Kamis, 21 Desember 2017

Muhammad Din* - Rudyard Kipling

Siapakah orang yang berbahagia? Dia yang melihat di dalam rumahnya sendiri di kampung halamannya, anak kecil bermahkotakan debu, melompat dan jatuh dan menangis.
(“Munichandra,” diterjemahkan oleh Profesor Peterson.)

Bola polo itu sudah usang, lecet, pecah, dan berkerak. Bola itu berada di mantelpiece di antara pipa-pipa rokok yang Imam Din, khitmatgar, bersihkan untukku.
“Apa Yang Mulia ingin bola ini?” ujar Imam Din, dengan hormat.
Yang Mulia tidak menyimpannya untuk alasan khusus; tapi buat apa bola polo untuk seorang khitmagar?
“Bila Yang Mulia berkenan, Saya punya putra. Dia pernah melihat bola ini, dan ingin bermain bola ini. Saya bukan menginginkannya untuk diri saya.”

Tak seorang pun akan langsung menuduh si tua tambun Imam Din ingin bermain dengan bola polo. Dia membawa benda babak belur itu ke beranda; dan di sana menyusul badai cicit suka cita, derap kaki kecil, dan gedebak-gedebuk bola menggelinding sepanjang lantai. Rupanya si anak laki-laki sudah menunggu di luar pintu untuk mendapatkan hartanya. Tapi bagaimana dia bisa melihat bola polo itu?
Besoknya, balik dari kantor setengah jam lebih awal ketimbang biasa, Aku sadar akan sesosok cilik di ruang makan—sesosok mungil, gempal mengenakan baju cupet konyol yang menimpa, mungkin, setengah perut gendutnya.  Ia berkeliling-keliling ruangan, jempol di dalam mulut, bersenandung sendiri waktu ia meneliti gambar-gambar. Pasti inilah si ‘anak kecil’.
Dia tak ada urusan di ruanganku, tentu; tapi sungguh asyik dalam penjelajahannya sehingga dia tak melihatku di pintu. Aku melangkah masuk ke ruangan dan mengagetkannya nyaris sampai kejang. Dia terduduk di lantai terkesiap. Matanya terbuka, dan mulutnya ikut menganga. Aku tahu apa yang bakal terjadi, dan lari, disusul suatu lolongan kering, panjang yang mencapai tempat pelayan jauh lebih cepat ketimbang semua perintahku yang sudah-sudah. Dalam sepuluh detik Imam Din sudah ada di ruang makan. Lalu isak putus asa mekar, dan aku kembali mendapati Imam Din menegur si pendosa cilik yang memakai nyaris seluruh jengkal bajunya sebagai kacu.
“Bocah ini,” ujar Imam Din, bernada yuridis, “memang setan—iblis. Dia akan, pastinya, masuk bui karena kelakuannya.” Pekik lagi dari yang bertobat, dan permintaan maaf panjang lebar untukku dari Imam Din.
“Kasih tahu si bayi,” ujarku, “kalau Sahib tidak marah, dan bawa dia pergi.” Imam Din menyampaikan pengampunanku kepada si pelanggar, yang sekarang menarik sekujur bajunya ke sekitar leher, bergeming, dan teriakannya surut menjadi isak. Keduanya pergi ke pintu. “Namanya,” ujar Imam Din, seolah namanya bagian dari kesalahannya, “Muhammad Din, dan dia ini setan.” Bebas dari bahaya, Muhammad Din berbalik di dalam rangkulan ayahnya, dan berujar serius, “Memang benar namaku Muhammad Din, Tahib, tapi aku bukan setan. Aku ini manusia!”
Sejak hari perkenalanku dengan Muhammad Din itu, tak pernah lagi dia masuk ke ruang makanku, tapi di taman, kami saling menyapa kelewat resmi, meski percakapan kami sebatas “Talaam, Tahib,” darinya, dan “Salaam, Muhammad Din,” dariku. Sehari-hari sekembaliku dari kantor, baju putih cilik, dan badan gemuk mungil biasa menyembul dari naung punjung tempat dia sembunyi; dan sehari-hari Aku memeriksa kudaku di sini, hingga salamku mungkin kurang jelas atau kurang pantas.
