Selasa, 23 Januari 2018

The Hack Driver - Sinclair Lewis

Si Kusir*

Aku berani bilang tak ada pria berselingkuh, entah dia direktur bank atau senator atau dramawan, yang tidak mengkhianati cinta demi perempuan jangak tua bangka yang mengenakan topi yang bukan main noraknya, hidup di gubuk dan mata pencahariannya bahkan kamu tak mau membahasnya kelewat rinci. (Ini kata Hakim Mahkamah Agung. Aku tak mau pura-pura mendukung teori atau ceritanya.) Dia mungkin saja pramuwisata Maine, atau montir tua yang biasa menjaga livernya stabil, atau pengurus penginapan yang paripurna brengseknya yang minggat untuk membedil bebek saat dia semestinya menyapu lantai, tapi seorang pesohor kotamu yang angkuh akan mencari akal untuk balik dan menemuinya tiap tahun, dan mengeluyur bareng, dan diam-diam mengenalkannya dengan semua pemuka kota yang congkak.

Ada sebegitu banyak kebenaran, paling tidak, pada soal Pertemuan Umum1 ini yang kamu baca di iklan novel Western yang liar dan lusuh. Aku tak tahu filosofinya; mungkin maksudnya bahwa kita memelihara kesederhanaan yang layak, tak peduli seberapa banyak kita terikat pada Materi, pada rumah, dan mobil dan istri yang mahal. Atau lagi-lagi itu mungkin saja hadiah keseluruhan permainan peradaban ini; boleh jadi kalau manusia yang kelihatannya beradab itu intinya cuma seorang pengembara yang suka baju flanel dan pipi berewok dan memaki dan piring timah kotor untuk segala keadaan, higenis, hidup yang berpandangan-ke-depan kaum perempuan kita membuat kita memakainya.

Waktu Aku lulus sekolah hukum kukira Aku kurang lebih sepalsu dan seidiot dan seambisius kebanyakan anak muda. Aku ingin naik, secara sosial dan finansial. Aku ingin jadi terkenal dan makan malam di rumah yang besar bareng orang yang ngeri sama Rakyat Jelata yang tak berdandan buat makan malam. Kamu tahu, Aku tak belajar kalau satu-satunya hal yang lebih menjemukan ketimbang makan malam resmi ialah percakapan setelahnya, saat para korban sedang mencerna makan malamnya dan menghimpun cukup kekuatan untuk main kartu. Oh, Aku memang pedet yang sedap! Aku bahkan berencana menikah dengan mewah. Bayangkan kemudian bagaimana Aku merasa waktu, sehabis menerima kehormatan dan menjadi asisten kerani kelimabelas di firma hukum Hodgins, Hodgins, Berkman and Taupe yang hebat, Aku ditugasi tidak untuk menyiapkan laporan tapi menyampaikan surat panggilan! Seperti detektif swasta murahan! Seperti opsir kotor! Mereka bilang Aku musti mengawali seperti itu dan, mencoba tabah, Aku dengan lesu pergi bekerja. Aku ditendang keluar dari ruang ganti aktris, dan dari waktu ke waktu Aku selayaknya digebuk oleh penggugat yang besar dan geram. Aku jadi tahu, dan terlebih lagi benci, tiap sudut kota yang kotor dan gelap. Aku berangan untuk minggat ke kampung halamanku, tempat Aku bisa seketika itu juga jadi pengacara hukum penuh. Aku girang suatu hari saat mereka mengirimku sejauh enam puluh lima kilometer atau lebih ke suatu kota yang namanya New Mullion, untuk menyampaikan surat panggilan buat Oliver Lutkins. Lutkins ini bekerja di Northern Woods, dan dia tahu fakta tentang persetejuan batas hutan tertentu. Kami perlu dia sebagai saksi, dan dia sudah mengelak panggilan.

