Sabtu, 27 September 2014

Penggal tanah itu, di antara asrama SMP yang tengah dibangun dan lapangan yang barusan ditanam sepasang gawang tanpa jaring, akhir-akhir ini ramai oleh khalayak. Tanah itu tak seberapa luasnya. Kira-kira setengah dari luas lapangan bola di sampingnya. Dan jelas lapangan itu pun, dengan gulma berduri mengerayanginya, seperti bayi prematur, berukuran kurang dari semestinya.
     Di pinggir-pinggir tanah itu yang berbatasan dengan lapangan di selatan, bekas kali di timur, dan asrama di utara, berdiri rapuh kanopi-kanopi bertiang bambu. Kanopi-kanopi itu mengelilingi tanah itu, kecuali di sisi yang berbatasan dengan jalan aspal, tanah melandai yang diperuntukkan buat jalan keluar masuk. Atap-atapnya dari bekas spanduk yang biasanya terpampang di depan gedung pameran sewaan, atau perempatan jalan besar. Bagian bawah tiang bambu itu, dipasang melintang sepanjang kanopi, beberapa baris belahan-belahan bambu. Jarak antar mereka belasan centimeter.
     Khalayak tadi mendapat tontonan gratis dari penghuni-penghuni baru tanah itu. Di bawah naungan atap spanduk, di atas sisa makanan, tahi dan kencing mereka sendiri, hewan-hewan berkaki empat ini pasrah merenungi nasib dan menunggui takdir, terekspos tanpa ampun oleh mata penikmat-penikmatnya. Sebentar lagi, tak akan lama, bukan cuma mata penikmat-penikmat mereka saja yang akan terpuaskan. Tunggu saja.
     Sapi-sapi dan kambing-kambing terkurung di kandang, apa ada yang menarik dari hal ini. Salah satu sapi terduduk, sapi di sebelahnya memakan apapun yang disodorkan oleh tangan-tangan mungil dari luar bilah-bilah bambu. Ada bilah-bilah bambu lain di antara sapi yang duduk dengan sapi yang bersantap sore sambil mengibas-ngibas ekornya.
     Di malam hari, saat sunyi, terkadang embik kambing terdengar dari seberang lapangan. Namun jarang lenguh sapi tertangkap telinga. Kadang pula bau mereka beranjangsana bersama angin, menyambangi hidung. Bagaimana khalayak ini bisa tahan di bawah sana. Cuma berjarak satu-dua depa dari kandang.

mungkin jurnal ini akan berlanjut ke episode genosida rajakaya...
nonton Stay (2005) dulu.

"un suicide élégant est l'oeuvre d'art finale"

1 komentar:

  1. "Apa kau tahu kalau Tristan Reveur mengutip tentang seni yang buruk? 'Seni yang buruk lebih indah secara tragis daripada seni yang bagus karena membuktikan kebenaran dari kegagalan manusia.' (Henry Letham)

    BalasHapus