Jumat, 08 Desember 2017

Good Man Is Hard to Find - Flanerry O'Connor

Orang Baik Jarang Dijumpai*

Nenek tak mau pergi ke Florida. Dia ingin berkunjung ke salah seorang relasinya di Tennesse timur dan dia mencoba semua kemungkinan untuk mengubah pikiran Bailey. Bailey adalah putra yang tinggal bersamanya, satu-satunya anak lelakinya. Bailey duduk di ujung kursi dekat meja, membungkuk  di atas halaman olahraga Journal. “Lihat ini, Bailey,” ujarnya, “lihat ini, baca ini,” dan dia berdiri dengan satu tangan pada panggulnya dan yang satunya lagi menggoyang-goyang koran dekat kepala plontos anaknya. “Nih, orang ini yang menjuluki diri Si Canggung kabur dari penjara dan menuju ke arah Florida dan kamu baca nih apa yang diperbuatnya pada orang-orang ini. Baca saja deh. Aku tak mau membawa anakku ke tempat yang ada kriminal macam itu berkeliaran. Aku tak sampai hati, lah.”

                Bailey tidak mengangkat pandangan dari bacaannya jadi nenek berbalik dan menghadap ke ibunya anak-anak, seorang wanita muda bercelana panjang, yang wajahnya kekanak-kanakan dan polos seperti kol dan diikat dengan ikat kepala hijau yang ada dua ujung di atasnya seperti kuping kelinci. Dia duduk di sofa, menyuapi bayinya persik dari toples. “Anak-anak sudah pernah ke Florida,” ujar si perempuan tua. “Kalian mesti membawa mereka ke tempat lain sebagai gantinya jadi mereka akan lihat bagian dunia yang berbeda dan jadi tahu dunia. Mereka belum pernah ke Tennesse timur.”
                Ibunya anak-anak agaknya tak mendengarnya tapi si anak-delapan-tahun, John Wesley, bocah gempal berkacamata, bilang, “Kalau nenek tak mau pergi ke Florida, kenapa nenek nggak tinggal di rumah saja?” Dia dan gadis cilik, June Star, sedang membaca komik di atas lantai.
                “Nenek tak mau tinggal di rumah jadi ratu sehari,” June Star berkata tanpa mengangkat kepala kuningnya.
                “Ya, dan apa yang kamu lakukan kalau orang ini, Si Canggung, menangkapmu?” tanya nenek.
                “Aku pukul mukanya,” kata John Wesley.
                “Nenek tak mau tinggal di rumah demi sejuta dolar,” ujar June Star. “Nenek takut ketinggalan sesuatu. Nenek musti ikut ke mana saja kita pergi.”
                “Baiklah, Neng,” ujar nenek. “Ingatlah kalau lain kali kamu pengin mengeriting rambutmu...”
                June Star bilang rambutnya sudah dari sananya keriting.
                Paginya nenek adalah orang pertama yang masuk ke mobil, siap pergi. Dia membawa koper hitam besar yang kelihatan seperti kepala kuda nil di salah satu pojokan, dan di bawahnya dia menyembunyikan sebuah keranjang dengan Pitty Sing, si kucing, di dalamnya. Dia tak berniat untuk meninggalkan kucing itu sendirian di rumah selama tiga hari karena si kucing akan kangen banget dengannya dan dia takut si kucing mungkin mencakar-cakar kompor gas dan tak sengaja membuat dirinya sesak napas. Anaknya, Bailey, tak suka datang di motel dengan seekor kucing.
                Nenek duduk di kursi belakang dengan John Wesley dan June Star pada tiap sisinya. Bailey dan ibunya anak-anak dan si bayi duduk di depan dan mereka meninggalkan Atlanta pada delapan lebih empat puluh lima dengan odometer di mobil itu menunjukan 55890. Nenek mencatat ini karena dia rasa akan menarik untuk menaksir berapa mil mereka sudah tempuh ketika mereka balik. Makan waktu dua puluh menit untuk mencapai pinggiran kota.
