Selasa, 20 Mei 2014

Sehabis makan, orang bisa melihat sisa irisan-irisan cabai yang tergelar setengah melingkari pinggir piringnya. Bahkan malaikat Atid pun akan kesulitan jika disuruh menghitung irisan-irisan itu. Bijaksanalah Tuhan tak membiarkan tugas mahaberat ini dipikul sang malaikat.
     Meski begitu, hampir tiap ada kesempatan, sehabis santap malam, dia akan bilang ke istrinya tentang berapa cabai yang dimasukkan ke jangan buncis, atau jangan tempe-tahu atau masakan yang tadi disantap. Pertanyaan ini diucapkan sedemikian rupa, hingga jelas bahwa ini dimaksudkan untuk menyinggung kekurangpedasan masakan si istri. Dan istrinya akan menjawab bahwa jumlahnya cukup untuk membuat pelanggan warung batuk-batuk dan bersin-bersin saat mencium aroma masakannya. Atau dalam beberapa kesempatan si istri akan bilang, "jumlah yang cukup bikin pedagang cabai girang."
     Kalau kebetulan pasangan ini mengunjungi kampung kelahirannya, mereka hampir pasti membawa pulang berikat-ikat petai yang menjuntai. Sampai-sampai pernah mereka ini dikira pedagang petai yang lagi kulak. Dalam kesempatan ini, beda lagi komentar yang terlontar dari mulut si suami. Dia akan bilang, "Kamu ke manakan petai tadi?" Dengan nada yang dibuat-buat, seakan dia tidak bilang seperti barusan tapi, "kenapa nggak ada petai di oseng-oseng ini?" Padahal di hadapannya ada masakan yang disebut oleh si istri sebagai 'oseng-oseng petai'. Akan sangat tidak adil memanggil masakan itu oseng-oseng tempe atau oseng-oseng kacang panjang, karena perbandingan yang kurang ajar antara jumlah kacang panjang atau tempe dengan petai. Kalau saja ini pemilihan presiden, petai akan menang dalam satu putaran, dan uang negara yang dihemat, ralat, maksud kami diembat akan lebih banyak.
     Yah, begitulah sekilas yang bisa diceritakan tentang pasangan bahagia yang sudah berlayar dalam bahtera rumah tangganya selama hampir tiga dekade ini. Apa yang selanjutnya terjadi dengan mereka, hanya Tuhan yang tahu.

Setjoeil Asa

0 komentar:

Posting Komentar