.”

“Dia kelihatan manut betul,” kata bibiku

“Itu yang dibilang sama wanita yang kami tugasi memandikannya. Wanita itu bilang dia kelihatan seperti tidur, dia kelihatan damai dan manut. Tak ada yang membayangkan dia akan jadi semacam mayat yang indah.”

“Ya, tentunya,” kata bibiku.

Dia menyesap dari gelasnya dan bilang:
“Nah, Mbak Flynn, bagaimana pun juga pasti menenangkan bagi kalian tahu kalau kalian sudah melakukan semua yang bisa kalian lakukan untuknya. Kalian berdua sangat baik kepadanya, harus kubilang.”

Eliza merapikan gaun di atas lututnya.

“Ah, James yang malang!” katanya. “ Tuhan tahu kami sudah berbuat sebisanya, sebegitu miskinnya kami—kami takkan melihatnya pengin apapun selagi dia hidup.”

Nannie menyandarkan kepalanya pada bantal sofa dan nampak akan tertidur.

“Nannie yang malang,” kata Eliza, melihatnya, “ dia kecapekan. Semua pekerjaan kami, dia dan saya, meminta seorang wanita memandikan jenazah dan kemudian membaringkannya dan kemudian peti mati itu dan kemudian mengatur Misa di kapel. Cuma Father O’Rourke Aku sama sekali tak tahu apa yang sudah kami perbuat. Dialah yang membawakan kita semua kembang itu dan dua batang lilin dari kapel dan menulis pengumuman di Freeman’s General dan bertanggung jawab untuk semua berkas pemakaman dan asuransi James yang malang.”

“Bukankah itu bagus buat dia?” kata bibiku.

Eliza menutup matanya dan menggelengkan kepalanya pelan.

“Ah, tak ada teman seperti sahabat lama,” katanya, “pada akhirnya, tak ada teman yang bisa 
seseorang percayai.”

“Memang, betul begitu,” kata bibiku. ”Dan Aku yakin sekarang dia pergi ke surga dia takkan melupakkanmu dan semua kebaikanmu kepadanya.”

“Ah, James yang malang!” kata Eliza. “Dia tak menyusahkan kami. Kamu takkan lagi mendengarnya di rumah lagi ketimbang sekarang. Lagian, Aku tahu dia sudah pergi dan semua itu...”

“Ketika semua ini selesailah kamu akan kangen dia,” kata bibiku.

“Aku tahu itu,” kata Eliza. “Aku tak akan lagi membawakannya secangkir beef-tea, kamu juga, bu, tak akan lagi mengiriminya tembakau. Ah, James yang malang!”

Dia terdiam, seolah melebur dalam kenangan dan kemudian dengan tajam berkata:
“tahukah kamu, Aku perhatikan ada suatu yang aneh padanya akhir-akhir ini. Kapanpun Aku membawakannya sup di sana Aku mendapatinya dengan breviary-nya terjatuh ke lantai, terbaring di kursi dan mulutnya menganga.”

Dia meletakkan jarinya di hidung dan memberengut: lalu dia menyambung:
“Tapi tetap saja dan semua yang dikatakannya cuma kalau sebelum musim panas berakhir dia akan keluar berkendara sehari cuma buat lihat rumah lamanya lagi di mana dia lahir di Irishtown dan mengajakku dan Nannie dengannya. Kalau saja kami bisa mendapat satu dari kereta-kereta model baru yang tak berisik seperti dibilang Father O’Rourke kepadanya, kereta dengan roda-roda reumatik*,  untuk sehari saja—katanya, di Johnny Rush’s sana itu dan berkendara kami bertiga bersama pada Minggu malam. Dia sudah berketetapan untuk itu... James yang malang!”

“Tuhan ampunilah jiwanya!” kata bibiku.

Eliza mengeluarkan kacunya dan menyeka matanya dengan itu. Lalu dia memasukkannya lagi ke sakunya dan menatap ke perapian yang kosong sesaat tanpa bicara.

“Dia kelewat teliti selalu,” katanya. “Tugas-tugas kependetaan terlalu berat baginya. Dan hidupnya, kamu bisa bilang, terlintas.”

“Ya,” kata bibiku. “Dia seorang yang kecewa. Kamu bisa lihat itu.”

Keheningan mengambil alih ruangan kecil itu dan, di bawah selubungnya, Aku mendekati meja dan mencicipi sherry-ku dan kemudian kembali dengan tenang ke kursiku di pojok. Eliza nampak jatuh ke dalam lamunan. Kami menunggu dengan sopan baginya untuk memecah keheningan: dan setelah 
jeda panjang dia berkata pelan:
“Itu cawan yang dia pecahkan... Itu awal dari semuanya. Tentu saja, mereka bilang semuanya baik-baik saja, kalau itu tak berisi apapun, maksudku. Tapi tetap saja... Mereka bilang itu kesalahan anak lelaki itu. Tapi James yang malang sangat gugup, Tuhan ampunilah dia!”

“Dan apakah itu?” kata bibiku. “Aku dengar sesuatu....”

Eliza mengangguk.

“Itu mempengaruhi pikirannya,” katanya. “Sehabis itu dia mulai bermuram durja, tak mau ngomong sama siapa saja dan keluyuran sendirian. Suatu malam dia pengin keluar untuk menelepon dan mereka tak bisa menemukannya di mana pun. Mereka mencari ke atas dan ke bawah; masih saja mereka tak bisa melihat tanda-tanda dirinya di mana pun. Terus petugas menyarankan untuk memeriksa kapel. Lalu mereka mengambil kunci dan membuka kapel dan petugas itu serta Father O’Rourke  dan pastor lain yang di sana membawa lentera untuk mencarinya... Dan apa yang kamu pikir tapi di sanalah dia, duduk sendirian di kegelapan dalam kotak pengakuannya, membelalak dan cekikikan sendiri.

Dia berhenti sekonyong-konyong seolah untuk mendengar. Aku juga mendengarkan; tapi tak ada suara di dalam rumah: dan Aku tahu si pastor tua terbaring tenang di dalam peti matinya seperti sudah kami lihat tadi, khidmat dan garang dalam kematian, cawan kosong di dadanya.
Eliza memungkasi:
“Membalalak dan cekikian sendiri... Lalu, tentu saja, waktu mereka melihatnya, hal itu membuat mereka berpikir bahwa ada sesuatu yang salah dengannya...”


Simony: jual beli jabatan kegerejaan.
Stirabout: semacam oatmeal?
Simoniac: pelaku simony
Faint: alkohol atau zat yang dipakai dalam penyulingan minuman keras?
Worms: gulungan penyuling?High Toast: merek tembakau hirup Irlandia
*rheumatik: (malaforisme) maksud Eliza Pneumatik, roda angin. Mungkin...?

(Diterjemahkan secara sembarangan dari Sisters karya James Joyce dalam antologi cerpen The Dubliners)

0 komentar:

Posting Komentar