                Wanita tua itu duduk dengan nyaman, mencopot kaos tangan katun putihnya dan meletakkannya bersama tas genggamnya pada rak di depan jendela belakang. Ibunya anak-anak masih bercelana panjang dan masih mengikat kepalanya dengan ikat kepala hijau, tapi nenek mengenakan topi jerami pelaut biru dongker dengan jurai putih ungu di pinggirannya dan gaun biru dongker dengan satu titik putih kecil. Kerah dan mansetnya organdi putih dihiasi renda dan pada garis lehernya dia sematkan selembar kain ungu lembayung yang mengandung wewangian. Kalau-kalau ada kecelakaan, siapa saja yang melihat mayatnya di jalan raya akan langsung tahu kalau dia itu wanita.
                Nenek bilang dia rasa itu adalah hari baik untuk berkendara, tak kelewat panas juga tak kelewat dingin, dan dia mengingatkan Bailey kalau batas kecepatannya lima puluh lima mil per jam dan kalau polantas bersembunyi di belakang baliho dan rerumpunan pohon dan melesat keluar di depanmu sebelum kamu punya kesempatan untuk melambat. Dia menunjuk seluk-beluk yang menarik dari pemandangan: Stone Mountain; granit biru yang di beberapa tempat menyembul pada kedua sisi jalan raya; sempadan tanah liat merah cerah sedikit tercoreng ungu; dan aneka ragam tanaman yang membentuk  barisan hijau sambung-menyambung di ladang. Pepohonan dilimpahi sinar matahari putih keperakan dan yang paling ngeri diantaranya berkilauan. Anak-anak membaca majalah komik dan ibunya tidur lagi.
                “Ayo lewati Georgia cepat-cepat jadi kita tak usah banyak lihat begituan,” ujar John Wesley.
                “Kalau Aku ini anak kecil,” ujar nenek, “Aku tak akan ngomong soal daerah asalku seperti itu. Tennesse punya gunung dan Georgia punya bukit.”
                “Tennesse itu cuma tempat pembuangan orang udik,” ujar John Wesley, “dan Georgia itu juga negara bagian yang jelek.”
                “Nenek yang bilang,” ujar June Star.
                “Dulu,” ujar nenek, melipat jemari kurus beruratnya, “ anak-anak lebih menghormati negara bagian mereka dan orangtua mereka dan lain-lainnya. Orang-orang berbuat benar dulu. Oh lihat anak negro kecil imut itu!” ujarnya dan menunjuk ke anak Negro yang berdiri di pintu sebuah gubuk. “Bukankah itu suatu pemandangan?” tanyanya dan mereka semua menengok dan melihat pada Negro cilik di luar jendela belakang. Dia melambai.
                “Dia tak pakai baju,” ujar June Star.
                “Dia mungkin tak punya satu baju pun,” nenek menjelaskan. “Anak negro di desa tak punya barang-barang seperti punya kita. Kalau aku bisa melukis, Aku akan melukis pemandangan itu,” ujarnya.
                Anak-anak bertukar buku komik.
                Nenek menawarkan untuk memegang si bayi dan ibunya anak-anak menyodorkannya dari kursi depan kepada nenek. Nenek menaruhnya di atas lutut dan mengambung-ambungnya dan memberitahunya tentang hal-hal yang mereka lewati. Nenek memutar-mutar manik matanya dan mengacaukan bibirnya dan menempelkan muka kurus-kasarnya ke wajah halus-lembut si bayi. Sesekali si bayi memberinya senyum polos. Mereka melewati ladang kapas yang luas dengan lima atau enam makam berpagar di tengah-tengahnya, seperti pulau kecil. “Lihat kuburan itu!” ujar nenek, menunjuknya. “Itu makam keluarga.  Itu punya perkebunan.”
                “Di mana perkebunannya?” tanya John Wesley.
                “Kabur Kanginan,” ujar nenek. “Ha. Ha.”
