Minggu, 08 Juni 2014

Berbaring di atas kasur yang mencekung akibat berat badan ini. Di dalam kamar, ditemani lampu LED biru pelantam suara dan kipas laptop. Lagu folk berkumandang mesra. Ingatan melangkah beberapa jam ke belakang: kucing di kolong angkringan, ujung lidah api dari anglo yang mencuat di sela-sela dua ceret kaleng, peminta-minta yang menolak dikasih nasi kucing, asap rokok dari pelanggan angkringan, entah kenapa semua hal sepele itu tampak berkesan.
Percakapan dengan teman kuliah tentang pekerjaan yang belum benar-benar digenggaman: "yah, aku cuma suka nulis, tapi nggak bisa nulis."
"Tapi semua berawal dari suka. Kalau sudah suka orang akan lakukan apa saja buat lebih hebat dan hebat lagi."
Mungkin benar, tapi siapa yang hebat, atau siapa juga yang pengin jadi hebat...
Lampu kota itu mati, terus hidup saat didekati. Mungkin memang begitu sistemnya, pikirku, kalau sudah panas mati sendiri, sudah agak dingin nyala lagi.
Sepeda restorasi ini mengalir tanpa peduli siliran hasil cipta sepeda motor yang tergesa-gesa di sebelah kanan. Ada sekali waktu, dari jalur sebaliknya, sekumpulan motor berlari dengan suara menyayat hati. Meski mencoba tak peduli, buang muka, pikiran tak mau berhenti mengkritisi. Tapi siapa juga pikiran ini mau jadi hakim yang kerjaannya ketok palu. Urus diri sendiri saja tak becus. Itu hidup mereka, suka hati mereka mau diapakan.
Di pinggir jalan, trotoar, angkringan bertebaran... Di sekitar stadion, sepelemparan batu dari satu angkringan ada angkringan lagi.
Burjoan tak mau kalah. Secuil tempat dipakai buat dagang itu aak-aak. Tak jual burjo tak masalah, gelar burjoan masih bisa disemat. Anak-anak komplek gemar main di situ. Mereka menggelar tikar butut, terus main kartu sampai lupa waktu. Kopi jadi sahabat baik. Asap rokok tertahan di atap seng di atas mereka, kesulitan mencari jalan ke habitatnya. Bau tembakau membikin tersedak buat mereka yang agak alergi. Ah, bukan itu hiperbol. Meski orang suka berlebih-lebihan saat cerita. Tapi tak ada yang alergi asap rokok berani dekat-dekat tempat begitu. Barangkali ini cuma alergi hidup.
Cukup dengan lambaian tangan. Tempat itu terlewat... Bukannya anti sosial. Mungkin sedikit. Manusia mana yang tahu dengan apa yang terjadi pada dirinya?

setjoeil asa

0 komentar:

Posting Komentar