Waktu Aku keluar kereta di New Mullion, tiba-tiba kasihku akan desa yang santun dan sahaja terhempas oleh pemandangan tempat itu, jalanan lumpur dan barisan warung-warungnya entah yang tidak dicat atau dipulas coklat suram. Meski di situ ada delapan atau sembilan ribu penghuni, New Mullion sekumuh bedeng penambangan. Ada seorang yang ramah di stasiunnya—pak pos. Dia mungkin empatpuluhan, bermuka merah, riang, berewok; dia mengenakan overal dan sweter denimnya seolah itu kepunyaannya, dia lumayan kotor dan sangat bersahabat dan kamu langsung tahu dia suka orang-orang dan menepuk punggung mereka sekadar beramahtamah.

“Aku mau,” ujarku kepadanya, “ketemu orang yang namanya Oliver Lutkins.”

“Dia? Aku lihat dia di sekitar sini ndak sampai sejam lalu. Orang yang susah dicari, sungguh—selalu sibuk sama bisnis gadungan atau lainnya. Mungkin lagi main poker di belakang warung abah-abah Fritz Beinke. Dengar, nak—buru-buru ketemu Lutkins?”

“Iya. Aku mau mengejar kereta pulang sore.” Aku jadi serahasia detektif.

“Aku kasih tahu. Aku punya andong. Aku akan keluarkan pedatinya dan kita bisa berkendara dan cari
Lutkins. Aku tahu nyaris semua tempat dia biasa nongkrong.”

Dia baik betul, dia segera saja menyerapku dalam lingkar kasihnya, yang kurasai semarak dengan kehangatan. Aku tahu, tentu saja, kalau dia mengangkat bisnis, tapi keramahannya memang sungguh-sungguh, dan kalau Aku musti membayar ongkos andong biar ketemu orang itu, Aku senang duit itu pergi ke orang baik ini. Aku menyewanya dua dolar sejam; dia membawa dari pondoknya, seblok jauhnya, satu benda seperti sekotak piano hitam di atas roda-roda.

Dia tidak membukakan pintu, pastinya dia tidak berujar “Siap, tuan.” Kurasa dia akan mati duluan sebelum memanggil siapapun “tuan.” Saat dia sampai di gerbang Surga dia akan memanggil St. Peter “Pete,” dan Aku membayangkan si santo baik akan suka. Dia berujar, “Nah, anak muda, inilah si delman istimewa,” dan seringainya—nah, itu membuatku merasa kalau Aku sudah lama jadi tetangganya. Mereka siap benar membantu orang asing, orang-orang desa itu. Dia sampai membuat ini menjadi tugasnya sendiri untuk menemukan Oliver Lutkins demi aku.

Dia berkata, malu-malu: “Aku tak mau mencampuri urusan pribadimu, anak muda, tapi tebakanku kamu mau menagih utang Lutkins—dia tak pernah bayar siapa pun sesen pun; dia masih utang aku enam kali main poker Aku bodoh betul mau ikut-ikutan. Dia bukan semacam Preman tapi toh dia cuma tentu saja benci melepas sepeser saja. Jadi kalau kamu coba menagih duit dari dia, kita lebih baik mengendap-endap dan mengepungnya. Kalau kamu langsung tanya ke dia—siapa pun tahu kamu dari kota, pakai trik Fedora-mu itu—dia akan curiga dan minggat. Kalau kamu mau, Aku akan masuk ke Fritz Beinke dan tanya ke dia, dan kamu bisa sembunyi di belakangku.”

Aku suka sarannya. Sendirian saja Aku mungkin tak pernah bisa menemukan Lutkins. Sekarang, Aku punya pasukan cadangan. Berturut-turut Aku memberi tahu si kusir kalau Aku ingin memberikan surat panggilan untuk Lutkins; kalau orang itu menolak secara kasar untuk bersaksi dalam perkara dimana pengetahuan tentang pembicaraan tertentu akan membikin jelas semuanya. Si kusir menyimak sunguh-sungguh—dan Aku masih cukup muda untuk berterimakasih lantaran dianggap serius oleh seorang berusia empatpuluhan. Pada akhirnya dia menepuk pundakku (sangat menyakitkan) dan terkekeh: “Nah, kita akan bikin sedikit kejutan buat Brer Lutkins.”