                Saat anak-anak menyelesaikan semua buku komik yang dibawanya, mereka membuka kotak makan siang dan memakannya. Nenek makan roti lapis selai kacang dan sebutir zaitun dan tak akan membiarkan anak-anak melempar kotak dan kertas tisu keluar jendela. Saat tak ada lagi yang dilakukan mereka bermain sebuah permainan dengan memilih segumpal awan dan membuat dua orang lainnya menebak bentuknya mirip apa. John Wesley memilih satu yang berbentuk mirip seekor sapi dan June Star menebak sapi dan John Wesley bilang, bukan, sebuah mobil, dan June Star bilang John main curang, dan mereka mulai saling tampar melangkaui nenek.
                Nenek bilang dia akan bercerita kalau mereka mau diam. Saat nenek bercerita, dia memutar matanya dan melambaikan kepalanya dan sangat dramatis. Dia bilang suatu kali saat dia masih gadis dia dirayu oleh Mas Edgar Atkins Tea-garden dari Jasper, Georgia. Nenek bilang dia sangat ganteng dan gentlemen dan kalau dia membawakan nenek sebutir semangka setiap Sabtu siang dengan inisialnya terukir di situ, E. A. T. Nah, suatu Sabtu, kata nenek, Mas Teagarden membawa semangka dan tak ada orang di rumah dan dia meninggalkan semangka itu di beranda depan dan balik naik andongnya ke Jasper,  tapi nenek tak pernah mendapat semangkanya, kata nenek, lantaran si bocah negro memakannya saat dia melihat inisial, E. A. T.!2 Cerita ini menggelitik saraf humor3 John Wesley dan dia terkikik-kikik tapi June Star merasa cerita itu biasa saja. Dia bilang dia tak mau menikahi seorang pria yang cuma membawakannya sebutir semangka pada hari Sabtu. Nenek bilang dia mau-mau saja menikahi Mas Teagarden sebab dia gentlemen dan sudah membeli saham Coca-Cola saat pertama kali ditawarkan dan dia mati cuma beberapa tahun lalu, orang tajir.
                Mereka berhenti di The Tower untuk membeli roti isi barbekyu. The Tower adalah SPBU yang sebagiannya diplester dan sebagiannya lagi dari kayu dan lantai dansa dipasang di tanah terbuka di luar Timothy. Orang gendut bernama Red Sammy Butts mengelolanya dan ada tanda ditancapkan di sini dan di sana pada bangunan dan di beberapa mil ke kanan-kiri jalan raya bunyinya, TRY RED SAMMY’S FAMOUS BARBECUE. NONE LIKE FAMOUS RED SAMMY’S! RED SAM! THE FAT BOY WITH THE HAPPY LAUGH! A VETERAN! RED SAMMY’S YOUR MAN!4
                Red Sammy sedang tiduran di tanah di luar The Tower dengan kepala di bawah truk sementara monyet kelabu kira-kira satu kaki tingginya, dirantai pada pohon mindi, berceloteh di dekatnya. Si monyet meloncat balik ke pohon dan memanjat dahan tertinggi lekas-lekas sesudah melihat anak-anak melompat keluar dari mobil dan lari ke arahnya.
                Di dalam, The Tower adalah ruangan panjang-gelap dengan kasir di salah satu ujungnya dan meja-meja di ujung lainnya dan ruang dansa di tengah-tengahnya. Mereka semua duduk di meja makan di samping nickelodeon dan istrinya Red Sam, perempuan tinggi berkulit terbakar-kecoklatan dengan rambut dan mata lebih terang ketimbang kulitnya, datang dan mengambil pesanan mereka. Ibunya anak-anak memasukkan sepicis ke dalam mesin dan memutar “The Tennesse Waltz,” dan nenek bilang lagu itu selalu saja membikin dia ingin berdansa. Nenek bertanya ke Bailey apakah dia ingin berdansa tapi dia cuma membelalak pada nenek. Bailey tak punya watak riang alamiah seperti nenek dan perjalanan membikin dia gugup. Mata coklat nenek begitu terang. Dia menggoyang kepalanya ke kanan-kiri dan berpura-pura dia sedang menari di kursinya. June Star bilang putar lagu lain biar dia juga bisa menari jadi ibunya anak-anak memasukkan sepicis lagi dan memutar lagu rancak dan June Star melangkah ke lantai dansa dan menari tap.
