Rabu, 28 Mei 2014

Khay dan Naya



Ah, dia datang lagi. Kenapa dia membawa tas gunung segala? Tampak penuh pula. Pastilah isinya cerita-cerita demotivasi ala dia. Teman yang satu ini, bukan main semangatnya bila membawakan cerita-cerita macam itu.
Lagi-lagi, bukan salam atau pertanyaan tentang kabar yang pertama terlontar dari mulutnya. Dia bilang, baru saja dia bertemu dengan Khay. Temannya yang seekor kelinci.
Ya kan. Kali ini, ia bercerita tentang seekor kelinci. Khay si kelinci baru saja lari dan bersembunyi dari Naya, majikannya. Tapi sekarang, dia sudah tertangkap.
"Apa Naya jahat?" tanyaku.
"Sebaliknya," katanya.

***

Khay si kelinci terengah-engah. Jantungnya berdebar kencang, memompa darah lebih cepat, menghanyutkan adrenalin seirama dengan alirannya ke seluruh tubuh.
Tanah setengah basah bergelayutan pada bulu-bulunya yang putih. Seolah menunjukkan isi kepalanya yang lagi tak jernih. Pikiran-pikiran yang merecoki benaknya seperti tak akan hilang dalam lima kali umur hidupnya.
Dia berhadap-hadapan dengan  lima jari kecil. Kelimanya berebut meraih tubuhnya. Hanya jari tengah yang hampir menyentuh hidungnya. Tapi dengan sigap, dia memaksa tubuhnya mundur. Seakan mampu mengeser tanah dibelakangnya. Padahal, dia hanya menekuk tubuh. Dia pikir dirinya aneh. Dia tahu tidak biasanya kelinci sejenisnya berkelakuan seperti itu. Dia menajamkan mata ke arah jari-jari itu. Jari-jari itu kotor oleh tanah. Sela-sela kuku-kukunya juga dipenuhi tanah.
Tempatnya meringkuk, pekat oleh campuran bau pembersih cat kuku dan bau khas tanah pasca hujan. Tempat itu hampir sepenuhnya gelap. Satu-satunya jalan masuk cahaya tertutup oleh jemari yang sedari tadi berusaha menangkapnya.
"Aku tidak boleh tertangkap. Aku tidak boleh tertangkap. Aku tidak boleh tertangkap," suara itu mengiang-ngiang dalam benaknya. Satu detik lalu terdengar jauh dari telinga kanan, dekat di telinga kiri. Sedetik yang lain kebalikkannya. Suara itu seperti memantul-mantul dari sisi tengkorak yang satu ke sisi yang lain. Seingatnya suara itu tak hentinya berdengung, semenjak dia masuk ke dalam lubang di bawah bayang-bayang daun pohon pepaya tanpa buah, pinggir sebuah sungai keruh.
Di dalam memorinya masih terekam perlakuan majikannya. Dia tahu jika tertangkap majikannya, dia akan diperlakukan seperti dulu. Dia takut jika hal ini terjadi.
Majikannya selalu memberinya makanan dan minuman terbaik yang mungkin bisa diperoleh seekor kelinci. Dia juga dibiarkan bebas bermain di halaman belakang rumah majikannya. Majikannya juga membuatkannya rumah yang nyaman untuk tidur.
“Aku takut tidak akan bisa membalas semua perlakuan itu,” pikirnya, masih dalam lubang persembunyiannya.

