Terima kasih Tuhan. Puji
syukur kali ini bersungguh-sungguh memanjat ke Kamu. Terima kasih aku hidup.
Terima kasih atas pemberian-Mu yang satu ini.
Selama ini aku memang bodoh. Tepatnya memiliki pemikiran
tolol. Sudut pandang ngawur. Persepsi sembrono.
Masih banyak hal bisa diperbuat. Masih banyak buku bisa
dibaca. Masih ada satu buku yang mesti ditulis? Ya, paling tidak aku akan baca
buku tentang teori-teori sastra, atau yang lain yang seperti itu. Dan iya, aku
masih akan bisa menulis satu buku. Pasal yang harus kupenuhi, aku harus hidup.
Aku ingin hidup. Dan aku bersyukur aku hidup.
Di utara kepulauan ini. Indochina. Birma. Ada yang susah
payah bertahan hidup. Menghindari genosida. Juga di negara-negara yang masih
dilanda perang. Di sini aku punya pikiran,
“ah, lagian sebentar lagi aku mati” (aku pernah mengetik ‘I’m 23. And I’m gonna
die. Just kidding (ikon tawa)’ pas chatting
dengan seorang Pakistan. Dia ketik, ‘Itu bukan lelucon yang lazim di sini’.
Arti harfiahnya kurang lebih seperti itu). Di belahan dunia lain. Separuh dunia
dari kepulauan ini. Benua eksotis. Entah kenapa itu menjadi benua yang paling
ingin aku kunjungi sebelum mati (kenapa jadi banyak kata mati di sini?). Ada
yang mesti berjalan berkilo-kilometer untuk mendapatkan air. Di sini aku
membuang-buang dengan enaknya. Pulau besar paling timur kepulauan ini. Beberapa
kampung dilanda kelaparan. Apa kau pernah hanya membayangkan saja rasanya mati
kelaparan. “Mati kelaparan,” kata berita itu. Dan di sini mudah kita makan,
menyisakannya, tanpa ada rasa syukur. Apa ini?
Apa itu salahku. Bukan, kan? Kalau aku punya kuasa, semua
itu lenyap. Inginku. Sayang, yang kupunya cuma empati. Dan tak akan pernah
menjadi aksi. Karena selama ini, pikiran ini. Pikiran ini hanya menghardik
Tuhan. Tuhan jika Kau memang adil, Keadilan seperti apa yang Kau miliki itu.
Macam mana standar keadilan-Mu?
“Keadilan tidak harus memberi atau menerima dalam jumlah
yang sama. Keadilan adalah menempatkan sesuatu pada tempatnya atau memberikan
sesuatu menurut takarannya.” Ah, aku gunting itu dari salah satu artikel dalam
rubrik Opini Kedaulatan Rakyat, 28 Maret 2013.
Jadi, 11 bocah yang tersasar peluru kendali di satu
negara timur-tengah itu ‘sesuai takaran, pada tempatnya’? Dan mereka yang
membuatnya, menamakan itu peluru kendali? Kenapa bukan peluru kurang
terkendali?
Jadi genosida di satu negara dengan yang lain, yang beda
jumlah korban, adalah ‘menurut takarannya, pada tempatnya’? Jadi beberapa orang
yang mati kelaparan di daerah terpencil, dan seorang bulimia yang mampu
memenuhi hasratnya di tempat lain, dan obesitas di tempat yang lain lagi adalah
‘sesuai takaran, pada tempatnya’? Tuhan bisakah sedetik saja Kau bekerja dengan
cara yang tidak misterius.
Sebelum kututup tulisan ini, karena memang sudah terlalu
banyak untukku. Sebuah pengakuan. Tak pernah berharap akan sehebat pengakuan
milik Tolstoy. Tentang perihal suicidal itu. Semoga jika yang sungguh besar
akan datang, satu buku itu sudah tertulis. Pram bilang, “Menulislah, jika
tidak, akan ditinggalkan sejarah.” Ya, aku ingin mati muda dan diingat sejarah.
Paling tidak orang sekitarku bisa belajar dari warisanku. Dan semoga tulisan
yang bagus akan jadi warisanku.
Jika, seperti yang kusebutkan di atas. Tentang perihal
suicidal yang besar mencengkeram benak lagi, aku cuma ingin bilang, itu hanya
karena satu atau beberapa hal remeh temeh. Bukan karena terpaan badai berita
bunuh diri artis Korea. Juga jelas bukan karena Kurt Cobain. Atau tahu dari satu
film, Buddy Holy mati di usia 22 (siapa juga dia?). Bukan juga dari sebuah buku
yang bilang bunuh diri bisa jadi tren di sebuah negara micronesia atau manapun.
Bukan pula karena apa yang disebut galau akademik. Terus terang aku sudah lihat
tiga kloter wisuda teman seangkatanku (yang kedua aku tak sengaja tidak hadir).
Bukan pula karena perihal jomblo akut ini (musti aku akui ini salah satu
revelasi terbesar). 22 23 tahun tanpa pacar. Dan aku menulis ini sambil
men-download ‘Janji Joni’. Sayang
setiap malam Minggu koneksi internet selalu putus. Hampir selalu.
Kuakui pemikiran perihal suicidal ini berkat hal-hal,
banyak hal, di luar kuasa manusia mana pun. Hal-hal seperti di atas itu. Bukan
paragraf tepat di atas ini. Dua lagi di atasnya, kan?
Setjoeil Asa
Jogja, 13 April 2013
0 komentar:
Posting Komentar