Ah, dia datang
lagi. Kenapa dia membawa tas gunung segala? Tampak penuh pula. Pastilah isinya cerita-cerita
demotivasi ala dia. Teman yang satu ini, bukan main semangatnya bila membawakan
cerita-cerita macam itu.
Lagi-lagi, bukan
salam atau pertanyaan tentang kabar yang pertama terlontar dari mulutnya. Dia
bilang, baru saja dia bertemu dengan Khay. Temannya yang seekor kelinci.
Ya kan. Kali
ini, ia bercerita tentang seekor kelinci. Khay si kelinci baru saja lari dan
bersembunyi dari Naya, majikannya. Tapi sekarang, dia sudah tertangkap.
"Apa Naya
jahat?" tanyaku.
"Sebaliknya,"
katanya.
Khay si kelinci
terengah-engah. Jantungnya berdebar kencang, memompa darah lebih cepat,
menghanyutkan adrenalin seirama dengan alirannya ke seluruh tubuh.
Tanah setengah
basah bergelayutan pada bulu-bulunya yang putih. Seolah menunjukkan isi kepalanya
yang lagi tak jernih. Pikiran-pikiran yang merecoki benaknya seperti tak akan
hilang dalam lima kali umur hidupnya.
Dia
berhadap-hadapan dengan lima jari kecil. Kelimanya berebut meraih
tubuhnya. Hanya jari tengah yang hampir menyentuh hidungnya. Tapi dengan sigap,
dia memaksa tubuhnya mundur. Seakan mampu mengeser tanah dibelakangnya. Padahal,
dia hanya menekuk tubuh. Dia pikir dirinya aneh. Dia tahu tidak biasanya kelinci
sejenisnya berkelakuan seperti itu. Dia menajamkan mata ke arah jari-jari itu.
Jari-jari itu kotor oleh tanah. Sela-sela kuku-kukunya juga dipenuhi tanah.
Tempatnya
meringkuk, pekat oleh campuran bau pembersih cat kuku dan bau khas tanah pasca
hujan. Tempat itu hampir sepenuhnya gelap. Satu-satunya jalan masuk cahaya
tertutup oleh jemari yang sedari tadi berusaha menangkapnya.
"Aku tidak
boleh tertangkap. Aku tidak boleh tertangkap. Aku tidak boleh tertangkap,"
suara itu mengiang-ngiang dalam benaknya. Satu detik lalu terdengar jauh dari
telinga kanan, dekat di telinga kiri. Sedetik yang lain kebalikkannya. Suara
itu seperti memantul-mantul dari sisi tengkorak yang satu ke sisi yang lain.
Seingatnya suara itu tak hentinya berdengung, semenjak dia masuk ke dalam
lubang di bawah bayang-bayang daun pohon pepaya tanpa buah, pinggir sebuah
sungai keruh.
Di dalam
memorinya masih terekam perlakuan majikannya. Dia tahu jika tertangkap
majikannya, dia akan diperlakukan seperti dulu. Dia takut jika hal ini terjadi.
Majikannya
selalu memberinya makanan dan minuman terbaik yang mungkin bisa diperoleh
seekor kelinci. Dia juga dibiarkan bebas bermain di halaman belakang rumah
majikannya. Majikannya juga membuatkannya rumah yang nyaman untuk tidur.
“Aku takut tidak
akan bisa membalas semua perlakuan itu,” pikirnya, masih dalam lubang
persembunyiannya.
***
Barusan gerimis
turun. Tak seperti datangnya yang malu-malu, gerimis itu dengan lajunya
berlalu. Awan mendung yang tadi menggantung di langit, berangsur kabur. Hanya
sejumlah kecil sobekannya yang masih berkeliaran di atas sana. Sejumlah kecil
yang gugup sebab tak sanggup menahan matahari meletakkan sinarnya di tanah, di
sekitar seorang gadis kecil yang tampak kebingungan.
