Senin, 27 November 2017

The Story-teller, Saki (H. H. Munro). Diterjemahan ke Bahasa Indonesia dengan Sembarangan

Si Pendongeng*

Saat itu sore yang panas, dan di dalam gerbong kereta api tak kalah gerahnya, dan pemberhentian berikutnya adalah Templecombe, hampir satu jam lagi. Penumpang di gerbong itu terdiri dari seorang gadis kecil, dan seorang gadis yang lebih kecil, dan seorang bocah kecil. Bibi anak-anak itu mengisi salah satu pojokan tempat duduk, dan pojokan jauh tempat duduk seberangnya diisi oleh seorang sarjana muda yang adalah seorang asing bagi rombongan mereka, tapi si gadis kecil dan si bocah kecil betul-betul menduduki kompartemen. Baik si bibi maupun anak-anak itu bercakap dalam suatu batas, terus-menerus, mengingatkan pada salah satu sikap dari seekor lalat rumahan yang menolak untuk putus asa. Kebanyakan kata-kata si bibi agaknya dimulai dengan “Jangan,” dan nyaris semua kata-kata anak-anak itu dimulai dengan “Kenapa?” Si sarjana muda diam saja. “Jangan, Cyril, jangan,“ seru si bibi, waktu si bocah kecil mulai memukul-mukul bantalan tempat duduk, menyembulkan sehembus awan debu pada tiap pukulan.

“Sini dan lihat keluar jendela,” tambah si bibi.

Anak-anak itu bergeser ogah-ogahan mendekati jendela. “Kenapa domba-domba itu diusir keluar 
lapangan itu?” tanya si bocah kecil.

“Kukira mereka diarahkan ke lapangan lain yang lebih banyak rumputnya,” kata si bibi lemah.

“Tapi ada banyak rumput di lapangan itu,” si bocah memprotes, “ Tak ada yang lain kecuali rumput di sana. Bibi, ada banyak rumput di lapangan itu.”

“Mungkin rumput di lapangan lain lebih bagus,” usul si bibi cuek.

“Kenapa lebih bagus?” muncul dengan cepat, pertanyaan yang tak terelakkan.

“Oh, lihat sapi-sapi itu!” seru si Bibi. Nyaris setiap lapangan sepanjang rel berisi sapi-sapi atau banteng-banteng, tapi dia bicara seolah dia menyoroti hal yang jarang ada.

“Kenapa rumput di lapangan lain lebih bagus,” Cyril bersikeras.

Kerut dahi di wajah si sarjana muda mendalam membuat sebuah wajah muram. Dia adalah seorang yang keras, tak simpatik, si bibi menyimpulkan dalam benaknya. Dia sama sekali tak mampu sampai pada kepastian yang memuaskan perihal rumput di lapangan lain.

Si gadis yang lebih kecil membikin sebuah pengalihan dengan mulai berdeklamasi “On the Road to Mandalay.” Dia Cuma tahu baris pertama, tapi dia menggunakan keterbatasan pengetahuannya sebaik mungkin. Dia mengulang baris itu lagi dan lagi dalam suara yang kabur namun tegas dan sangat mudah didengar; itu rasanya bagi si sarjana muda seolah-olah seseorang sudah bertaruh dengan si gadis kalau dia tak bisa mengulang-ulang baris itu keras-keras dua ribu kali tanpa jeda. Siapa pun itu yang sudah bertaruh mungkin bakal kalah taruhan.

“Ayo sini dan dengar cerita,” kata si bibi, waktu si sarjana muda melihat dua kali ke arahnya dan sekali ke arah kabel sinyal.

Anak-anak itu bergeser dengan lesu ke arah bibinya di pojok gerbong. Ternyata reputasi si bibi sebagai pendongeng tak berada di peringkat atas dalam penilaian mereka.

Dalam suara lirih, hampir serupa bisikan, sering kali disela oleh pertanyaan tak sabaran, lantang dari para pendengarnya, dia memulai sebuah cerita yang kering dan menyedihkan hambar tentang seorang gadis cilik yang baik, dan berteman dengan siapa saja oleh sebab kebaikannya, dan akhirnya diselamatkan dari banteng gila oleh sejumlah penyelamat yang mengagumi karakter moralnya.

“Akankah mereka menyelamatkannya kalau dia tidak baik?” desak si gadis kecil yang lebih besar. Itu jelas pertanyaan yang si sarjana muda ingin tanyakan.

“Nah, ya,” si bibi membenarkan dengan lemah, “tapi Aku tak mengira mereka akan berlari cukup cepat ke arah si gadis kalau mereka tidak begitu menyukainya.”

“Itu cerita paling tolol yang pernah kudengar,” kata si gadis kecil yang lebih besar, penuh keyakinan.

