Minggu, 14 April 2013

Dua Lagi di atasnya, Kan?



Terima kasih Tuhan. Puji syukur kali ini bersungguh-sungguh memanjat ke Kamu. Terima kasih aku hidup. Terima kasih atas pemberian-Mu yang satu ini.
            Selama ini aku memang bodoh. Tepatnya memiliki pemikiran tolol. Sudut pandang ngawur. Persepsi sembrono.
            Masih banyak hal bisa diperbuat. Masih banyak buku bisa dibaca. Masih ada satu buku yang mesti ditulis? Ya, paling tidak aku akan baca buku tentang teori-teori sastra, atau yang lain yang seperti itu. Dan iya, aku masih akan bisa menulis satu buku. Pasal yang harus kupenuhi, aku harus hidup. Aku ingin hidup. Dan aku bersyukur aku hidup.
            Di utara kepulauan ini. Indochina. Birma. Ada yang susah payah bertahan hidup. Menghindari genosida. Juga di negara-negara yang masih dilanda perang.  Di sini aku punya pikiran, “ah, lagian sebentar lagi aku mati” (aku pernah mengetik ‘I’m 23. And I’m gonna die. Just kidding (ikon tawa)’ pas chatting dengan seorang Pakistan. Dia ketik, ‘Itu bukan lelucon yang lazim di sini’. Arti harfiahnya kurang lebih seperti itu). Di belahan dunia lain. Separuh dunia dari kepulauan ini. Benua eksotis. Entah kenapa itu menjadi benua yang paling ingin aku kunjungi sebelum mati (kenapa jadi banyak kata mati di sini?). Ada yang mesti berjalan berkilo-kilometer untuk mendapatkan air. Di sini aku membuang-buang dengan enaknya. Pulau besar paling timur kepulauan ini. Beberapa kampung dilanda kelaparan. Apa kau pernah hanya membayangkan saja rasanya mati kelaparan. “Mati kelaparan,” kata berita itu. Dan di sini mudah kita makan, menyisakannya, tanpa ada rasa syukur. Apa ini?
            Apa itu salahku. Bukan, kan? Kalau aku punya kuasa, semua itu lenyap. Inginku. Sayang, yang kupunya cuma empati. Dan tak akan pernah menjadi aksi. Karena selama ini, pikiran ini. Pikiran ini hanya menghardik Tuhan. Tuhan jika Kau memang adil, Keadilan seperti apa yang Kau miliki itu. Macam mana standar keadilan-Mu?
            “Keadilan tidak harus memberi atau menerima dalam jumlah yang sama. Keadilan adalah menempatkan sesuatu pada tempatnya atau memberikan sesuatu menurut takarannya.” Ah, aku gunting itu dari salah satu artikel dalam rubrik Opini Kedaulatan Rakyat, 28 Maret 2013.
            Jadi, 11 bocah yang tersasar peluru kendali di satu negara timur-tengah itu ‘sesuai takaran, pada tempatnya’? Dan mereka yang membuatnya, menamakan itu peluru kendali? Kenapa bukan peluru kurang terkendali?
            Jadi genosida di satu negara dengan yang lain, yang beda jumlah korban, adalah ‘menurut takarannya, pada tempatnya’? Jadi beberapa orang yang mati kelaparan di daerah terpencil, dan seorang bulimia yang mampu memenuhi hasratnya di tempat lain, dan obesitas di tempat yang lain lagi adalah ‘sesuai takaran, pada tempatnya’? Tuhan bisakah sedetik saja Kau bekerja dengan cara yang tidak misterius.
            Sebelum kututup tulisan ini, karena memang sudah terlalu banyak untukku. Sebuah pengakuan. Tak pernah berharap akan sehebat pengakuan milik Tolstoy. Tentang perihal suicidal itu. Semoga jika yang sungguh besar akan datang, satu buku itu sudah tertulis. Pram bilang, “Menulislah, jika tidak, akan ditinggalkan sejarah.” Ya, aku ingin mati muda dan diingat sejarah. Paling tidak orang sekitarku bisa belajar dari warisanku. Dan semoga tulisan yang bagus akan jadi warisanku.
            Jika, seperti yang kusebutkan di atas. Tentang perihal suicidal yang besar mencengkeram benak lagi, aku cuma ingin bilang, itu hanya karena satu atau beberapa hal remeh temeh. Bukan karena terpaan badai berita bunuh diri artis Korea. Juga jelas bukan karena Kurt Cobain. Atau tahu dari satu film, Buddy Holy mati di usia 22 (siapa juga dia?). Bukan juga dari sebuah buku yang bilang bunuh diri bisa jadi tren di sebuah negara micronesia atau manapun. Bukan pula karena apa yang disebut galau akademik. Terus terang aku sudah lihat tiga kloter wisuda teman seangkatanku (yang kedua aku tak sengaja tidak hadir). Bukan pula karena perihal jomblo akut ini (musti aku akui ini salah satu revelasi terbesar). 22 23 tahun tanpa pacar. Dan aku menulis ini sambil men-download ‘Janji Joni’. Sayang setiap malam Minggu koneksi internet selalu putus. Hampir selalu.
            Kuakui pemikiran perihal suicidal ini berkat hal-hal, banyak hal, di luar kuasa manusia mana pun. Hal-hal seperti di atas itu. Bukan paragraf tepat di atas ini. Dua lagi di atasnya, kan?

Setjoeil Asa
Jogja, 13 April 2013

0 komentar:

Posting Komentar