Muhammad Din tak pernah punya teman. Dia biasa berlari kecil seputar halaman, keluar masuk semak minyak jarak, dalam tugas misteriusnya sendiri. Suatu hari Aku kesandung salah satu kriyanya di tanah. Dia mengubur separuh bola polo dalam tanah, dan menancapkan enam bunga marigold layu melingkarinya.
Di luar bundaran itu ada persegi kasar, digurat dengan serpih bata merah diselingi pecahan tembikar china; keseluruhannya dibatasi oleh onggokan tanah. Tukang air dari bibir sumur membela si arsitek cilik, bilang kalau itu satu-satunya permainannya dan tidak merusak tamanku.
Tuhan tahu kalau Aku tak punya niat menyentuh karya bocah itu dulu atau nanti; tapi, malamnya, saat makan angin sepanjang taman aku tak sadar betul; maka Aku menginjak-injak, sebelum sadar, kelopak marigold, onggokan tanah, dan pecahan kotak sabun menjadi kekacauan yang melampaui segala harapan perbaikan. Paginya, Aku mendapati Muhammad Din terisak sendiri di atas puing yang kubuat. Seseorang dengan kejam bilang ke dia kalau Sahib marah benar dengannya lantaran merusak taman, dan mencerai-beraikan sampah, pakai bahasa kasar pula sementara Muhammad Din bekerja keras sejam lamanya menghapus setiap bekas onggokan tanah dan pecahan tembikar, dan dengan berkaca-kaca dan raut memelas dia berujar, “Talaam, Tahib,” waktu aku pulang dari kantor. Penyelidikan yang gegabah mengakibatkan Imam Din memberitahu Muhammad Din kalau, karena kebaikanku, dia diijinkan bermain-main sesukanya. Arkian anak itu besar hati dan turun untuk merencanakan skema dasar sebuah bangunan megah yang jauh melampaui penciptaan bola-polo-marigold.
Untuk beberapa bulan, si tembem cilik eksentrik beredar di orbitnya antara semak minyak jarak dan debu; selalu membentuk istana megah dari bunga-bunga layu yang dicampakkan oleh pemikul, kerikil-kerikil basah, pecahan kaca, dan rontokan bulu-bulu, kukira, dari ayam piaraanku—selalu sendirian, dan selalu bersenandung sendiri.
Suatu hari sekeping kerang laut berwarna cerah terjatuh di dekat bangunan kecil barunya; dan kulihat kalau Muhammad Din semestinya membangun sesuatu yang lebih dari sekadar mewah dengan kegagahan cangkang itu. Kalau tidak Aku bakal kecewa. Dia menekur sejam lamanya, dan senandungnya mekar menjadi nyanyian sukacita. Lalu dia mulai menggurat tanah. Ini pastinya bakal jadi istana yang menakjubkan, yang satu ini, lantaran panjangnya hampir dua meter dan lebarnya hampir semeter pada skema dasarnya. Tapi istana itu tak pernah rampung.
Besoknya tak ada Muhammad Din di depan delman, dan tak ada “Tallam, Tahib” menyambutku pulang. Aku mulai terbiasa dengan sambutan itu, dan keabsenannya menggangguku. Besoknya lagi Imam Din memberitahuku kalau anak itu sedikit demam dan butuh kina. Dia dapat obatnya, dan seorang Dokter Inggris.
“Mereka tak punya stamina, bocah-bocah itu,” kata Dokter, sewaktu meninggalkan tempat tinggal Din.
Seminggu setelahnya, meski Aku berusaha menghindarinya, Aku bertemu di jalan yang menuju ke pemakaman Mussulman, Imam Din ditemani seorang kawannya, membopong, dibungkus kafan, apa yang tersisa dari si kecil Muhammad Din.


Tamat

*diterjemahkan dari The Story of Muhammad Din karya Rudyard Kipling

0 komentar:

Posting Komentar