                “Bukankah dia manis?” ujar istri Red Sam, bersandar di atas meja. “Maukah kamu jadi anak gadisku?”
                “Tidak Aku jelas tak mau,” ujar June Star. “Aku tak mau tinggal di tempat reyot macam ini demi sejuta dolar!” dan dia lari balik ke meja.
                “Bukankah dia manis?” perempuan itu mengulang, meregang mulutnya dengan halus.
                “Apa kau tak malu?” desis nenek.
                Red Sam masuk dan memberi tahu istrinya untuk berhenti bersantai dan bergegas dengan pesanan orang-orang itu. Celana khakinya cuma sampai tulang pinggulnya dan perutnya menggantung di atasnya seperti sekarung tepung bergoyang dibawah kemejanya. Dia mendekat dan duduk di meja sebelah dan menghembuskan kombinasi desah dan yodel. “Kamu tidak bisa menang,” ujarnya. “Kamu tidak bisa menang,” dan dia menyeka muka merah berpeluhnya dengan kacu kelabu. “Sekarang ini kamu tak tahu siapa yang bisa dipercaya,” ujarnya. “Begitu kan kenyataannya?”
                “Orang-orang jelas tak sebaik dulu,” ujar nenek.
                “Dua orang ke sini minggu lalu,” ujar Red Sammy, “mengendarai Chrysler. Itu mobil lawas bobrok tapi itu mobil yang bagus dan bocah-bocah itu kelihatan baik menurutku. Katanya mereka kerja di penggilingan dan kamu tahulah Aku biarkan bocah-bocah itu mengisi bensin? Sekarang kenapa aku lakukan itu?”     
                “Sebab kamu itu orang baik!” ujar nenek seketika.
                “Ya, kurasa begitu,” ujar Red Sam seolah dia terpukul dengan jawaban ini.
                Istrinya membawakan pesanan, membawa lima piring sekaligus tanpa baki, dua di masing-masing tangan dan satu seimbang di lengannya. “Tak ada satu jiwa pun di bumi hijau milik Tuhan ini yang kamu bisa percayai,” ujarnya. “Dan Aku tak mempercayai siapa pun, tak seorangpun,” dia mengulang, melihat pada Red Sammy.
                “Apa kalian baca soal penjahat itu, Si Canggung, yang melarikan diri?” tanya nenek.
                “Aku tak kaget kalau dia tidak mendatangi tempat ini,” ujar perempuan itu. “Kalau dia tahu tentang tempat ini, Aku tak akan kaget melihatnya. Kalau dia tahu dua sen yang ada di mesin kasir, Aku tak akan kaget kalau dia...”
                “Pastinya,” ujar Red Sam. “Sana ambilkan mereka Co’-Cola,” dan perempuan itu pergi mengambil pesanan lainnya.
                “Orang baik jarang dijumpai,” ujar Red Sam. “Semuanya jadi ngeri. Aku ingat waktu kamu bisa pergi dan membiarkan pintumu tak terkunci. Tak bisa lagi.”
                Dia dan nenek membahas jaman yang lebih baik. Si perempuan tua bilang kalau menurutnya Eropa yang patut disalahkan untuk semua ini. Dia bilang cara Eropa bertindak kamu akan merasa kita ini dibikin dari duit dan Red Sam bilang tak ada gunanya bicara soal itu, perempuan itu memang betul. Anak-anak berlari keluar ke dalam sinar matahari putih dan melihat pada monyet yang terikat di pohon mindi. Si monyet lagi sibuk menangkapi kutu dan menggigiti masing-masing dengan teliti di antara gigi-giginya seolah-olah itu suatu hidangan lezat.