“Ayo jalan, kusir.”

“kebanyakan orang sini panggil aku Bill. Atau Magnuson. William Magnuson, kereta angkutan mewah.”

“Baiklah, Bill. Bisa kita ketemu dia di toko perkap kuda—punya Beinke?”

“Ya, kemungkinan ada di sana ketimbang tempat lain. Main poker terus-terusan dan menggertak punya kartu bagus—bajingan dia!” Bill kelihatan mengagumi kemampuan Mas Lutkins sebagai bajingan; Aku berkhayal kalau dia jadi kapolsek dia akan menangkap Lutkins dengan semangat membara  dan menggantungnya dengan rasa iba.

Di warung abah-abah yang agak suram kami turun dan masuk. Ruangannya berurap bau kulit yang disamak. Seseorang yang sedikitnya seperti laki-laki, agaknya Pak Beinke, sedang menjual ikat leher kuda kepada seorang petani.

“Lihat Nolly Lutkins sekitaran sini hari ini? Temannya lagi cari dia,” ujar Bill, dengan ketenangan licik.

Beinke melihat melewatinya pada sosok asingku yang malu-malu; dia ragu dan mengaku: “Yuh, dia di sini barusan. Kayaknya dia pergi ke Swede buat cukur.”

“Nah, kalau dia ke sini, bilang dia Aku cari dia. Mungkin mau main poker sebentar. Aku dengar kalau Lutkins main di sini.”

“Yoh, kurasa dia terkenal sebagai Bandar,” senggak Beinke.

Kami mencari-cari di tempat Swede si tukang cukur. Bill lagi-lagi lumayan bagus memimpin, waktu Aku mengintai di pintu. Dia bertanya tak hanya kepada si Swede tapi juga dua pelanggan kalau-kalau mereka melihat Lutkins. Si Swede tegas menjawab tidak; dia gusar: “Aku tak lihat dia, dan Aku tak pengin lihat, tapi kalau kamu temukan dia bisa kamu tagih tiga puluh lima dolar utangnya ke aku.” Salah seorang pelanggan merasa dia melihat Lutkiins “berjalan di Jalan Utama, pada sisi sebelah hotel.”

“Kalau begitu,” simpul Bill, saat kami susah payah balik ke pondok, “utangnya ke Swede’s sudah numpuk, dia mungkin cukur di Heinie Gray’s. Dia kelewat malas cukur sendiri.”

Di tukang cukur Gray kami telat lima menit. Lutkins barusan pergi—barangkali ke tempat bilyar. Di tempat bilyar kelihatannya dia cuma beli sebungkus rokok terus pergi. Jadi kami mengejarnya, tepat di belakangnya tapi tak pernah menangkapnya, sejam lamanya, sampai jam satu lewat dan Aku sudah lapar. Lahir di desa sepertiku, dan di kota kerap kesepian lantaran watak kampung yang keras namun tulus, Aku girang oleh opini sinis Bill pada tukang cukur dan pastor dan dokter dan kurir dari New Mullion yang nyaris tak menggubris apakah Aku ketemu Lutkins atau tidak.

“Bagaimana kalau makan dulu?” Usulku.” Ayo ke restoran dan kutraktir makan siang.”

“Wah, musti balik ke rumah si perempuan tua. Dan Aku tak peduli restoran-restoran itu—keempat-empatnya dan semuanya bobrok. Kubilangi yang akan kita perbuat. Suka pemandangan bagus? Ada pemandangan elok dari Bukit Wade. Kita bisa minta si perempuan tua bikin makan siang—dia tak bakal minta lebih dari setengah dolar, dan sebanyak itu yang kamu bayar buat gorengan di kedai—dan kita akan naik ke sana dan serasa piknik Minggu pagi.”