***

Barusan gerimis turun. Tak seperti datangnya yang malu-malu, gerimis itu dengan lajunya berlalu. Awan mendung yang tadi menggantung di langit, berangsur kabur. Hanya sejumlah kecil sobekannya yang masih berkeliaran di atas sana. Sejumlah kecil yang gugup sebab tak sanggup menahan matahari meletakkan sinarnya di tanah, di sekitar seorang gadis kecil yang tampak kebingungan.
"Ada apa dengannya? Apa aku menyakitinya? Kenapa dia jadi aneh?" gadis kecil itu, Naya namanya, tak henti menggumam tanya, entah kepada siapa. Kepada dirinya sendiri barangkali. 
Tangan kanannya habis ditelan lubang. Hanya bahunya terlihat menyembul dari mulut lubang itu. Seperti seekor trenggiling jawa yang sedang mencari santap malam, yang menjulurkan lidah sepanjang sepertiga panjang tubuhnya ke dalam rongga-rongga sarang rayap, Naya mengorek-ngorek lubang itu. Berharap bisa menarik keluar sesuatu yang diinginkannya. Dia melakukannya sejak matahari sudah sedikit condong ke arah barat. Hingga matahari sudah lari dari pandangan dan hanya meninggalkan jejak fana, merah jingga di langit barat, dia masih saja merogoh lubang yang sama.
Hari sudah hampir gelap. Tiada sempat Naya mengindahkan warna tembaga senja. Perhatiannya mengendap dalam lubang di hadapannya.
Dia mulai menangis. Disekanya hidung dengan lengan baju sebelah kiri, lalu mata dengan punggung tangan kiri. Tapi itu tak serta-merta menghapus rasa sedih dan putus asanya.
Dia yakin kelinci peliharaannya masuk ke lubang itu. Tapi dia tidak pernah yakin dengan apa yang terjadi pada kelinci kesayangannya.

***

Dia bertemu dengan Khay di belakang rumah Naya. Dengan pagar taman sebagai pelerai, mereka bercakap-cakap. Khay bercerita tentang pelariannya dengan nada sesal yang tersamar. Setelah lama melawan jemari mungil di lubang persembunyiannya, dia sayup-sayup mendengar isak tangis. Dia melangkah ke depan, dan ketika dia yakin bahwa itu suara tangis Naya yang tertahan, jemari itu sudah menggenggam erat kaki depan sebelah kirinya. Saat mengingat kejadian itu, Khay lupa apakah dia mendekati jemari Naya dengan sengaja atau tanpa sadar. Yang jelas, ada timbul rasa kurang enak mengenai pelariannya ini. Dia menyesal telah membuat Naya sedih.
“Barangkali memang beginilah seharusnya hidupku. Dikelilingi pagar taman. Dengan rumah yang nyaman. Tanpa pemangsa, aman. Setiap saat ada makanan dan minuman. Hidup dengan kondisi lain, sungguh di luar imajinasiku,” Khay lebih mendekat ke pagar, dan menggosok-gosokan dagunya ke salah satu bilah pagar.
“Sebelumnya, tak pernah aku membayangkan bagaimana kelinci-kelinci lain hidup,” dia meneruskan, “Lalu kamu datang dengan cerita-ceritamu. Cerita tentang cara hidup yang asing, yang sulit dicerna akal. Cerita yang jadi sebab tumbuhnya tanda tanya tentang makna keberadaan.”
“Cerita bagus bukan,” tukasnya
“Terima kasih. Berkat kamu, aku jadi tahu: aku tidak pernah hidup susah.”
“Eh. Sama-sama.”
Hening sebentar.
Lalu, Khay berkata pelan, “Tapi entah kenapa, aku malah jadi merasa bersalah.”

***

Ah, dia datang lagi. Iya, dia yang selama ini berbicara di dalam kepala. Kenapa dia membawa tas gunung segala? Tampak penuh pula. Pastilah isinya cerita-cerita demotivasi ala dia. Teman yang satu ini, bukan main semangatnya bila membawakan cerita-cerita macam itu.
“Hai, apa aku sudah kasih tahu nama alias Khay?” tanya suara dalam kepala.
“Belum.” kataku
“Alan.”

Jogja, 2014
Pengembangan tulisan 'Melihat Dunia dari Lubang Kunci Pintu Kamar Sendiri'

Setjoeil Asa

0 komentar:

Posting Komentar