“Aku tak dengar sehabis sedikit awalnya, Itu sangat tolol,” kata Cyril

Si gadis yang lebih kecil tak betul-betul berkomentar soal cerita itu, tapi dia sejak tadi mulai bergumam mengulang baris kesukaannya.

“Anda tak kelihatan berhasil sebagai pendongeng,” kata si sarjana muda tiba-tiba dari pojokan.

Si bibi seketika menyiapkan pembelaan atas serangan tak terduga ini.

“Adalah suatu hal yang sangat sulit untuk menceritakan cerita yang bisa dipahami dan dihargai oleh anak-anak,” katanya kaku.

“Saya tak sependapat dengan anda,” kata si sarjana muda.

“Mungkin Anda ingin menceritai mereka satu cerita,” balas si bibi.

“Ceritai kami satu cerita,” desak si gadis kecil yang lebih besar.

“Pada suatu ketika,” si sarjana muda memulai. “Ada seorang gadis cilik bernama Bertha, yang luar biasa baik.”

Minat anak-anak itu bangkit dalam sekekap mata; semua cerita kedengaran amat mirip, tak peduli siapa yang bercerita.

“Dia mengerjakan semua yang diperintahkan, dia selalu jujur, dia menjaga pakaiannya tetap bersih, makan puding susu seolah itu adalah selai tart, mempelajari pelajarannya dengan sempurna, dan santun dalam bersikap.”

“Apa dia cantik?” tanya si gadis kecil yang lebih besar.

“Tak secantik kalian,” kata si sarjana muda, “tapi dia sungguh ngeri baiknya.”

Ada sebuah gelombang reaksi yang mendukung cerita itu; kata ‘ngeri’ dikaitkan dengan ‘baik’ memang suatu kebaruan. Itu nampaknya mengenalkan sebuah ungkapan yang absen dari kisah-kisah masa kecil si bibi.

“Dia sangat baik,” sambung si sarjana muda, “karenanya dia memenangkan beberapa medali untuk kebaikan, yang selalu dia pakai, disematkan pada pakaiannya. Ada satu medali untuk kepatuhan, medali lain untuk ketepatan waktu, dan yang ketiga untuk perilaku baik. Itu adalah medali-medali logam besar dan mereka bergemerincing satu sama lain saat dia berjalan. Tak ada anak lain di kota yang ditinggalinya punya tiga medali, jadi semua orang tahu kalau dia pasti anak yang ekstra baik.”

“Ngeri baiknya,” kutip Cyril.

“Semua orang berbicara soal kebaikannya, dan Pangeran mendengarnya, dan Pangeran bilang bahwa karena si gadis amat sangat baik dia diijinkan sekali tiap pekan untuk berjalan-jalan di taman milik Pangeran, yang ada sedikit di luar kota. Itu adalah sebuah taman yang indah, dan tak ada anak-anak yang diijinkan masuk, jadi adalah suatu kehormatan bagi Bertha untuk diijinkan masuk ke sana.”

“Adakah domba di sana?” desak Cyril.

“Tidak,” kata si sarjana muda, “di sana tak ada domba.”

“Kenapa tak ada domba disana?” datang pertanyaan tak terduga menyembul dari jawaban itu.
Si bibi tersenyum, yang mungkin hampir bisa digambarkan sebagai seulas seringai.

“Tak ada domba di taman itu,” kata si sarjana muda, “karena ibu sang Pangeran suatu kali pernah bermimpi bahwa putranya akan terbunuh oleh domba atau oleh sebuah jam yang jatuh menimpanya. Karena alasan itu Pangeran tak pernah memelihara seekor domba di tamannya atau menyimpan sebuah jam di istananya.”

Si bibi membungkam kekaguman.

“Apa sang Pangeran terbunuh oleh seekor domba atau oleh sebuah jam?” tanya Cyril.

“Dia masih hidup, jadi kita tidak bisa bilang apakah mimpi itu akan jadi nyata,” kata si sarjana muda cuek, “toh, tak ada domba di taman itu, tapi di sana ada banyak babi cilik berlarian ke sana ke mari.”

“Apa warnanya?”

“Hitam dengan muka putih, Putih dengan bintik-bintik hitam, hitam seluruhnya, kelabu dengan 
belang putih, dan beberapa putih seluruhnya.”

Si pendongeng berhenti untuk membiarkan gambaran penuh tentang khazanah taman itu merasuk ke dalam imajinasi anak-anak itu; kemudian dia menyambung:

“Bertha agak kecewa karena mendapati kalau tak ada bunga di taman itu. Dia sudah janji dengan bibinya, dengan air mata di matanya, kalau dia tak akan memetik semua jenis bunga punya Pangeran, dan dia sungguh-sungguh untuk menepati janjinya, jadi tentu saja itu membuatnya merasa konyol mendapati kalau di situ tak ada bunga untuk dipetik.”

“Kenapa di sana tak ada bunga?”