Aku tahu kalau temanku Bill bukannya tanpa tipu muslihat; Aku tahu kalau ramah-tamahnya pada Sobat Muda dari Kota bukanlah sama sekali soal cinta persaudaraan. Aku membayarnya untuk menemaniku; total kubayar dia untuk enam jam (termasuk jam makan siang) lumayan ngeri juga sebenarnya. Tapi dia bukannya lebih tak jujur ketimbang Aku, yang membebankan semua tagihan ke Firma, dan pastinya lumayan juga membayarnya buat menemaniku. Ketenangan khas pedesaannya, kebijaksanaan alaminya, menjadi suatu siraman kesegaran buat si bocah kota. Saat kami duduk di puncak bukit, melihat ke seberang kebun buah dan sungai  yang meluncur di antara pohon-pohon willow, dia bercerita soal New Mullion, menyodorkan segaleri penuh potret. Dia sinis namun lembut. 

Tak ada yang dilewatkannya, satupun tak ada, tak peduli betapa ironis tawanya, yang diluar pemahaman dan pengampunannya. Dengan warna kemerahan dia melukiskan istri pendeta ketika si istri paling berdosa paling lantang menanggapi pada apa yang disebutnya “gereja Episcopalopian.” Dia berkomentar soal bocah yang pulang kampung dari kuliah mengenakan “celana es krim,” dan soal pengacara yang, setelah tahun-tahun adu argumen yang menyiksa melawan istrinya, memasang antara kerah linen atau dasi, tapi tak pernah keduanya. Dia membikin mereka hidup. Sehari itu Aku jadi tahu New Mullion lebih baik ketimbang  yang sejauh ini kutahu di kota, dan lebih menyukainya juga.

Andai saja Bill itu anak kuliahan dan orang kota yang dungu, tapi dia sudah banyak berkelana di dunia kerja. Dia sudah pernah bekerja pada regu perkeretaapian, di panen ladang dan kamp kontraktor, dan dari petualangannya dia membawa pulang satu filosofi kesederhanaan dan tawa. Dia menguatkanku. Sekarang, mengingat Bill, Aku tahu apa yang orang maksud (meski Aku jijik sama omong kosong) saat mereka mendamba soal “cowok tulen.”

Kami tinggalkan kebun buah yang tentram itu dan kembali mencari Oliver Lutkins. Kami gagal menemukannya. Paling tidak Bill memojokkan teman Lutkins dan membikin dia mengaku kalau “dia rasa Oliver pergi ke perkebunan ibunya, tiga mil ke utara.”

Kami berkendara ke sana, penuh taktik.

“Aku tahu ibunya Oliver. Dia sebuah teror. Dia sehembus topan,” Bill mendesah. “Aku bawa peti buat dia suatu kali, dan dia nyaris mengulitiku lantaran Aku tak memperlakukan peti itu selayaknya sepeti telur. Dia kira-kira sembilan kaki tingginya dan empat kaki tebalnya dan selincah kucing, dan dia pastinya merusak Queen’s English2. Aku yakin Oliver dengar kalau seseorang membuntutinya dan dia menyelinap ke sana buat sembunyi di dalam rok ibunya. Nah, kita akan coba bikin ulah sama dia. Tapi mendingan biar aku saja yang lakukan, Nak. Kamu mungkin hebat soal bahasa Latin dan geografi, tapi kamu tak terdidik soal memaki.”

Kami berkendara memasuki sebidang lahan pertanian tandus; kami disambut oleh perempuan tua gede dan riang. Pengawalku berdiri sok akrab di depannya dan menggeram, “Ingat aku? Aku Bill Magnuson, pak pos. Aku pengin ketemu anakmu Oliver. Temanku ini dari kota punya hadiah buat dia.”

“Aku sama sekali tak tahu soal Oliver dan Aku tak mau tahu,” dia melenguh.

“Ayolah. Kami sudah capek main-main. Anak muda ini pengacara kepala provos, dan kami punya hak dan alasan buat cari orang yang namanya Oliver Lutkins.”

