Minggu, 28 September 2014

Hari yang aneh. Atau harus kukatakan, kemarin hari yang aneh. Tapi apa gunanya. Kemarin adalah kemarin. Sesuatu yang disebut manusia (makhluk yang mungkin menganggap dirinya superior, tapi kuanggap menyedihkan, aku masih belum percaya aku bagian dari mereka) sejarah sejak mereka menemukan tulisan. Ya, cuma sejarah. Dan ada cabang ilmu tersendiri yang mempelajarinya. Hari yang aneh itu, yang sudah bisa disebut sejarah, yah itu memang hari yang aneh harus kuakui. Namun lingkup sejarah yang diobrolkan ini kecil. Dalam radius persepsiku. Jadi terserah aku mau jadi seperti apa sejarah itu, terutama sekali dalam bentuk tulisan. Dia yang punya kuasa, bisa menulis ulang sejarah sesukanya, katanya.
     Aku menulis tentang sapi di bawah naungan spanduk-spanduk dan kambing di bawah naungan seng. Penggambaranku agak keliru tentang lindungan mereka. Maklum saati itu lewat tengah malam, aku cuma mengandalkan ingatan, dan seringkali ingatan ini menipu. Orang menutup ingatan yang mereka lupakan dengan fantasi yang mereka inginkan atau dipaksakan secara halus ke mereka. Di bawah naungan spanduk, cuma satu batang bambu diikatkan melintang sedikit di atas seperampat bagian bawah tiang bambu, sepanjang naungan. Sebatang bambu buat mengikat si sapi. Di bawah naungan seng-lah bilah-bilah bambu melintang melingkari naungan persegi itu. Tapi cukup buat sapi dan kambing. Toh beberapa hari lagi ajal mereka....


     Kukayauh sepeda butut itu. Sebelumnya kuambil sepeda itu dari teras rumah teman. (agak aneh pakai sudut pandang orang pertama. Sudah kubilang, kan? Aku sungguh paham perasaan Harry  waktu dia ada di Afrika dengan istrinya, kakinya terluka, infeksi dan menunggu ajal. Kalau Frances Ha akan bilang, "Harry itu penulis yang bukan beneran penulis." Sudah kubilang, kan? aku nggak bisa menulis, seperti anak elang yang yakin kalau dia anak ayam dan tak bisa terbang. Meski dalam keadaan terdesak ayam bisa setengah terbang, kurasa.) Selalu saja pikiran berkecamuk dalam benak saat sampai di persimpangan jalan. Keramaian yang menulikan logika, membuncahkan benak, menyayat nurani. Victor E, Frankl akan mendiagnosis ini sebagai 'ketakutan yang diantisipasi'. Benar saja, aku terlalu fokus pada sepeda motor-sepeda motor dari arah kiri. "Eh, eh, awas...!" Brak! Ban depan sepedaku bersarang di tengah-tengah badan sepeda motor.
     "Pie e Mas. Ndelokke ra e? Nduwe mata ra? B*jing*n," si joki kuda besi mengumpat-umpat. Pemboncengnya, yang kukira istrinya mengendong anaknya. Entahlah, aku tak terlalu memperhatikan.
     "Sori, Mas." Kata itu otomatis keluar dari mulutku. Kutinggalkan pertigaan itu, dengan pikiran keruh, wajah layu, rasa bersalah, putus asa, dan perasaan-perasaan lain yang membentuk spektrum rasa yang entah letaknya di bagian tubuh mana.
     Kemanusiaan telah mati. Tidak ada secuil harapan pun di tangan makhluk-makhluk ini, manusia. Israfil, tiup sangkakalamu, mainkan musikmu, sekarang. Tapi waktu itu aku mengeneralisasi. Kurasa masih ada anak muda bermotor yang tidak mengumpat saat ada seorang ibu yang menuntun sepedanya secara luar biasa berhati-hati menyeberang jalan, dan sekonyong-konyong pemuda itu, dalam kecepatan yang wajar, datang dari titik buta si ibu. Kebebasan individu dibatasi oleh kebebasan individu lain. Kalau ingin  bebas pakai jalan, jangan cuma beli sepeda motor, beli jalannya sekalian.
     Inilah kenapa ISIS eksis, Hitler dengan Nazi-nya pernah jadi trending topic (kalau saja saat Perang Dunia Kedua ada twitter), Fasisme masih menggejala dan sekarang yang tengah mengemuka di negeri ini: oligarki (katanya reformasi, demokrasi, mana?).
     Acuh tak acuh memang asyik. Kemudahan menggerus rasa syukur.

     Di pertigaan yang sama dengan pertigaan yang jadi pelaku hilangnya rasa kepercayaanku pada kemanusiaan itu, beberapa minggu yang lalu, di salah satu pojoknya aku duduk menunggui ibu belanja. Lalu-lalang kendaraan, sepeda motor banyak, terkadang sepeda kayuh, lalu satu-dua mobil. Salah satu pengemudi mobil itu barangkali sedang terburu-buru (ya, setiap orang di dunia ini sibuk, kecuali aku. Itu fakta tak terbantahkan). Dia memencet klakson tiap lima meter sekali barangkali. Entahlah, manusia memang hewan unik yang sayangnya tidak terancam punah.
     "Saya itu punya tiga motor, tapi lebih memilih naik sepeda. Tidak tahu kenapa. Sekarang ini jamannya sudah beda," bapak-bapak di sampingku berbincang dengan bapak-bapak yang baru memarkirkan sepeda motor. Ini lebih seperti monolog bahasa krama inggil. Si bapak yang kurasa lagi menunggui istrinya belanja cuma menganggut-anggutkan kepala, sambil sesekali bilang, "Nggih."
     Di seberang jalan, jemari tukang roti lagi asyik menari bersama adonan roti. Membagi-bagi adonan jadi bulat-bulat sesuai ukuran yang dimauinya. Kaca depan besar toko roti ini mungkin sengaja dipasang untuk meyakinkan pelanggan bahwa roti-roti mereka barusan keluar dari panggangan. Seolah perempuan pembuat roti ini lagi tampil di layar kaca, dalam sebuah acara memasak yang kini marak di televisi-televisi.

     "Nanti, sejak 1845 bola akan terus bergulir, sampai lepas tengah malam. Dari Merseyside sampai London utara." Itulah kalimat pendorong yang membuatku bersepeda malam itu....


b*jing*n, iklim hati lagi kurang enak buat lanjut
barangkali suatu waktu, kejadian menarik menjelang subuh
waktu mengayuh sepeda balik ke rumah bisa ditulis
suatu waktu yang entah akan datang atau tidak
dan kalau waktu itu tidak jadi datang
bisa jadi aku mustinya memang menyimpan kejaidan itu
buat konsumsi sendiri
membiarkannya jadi sejarah tak tertulis
(kurasa, apa yang tidak ditulis tidak akan jadi sejarah)
membiarkannya usang, menjadi rahasia

1 komentar:

  1. "Sekarang aku tak usah menuliskan kisah-kisah yang sudah lama kukumpulkan itu untuk ditulis bila tiba saatnya aku sudah yakin benar aku sudah mampu menulis dengan baik. Selain itu, aku tak perlu harus mengalami kemungkinan gagal karena mencoba menuliskannya. Mungkin karena kita memang tidak pandai menulis, maka kita terus menangguhkannya dan mengulur waktu untuk memulainya. Apakah memang demikian, aku takkan pernah tahu, sekarang." (Ernest Hemingway - Salju Kilimanjaro)

    BalasHapus