Selasa, 17 Juni 2014

Bagian tenggara lapangan yang dulunya ladang tebu itu berwarna cokelat. Beberapa pekan setelah ladang tebu dirubah jadi lapangan, rumput-rumput mulai tumbuh. Di bagian tengah ada dua lajur tanah yang tidak ditumbuhi rumput. Dua lajur yang tampak seperti jejak roda kendaraan. Hampir tiap sore di lapangan itu anak-anak yang entah anak siapa bermain layang-layang, sekadar berkumpul bersama, bersepeda atau hal lain yang biasa dilakukan anak-anak.
     Tengah hari ini, dua orang tampak berjongkok agak berjauhan satu sama lain di lapangan. Satu, yang lebih tua, di pinggir sebelah utara dekat kali kecil yang dulunya cukup sering anak-anak mencari ikan di sana, tapi sekarang airnya kering di musim kemarau. Satu lagi di tengah, dekat satu dari dua lajur bekas roda kendaraan. Mereka memegang sabit kuat-kuat, menekankan dua ibu jari pada gagangnya, bagian sabit yang tumpul diletakkan di perbatasan antara tanah dan pangkal rumput dan mereka membuat gerakan tarik-dorong.
     Sesekali salah satu dari mereka, yang muda, menyeka keringat di dahi dengan lengan kaosnya. Dia memakai kaos warna gelap lengan panjang, celana olahraga panjang biru tua bergaris putih di sampingnya, sendal jepit dan caping yang talinya dicantolkan dagu.
     Matahari bukan sahabat mereka siang ini. Ada gumpalan awan di langit sebelah utara, namun enggan memberi naungan untuk mereka yang ada di lapangan. Mereka yang menjalani takdir, mengais apa yang disediakan takdir.
     Ada kebun setengah terbengkalai di utara lapangan, bersebelahan dengan bagian tanah yang selesai dicabuti rumputnya. Di sebelah utaranya kebun setengah terbengkalai itu ada proyek pembangunan SMP. Kuli-kuli bangunannya lagi mengaso. Kalau lagi kerja suara alat-alat milik mereka bersaut-sautan membentuk orkestra tanpa harmoni.
     Raung garang motor mendadak memenuhi udara di sekitar lapangan. Bocah bermotor kros masuk lapangan. Lewat di sebelah pencabut rumput muda dengan kata permisi yang diwakili oleh raungan mesin motornya. Cuma sebentar, bolak-balik sekali, dia terus keluar lapangan. Si tua dan si muda cuma mengangkat kepala, menengok sebentar, terus asyik lagi dengan rerumputan. Tak selang lama, bocah itu balik lagi, beraksi sama persis dengan yang pertama. Dua pencabut rumput juga bertindak sama. Melihat adegan ini serasa mengalami deja vu. Bedanya di akhir adegan terakhir, asap dan debu lebih bergairah, meski cuma figuran tak mau kalah, terbang terombang-ambing angin.

setjoeil asa

0 komentar:

Posting Komentar