“Karena babi-babi itu memakannya semua,” kata si sarjana muda cepat. “Tukang kebun sudah memberitahu Pangeran kalau kamu tak bisa punya babi dan bunga, jadi dia memutuskan memelihara babi dan tak ada bunga.”

Ada gumam persetujuan pada keunggulan dari keputusan sang Pangeran; banyak orang akan memutuskan sebaliknya.

“Ada banyak hal menyenangkan lain di taman itu. Ada kolam dengan ikan emas dan biru dan hijau di dalamnya, dan pepohonan dengan beo-beo cantik yang berkata hal-hal pintar pada saat diperhatikan, dan burung kolibri yang menyenandungkan semua lagu populer kekininan. Bertha mondar-mandir dan sangat menikmatinya, dan membatin: ‘Kalau Aku tak begitu luar biasa baik Aku pasti tak diijinkan untu masuk ke taman yang indah ini dan menikmati semua yang bisa dilihat di sini,’dan tiga medalinya bergemerincing satu sama lain saat dia berjalan dan membantunya mengingat betapa amat baiknya dia. Tak lama berselang seekor serigala gede yang sedang berkeliaran mencari mangsa masuk ke taman berandai-andai kalau saja dia bisa menangkap babi kecil gemuk untuk santapannya.”

“Apa warnanya?” tanya anak-anak itu, di tengah-tengah suatu minat yang lekas meninggi.

“sewarna lumpur seluruhnya, dengan lidah hitam dan mata kelabu pucat yang berkilau oleh keganasan yang tak-terungkapkan. Pertama-tama yang dilihatnya di taman itu ialah Bertha; pinafore-nya sungguh putih tak-bernoda dan bersih yang membuatnya bisa dilihat dari jarak teramat jauh. Bertha melihat serigala itu dan melihat bahwa serigala itu mengendap-endap ke arahnya, dan dia mulai berharap kalau dia tak pernah diijinkan masuk ke taman. Dia berlari secepat dia bisa, dan serigala itu mengejarnya dengan langkah-langkah dan lompatan-lompatan panjang. Dia berhasil mencapai semak myrtle dan dia bersembunyi di salah satu semak terimbun. Serigala itu mendengus di antara ranting-ranting, lidah hitamnya terjulur keluar dari mulutnya dan mata kelabu pucatnya melotot marah. Bertha teramat takut, dan membatin: ‘Kalau saja Aku tak begitu luar biasa baik Aku pasti aman di kota sekarang.’ Namun, bau myrtle begitu tajam sehingga serigala itu tak mampu mengendus di mana Bertha sembunyi, dan semak itu pun begitu lebat maka serigala itu mungkin sudah mencari-cari di dalam sana lama sekali tanpa bisa melihat tanda-tanda Bertha, jadi dia pikir dia mungkin lebih baik keluar dan menangkap babi kecil sebagai gantinya. Bertha gemetaran betul ada serigala berkeliaran dan mendengus sebegitu dekatnya, dan saat dia gemetar medali untuk kepatuhan berdenting menyentuh medali untuk perilaku baik dan ketepatan waktu. Serigala itu barusan menjauh waktu dia mendengar suara medali-medali berdenting dan berhenti untuk menyimak; mereka berdenting lagi di semak dekatnya. Dia berlari masuk ke semak, mata kelabu pucatnya berkilau dengan kebuasan dan kemenangan, dan menyeret Bertha keluar dan melahapnya hingga kerat terakhir. Yang tersisa darinya cuma sepatunya, sobekan pakaian, dan tiga medali untuk kebaikan.”

“Adakah babi kecil yang terbunuh?”

“Tidak, mereka semua kabur.”

“Ceritanya dimulai dengan jelek,” kata gadis kecil yang lebih kecil, “tapi akhirnya bagus.”

“Ini cerita paling bagus yang pernah kudengar,” kata gadis kecil yang lebih besar, penuh kepastian.

“Ini satu-satunya cerita bagus yang pernah kudengar,” kata Cyril.

Pendapat yang bertolak belakang datang dari si bibi.

“Sebuah cerita yang paling tak pantas untuk diceritakan kepada anak-anak! Kau sudah merusak hasil 
dari bertahun-tahun pengajaran yang cermat.”

“Bagaimanapun juga,” kata si sarjana muda, mengemas bawaannya bersiap keluar gerbong,  “Saya membuat mereka diam selama sepuluh menit, yang mana lebih lama ketimbang yang anda mampu.”

“Wanita yang sengsara!” dia mengamat-amati dirinya saat menyusuri peron Stasiun Templecombe, 
“untuk enam bulan ke depan atau lebih anak-anak itu akan menyerbunya di tempat umum dengan permintaan-permintaan akan cerita tak pantas.”



*diterjemahkan dari The Story-teller, Saki (H. H. Munro)

0 komentar:

Posting Komentar