                Mereka berkendara lagi ke dalam sore yang panas. Nenek tidur-tidur ayam dan mendusin setiap beberapa menit karena dengkurnya sendiri. Menjelang Toombsboro dia terjaga dan mengingat perkebunan tua yang dia kunjungi di daerahnya sekali saat dia masih gadis. Dia bilang rumah itu punya enam tiang putih di sebelah depan dan di sana ada jalan dengan pohon oak di pinggirannya menuju ke rumah itu dan dua punjung kayu kecil pada tiap sisi di depan tempatmu duduk bareng pelamarmu sehabis jalan-jalan di taman. Dia betul-betul ingat berbelok ke jalan mana untuk sampai ke sana. Dia tahu kalau Bailey tak mau membuang waktu melihat-lihat rumah tua, tapi semakin dia berbicara soal itu, semakin dia ingin melihatnya sekali lagi dan mencari tahu kalau punjung kecil kembar itu masih berdiri. “Ada panel rahasia di rumah itu,” ujarnya licik, tak berkata yang sebenarnya tapi berharap begitu, “dan konon semua perak keluarga itu tersembunyi di sana saat Sherman lewat tapi tak pernah diketemukan...”
                “Hei!” ujar John Wesley. “Ayo ke sana! Kita akan menemukannya! Kita akan bongkar semua kayunya dan menemukannya! Siapa yang tinggal di sana? Di mana belokannya? Hei Yah, bisa kita mampir ke sana.”
                “Kita belum pernah lihat rumah yang ada panel rahasianya!” June Star memekik. “Ayo ke rumah yang ada panel rahasianya itu! Hei Yah, bisa kita lihat rumah yang ada panel rahasianya itu!”
                “Rumah itu tak jauh dari sini, Aku tahu,” ujar nenek. “Tak sampai dua puluh menit.”
                Bailey melihat lurus ke depan. Rahangnya sekaku ladam. “Tidak,”  ujarnya.
                Anak-anak mulai berteriak dan menjerit kalau mereka ingin melihat rumah dengan panel rahasia itu. John Wesley menendang bagian belakang kursi depan dan June Star menggantung di pundak ibunya dan merengek mati-matian ke kupingnya kalau mereka tak pernah bersenang-senang bahkan saat liburan mereka, kalau mereka tak pernah bisa berbuat apa yang MEREKA inginkan. Si bayi mula menjerit dan John Wesley menendang bagian belakang kursi depan amat keras hingga ayahnya bisa merasakan pukulan di ginjalnya5.
                “Baiklah!” Serunya dan meminggirkan mobil untuk berhenti di pinggir jalan. “Maukah kalian diam? Maukah kalian diam sebentar? Kalau kalian tidak diam, kita tak akan kemana-mana.”
                “Itu akan sangat mendidik mereka,” bisik nenek.
                “Baiklah,” ujar Bailey, “tapi dengar: Cuma sekali ini saja kita berhenti buat hal macam begini. Cuma sekali ini saja.”
                “Jalan tanah yang musti kamu ambil sudah lewat sekitar satu mil,” nenek menuntun. “Aku perhatikan waktu kita lewat.”
                “Jalan tanah,” erang Bailey.
(Bersambung...)
                  

1...
2 maksudnya EAT=Makan begitu ya, Nek?
3  Frase aslinya funny bones: makna harfiahnya mungkin ujung siku, yang kalau kejedot suatu benda semriwing bagaimana begitu; makna kiasannya kata google selera humor seseorang, yang diandaikan berlokasi di salah satu organ fisik khayali. Bahasa Indonesianya susah ini ya cari padanannya? Di Indonesia ada organ yang mengandung kata ‘lucu’, kah?
4 COBA BARBEKYU RED SAMMY’S. TIADA DUANYA! RED SAM! BOCAH GENDUT DENGAN SENYUM BAHAGIA! SEORANG VETERAN! RED SAMMY KAWANMU!
5 Bahasa Inggrisnya ginjal itu kidney, kan ya? jadi ada semacam efek ditendang kid di kidney (apa ini?)


 *diterjemahkan dari cerpen Good Man Is Hard to Fond karya Flanerry O'Connor 

0 komentar:

Posting Komentar