Bill membikinnya tampak ngeri, dan si Amazon kelihatan kagum. Dia undur ke dapur dan kami membuntuti. Dari tungku pendek tua, dipagut oleh panas menahun menjadi kelabu kelam keperakan, dia merenggut sadiron, dan dia mendekati kami, berteriak, “Kalian cari saja semau kalian—asal kalian tak keberatan kebakar jadi abu!” Dia menggertak, dia berlagak, dia terbahak saat kami tergugup-gugup undur.

“Ayo keluar dari sini. Dia bisa-bisa bikin mampus kita,” erang Bill dan, di luar: “Apa kamu lihat seringainya? Dia mengolok-olok kita. Kamu terima?”

Aku setuju itu memang penghinaan besar.

Toh, kami bisa melakukan pencarian yang memadai. Pondok itu cuma satu lantai. Bill mengelilinginya, mengintip lewat semua jendela. Dia menjelajahi lumbung dan kandang kuda; kami lumayan yakin kalau Lutkins tak ada di sana. Saat itu nyaris waktunya buatku untuk mengejar kereta sore, dan Bill mengantarku ke stasiun. Dalam perjalanan ke kota Aku cemas sedikit saja soal gagalnya bertemu Lutkins. Aku terserap dalam pikiran tentang Bill Magnuson. Sungguh, Aku menimbang balik ke New Mullion buat berpraktik hukum. Betapa Aku temui Bill sungguh manusia yang dalam dan kaya mungkinkah Aku sanggup untuk tak mengasihi meski belum begitu kenal Fritz Beinke dan si tukang cukur Swede dan seratusan tetangga bertutur halus, sederhana, bijak  lainnya? Aku melihat satu kehidupan jujur dan bahagia melebihi pelajaran teratur firma hukum universitas. Aku girang, seperti seseorang yang menemu harta karun.

Tapi kalau Aku tak ambil pusing soal Lutkins, kantor iya. Aku bertemu mereka dalam keadaan gelisah paginya; gugatannya siap dipersidangkan; mereka musti mendapatkan Lutkins; Aku merasa malu dan tolol. Pagi itu karirku terancam berakhir. Pak Kepala melakukan sebisanya asal tak bikin kacau; dia entah bagaimana kelihatan betul kasih isyarat kalau Aku bakal merampungkan kerja kotor ini. Aku ditugaskan balik ke New Mullion, dan bersamaku mereka sertakan seorang bekas kerani pabrik kayu yang kenal Lutkins. Aku agak kecewa, lantaran itu bakal mencegahku keluyuran lagi dalam kelembaman menawan Bill Magnuson.

Saat kereta tiba di New Mullion, Bill ada di peron stasiun, dekat gerobaknya. Yang bikin heran ada juga itu si naga bangkotan, ibunya Lutkins, di sana mengobrol dengannya, dan mereka bukannya cekcok malah ketawa.

Dari undakan gerbong Aku menunjuk ke mereka pada si kerani pabrik kayu dan seperti bocah memuja pahlawan, Aku berbisik: “Itu kawan baik, pria sejati.”

“Ketemu dia di sini kemarin?” tanya si kerani.

“Aku seharian bareng dia.”

“Dia bantu kamu cari Oliver Lutkins?”

“Ya, dia banyak bantu aku.”

“Jelaslah! Dia tuh Lutkins!”

Tapi yang betul-betul bikin jengkel ialah saat Aku menyerahkan surat panggilan Lutkins dan ibunya tertawa padaku seolah aku ini bocah tujuh tahun yang pintar, dan dengan perhatian penuh kasih mereka memintaku pergi ke rumah tetangga dan minum secangkir kopi.

“Aku kasih tahu mereka soal kamu, dan mereka setengah mati pengin ketemu kamu,” ujar Lutkins riang. “Mereka itu orang di kota yang tak sempat ketemu kamu kemarin.”


* diterjemahkan dari The Hack Driver karya Sinclair Lewis
2 Bahasa Inggris Halus.

0 komentar:

Posting Komentar