"Ada apa
dengannya? Apa aku menyakitinya? Kenapa dia jadi aneh?" gadis kecil itu,
Naya namanya, tak henti menggumam tanya, entah kepada siapa. Kepada dirinya
sendiri barangkali.
Tangan kanannya
habis ditelan lubang. Hanya bahunya terlihat menyembul dari mulut lubang itu.
Seperti seekor trenggiling jawa yang sedang mencari santap malam, yang
menjulurkan lidah sepanjang sepertiga panjang tubuhnya ke dalam rongga-rongga
sarang rayap, Naya mengorek-ngorek lubang itu. Berharap bisa menarik keluar
sesuatu yang diinginkannya. Dia melakukannya sejak matahari sudah sedikit
condong ke arah barat. Hingga matahari sudah lari dari pandangan dan hanya
meninggalkan jejak fana, merah jingga di langit barat, dia masih saja merogoh
lubang yang sama.
Hari sudah
hampir gelap. Tiada sempat Naya mengindahkan warna tembaga senja. Perhatiannya
mengendap dalam lubang di hadapannya.
Dia mulai
menangis. Disekanya hidung dengan lengan baju sebelah kiri, lalu mata dengan punggung
tangan kiri. Tapi itu tak serta-merta menghapus rasa sedih dan putus asanya.
Dia yakin
kelinci peliharaannya masuk ke lubang itu. Tapi dia tidak pernah yakin dengan
apa yang terjadi pada kelinci kesayangannya.
***
Dia bertemu
dengan Khay di belakang rumah Naya. Dengan pagar taman sebagai pelerai, mereka
bercakap-cakap. Khay bercerita tentang pelariannya dengan nada sesal yang
tersamar. Setelah lama melawan jemari mungil di lubang persembunyiannya, dia
sayup-sayup mendengar isak tangis. Dia melangkah ke depan, dan ketika dia yakin
bahwa itu suara tangis Naya yang tertahan, jemari itu sudah menggenggam erat
kaki depan sebelah kirinya. Saat mengingat kejadian itu, Khay lupa apakah dia
mendekati jemari Naya dengan sengaja atau tanpa sadar. Yang jelas, ada timbul
rasa kurang enak mengenai pelariannya ini. Dia menyesal telah membuat Naya
sedih.
“Barangkali
memang beginilah seharusnya hidupku. Dikelilingi pagar taman. Dengan rumah yang
nyaman. Tanpa pemangsa, aman. Setiap saat ada makanan dan minuman. Hidup dengan
kondisi lain, sungguh di luar imajinasiku,” Khay lebih mendekat ke pagar, dan
menggosok-gosokan dagunya ke salah satu bilah pagar.
“Sebelumnya, tak
pernah aku membayangkan bagaimana kelinci-kelinci lain hidup,” dia meneruskan,
“Lalu kamu datang dengan cerita-ceritamu. Cerita tentang cara hidup yang asing,
yang sulit dicerna akal. Cerita yang jadi sebab tumbuhnya tanda tanya tentang
makna keberadaan.”
“Cerita bagus
bukan,” tukasnya
“Terima kasih.
Berkat kamu, aku jadi tahu: aku tidak pernah hidup susah.”
“Eh. Sama-sama.”
Hening sebentar.
Lalu, Khay
berkata pelan, “Tapi entah kenapa, aku malah jadi merasa bersalah.”
***
Ah, dia datang
lagi. Iya, dia yang selama ini berbicara di dalam kepala. Kenapa dia membawa
tas gunung segala? Tampak penuh pula. Pastilah isinya cerita-cerita demotivasi
ala dia. Teman yang satu ini, bukan main semangatnya bila membawakan cerita-cerita
macam itu.
“Hai, apa aku
sudah kasih tahu nama alias Khay?” tanya suara dalam kepala.
“Belum.” kataku
“Alan.”
Jogja, 2014
Pengembangan tulisan 'Melihat Dunia dari Lubang Kunci Pintu Kamar Sendiri'
Setjoeil Asa
0 komentar:
Posting Komentar