Rabu, 28 Mei 2014

Resensi Jiwa-jiwa Mati, Nikolai Gogol



Judul Buku       : Jiwa-jiwa Mati
Penulis             : Nikolai Gogol
Penerjemah    : Koeslah Soebagyo Toer
Penerbit          : Yayasan Obor Indonesia
Cetakan           : II, 2013
Tebal               : 550 halaman



Ini adalah gunjingan hebat buat pejabat bejat yang mengaku mewakili rakyat. Oleh sebab itu, buku ini cocok bagi mereka yang muak dengan birokrasi. Ini adalah gudang karakter manusia. Oleh sebab itu, buku ini cocok bagi mereka yang benci tapi suka manusia. Ini bukan buku motivasi picisan. Agaknya cukup bagus buat mereka yang selalu melihat setitik bayangan saat menghadap matahari.
Buku ini mengambil latar Rusia. Disebut-sebut sebagai salah satu puncak pemikiran satiris Rusia abad sembilan belas, Nikolai Gogol, yang mati di usia yang belum terlalu tua tapi juga sudah tidak terlalu muda. Gogol lahir di daerah Ukraina pada 1809. Pada tahun-tahun terakhir hidupnya, ia menjadi pemeluk suatu aliran mistik yang fanatik dan suka berpuasa, yang mengakibatkan kelemahan jasmaninya. Dia meninggal di Moskow pada 1852.
Nada satir terdengar nyaring dalam Jiwa-jiwa Mati. Buku ini seakan ingin menyindir para pelaku birokrasi yang cerdik memanfaatkan kesempatan untuk keuntungan mereka sendiri. “Sindiran yang terbungkus rapi dalam humor,” kata sampul belakang buku ini. Jelas menggundang senyum bahkan tawa bagi mereka yang berselera humor tinggi.
Diceritakan, Chichikov adalah pahlawan yang tidak terlalu tampan tapi juga tidak terlalu jelek. Bisa dibilang dia berperilaku terhormat, namun juga berhati tidak terlalu bersih. Singkatnya berbeda dari pahlawan-pahlawan arus utama. Pahlawan kita ini akan mengajak para pembaca sekalian dalam perjalanan bisnisnya ke seluruh Rusia. Dia berniat membeli jiwa-jiwa mati, dalam artian harfiah, yang berarti hamba-hamba petani yang sudah mati milik seorang tuan tanah. Walaupun dalam kesimpulan akhirnya bisa juga dikatakan dalam arti kiasan.
Dalam perjalanannya, dia ditemani kusirnya Selifan, yang seperti kusir-kusir pada umumnya saat jaman itu dan Petrushka, bujang yang suka membaca. Mereka bertemu dengan karakter-karakter yang menakjubkan dalam perjalanannya melintasi negeri. Mulai dari petinggi-petinggi Kota N yang royal dan suka berpesta. Tuan tanah-tuan tanah dengan berbagai macam sifat: Manilov yang kelewat santun, Sobakevich si nostalgis, Plyushkin si kikir, Nyonya Korobockha yang suka berprasangka, Tentetnikov yang menyia-nyiakan masa muda, Jendral Betrishchev (yang kata Gogol punya banyak sifat baik, pun banyak sifat jelek. Seperti kebanyakan orang Rusia), Petukh yang sebulat semangka dan terseret arus deras urbanisasi, Platonov si pemalas yang yang berpendapat hidup itu membosankan, Khlobuyev si tuan tanah bangkrut yang fatalis dan puncaknya Konstanjoglo yang merupakan gambaran tuan tanah sekaligus petani sejati. Singkatnya, watak seluruh Rusia ada di sini.
Yah, Gogol memang meramu buku ini dengan brilian, atau kalau boleh saya katakan, brilian tiga kali: brilian, brilian, brilian. Bagaimana narasi di bagian pertama mengalir dibumbui deskripsi ciamik tentang latar tempat. Seolah pembaca sendiri diangkut troika* dan melihat secara nyata pemandangan alam Rusia masa itu di kanan-kiri.
Sampai akhir bagian pertama pembaca akan di buat bertanya-tanya tentang arah cerita. Kenapa Chichikov membeli jiwa-jiwa mati? Pertanyaan ini baru akan terkuak saat masa lalu Chichikov yang hingar-bingar dan mengharu-biru dipaparkan menjelang bagian kedua. Hingga puncaknya komplikasi pergolakan batin Chichikov dan konfliknya dengan pangeran selaku hakim atas kasus-kasus yang dituduhkan kepadanya. Jalinan keduanya dirangakai dengan begitu rumit indahnya. Namun, kasus apakah itu? Lebih baik tak usahlah diungkap di tempat ini. O, Chichikov, pahlawan yang entah berperan sebagai antagonis atau protagonis...
Sayangnya di bagian kedua ada bagian naskah yang, menurut penulisnya hilang. Ditandai dengan tulisan berbunyi: ’Sisa bab ini menghilang dalam naskahnya.’; ‘Di sini berakhirlah empat bab pertama bagian kedua Jiwa-jiwa Mati.’; ‘kalimat ini tidak selesai dalam naskahnya.’ Yang bisa jadi membuat jalan ceritanya menjadi terpotong-potong. Tapi, Hilangnya bagian naskah ini bisa juga tampak seolah disengaja, karena jika dilihat dari sudut pandang tertentu, kehilangan ini bisa jadi menambah daya tarik buku ini. Yah, tapi tampaknya juga buku ini memang belum selesai ditulis Gogol. Toh, itu tak membuat buku ini kehilangan pesonanya.
Ada pesan moral sekaligus pesan sakral di dalam sini. Ada ide sosial tentang pegawai perkotaan, tuan tanah dan petani pedesaan. Kalau boleh saya bilang, “ini jelas cangkir teh saya.”

*troika: kereta yang ditarik oleh tiga kuda.
lihat juga: Jiwa-jiwa Mati karya Nikolai Gogol Sebuah Pengantar

Mei 2014
Ini bukan rekomendasi atau resensi. Ini Cuma curahan hati.
Setjoeil Asa

0 komentar:

Posting Komentar