Minggu, 20 Maret 2011

Pohon Nangka, Berbuah Pisang Rasa Durian Montong

     Saat aku bangun dari tidur siang suasana masih cerah. Sore hari dihiasi beberapa lapis awan putih yang mengulung-gulung. Meski begitu mereka masih memberi celah kepada sinar matahari untuk menyentuh tanah.
     Mataku masih belum terbuka sepenuhnya, ketika kupaksa tubuh ini berdiri. Seperti biasa kamarku luar biasa berantakan. Kupikir akan ada peri tidur yang membantu membereskan kamar, setelah aku bersedia--dengan senang hati--mengunjungi tanah kelahirannya. Beberapa kertas yang kubawa pulang dari kampus mungkin, masih berserakan dilantai kayu berlapis karpet tipis, yang entah tebuat dari bahan sintesis apa. Selimut tergeletak tak terlipat di atas kasur uzur, yang tampaknya sudah tak kuat lagi menahan massa badanku. Kasur itu tampak menyatu dengan dipan tak berkaki, seperti telah ada suatu ikatan serius diantara mereka berdua.
    
     Selang tak berapa lama aku sudah turun dari kamarku yang ada di lantai dua. Dengan kekuatan yang masih belum sepenuhnya terkumpul aku mencoba menarik pintu kulkas, berharap dia bekerjasama dan membuka diri. Kulihat di dalamnya masih banyak ruang tersisa. Aku berpikir mungkin sebaiknya keluarga ini memberi pensiun dini kepada kulkas itu. Dengan begitu sepertinya akan ada lebih dari satu orang merasakan kegunaannya.
     Di ruang keluarga kakakku sedang asyik tiduran sambil menonton televisi. Dengan gerakan yang malas dia meraih remote, mengganti channel ke salah satu stasiun TV swasta, Trans 7. Oh, berita rupanya. Beberapa saat kubiarkan keherananku, tumben kakakku nonton berita.
     Butuh beberapa detik, tak secepat akselerasi rasa cinta yang berpindah dari mata ke otak memang--yang menurut penelitian hanya butuh sekitar 0,2 sampai setengah detik. Aku baru tersadar ada hal yang kurang lazim dengan isi pemberitaannya.
     Ibuku bergabung. beliau berjalan dari dapur, dan berhenti, terlihat wajahnya menunjukkan keheranan yang aneh. "Masak sih dik, itu pohon nangka berbuah pisang berasa durian," nadanya sulit dipastikan, setengah percaya mungkin.
     Sama sepertiku, hanya saja beliau butuh waktu sedikit lebih lama untuk menyadarinya--kurasa itu bukan karena faktor usia, aku selalu percaya kemampuan otak manusia menurun seiring bertambahnya usia hanyalah sebuah mitos. Acara itu hanya sebuah rekayasa untuk kepentingan hiburan semata. Cukup menghibur memang.  

0 komentar:

Posting Komentar