Jumat, 03 Mei 2013

Dari 'rumahlebah ruangpuisi'

Ahmad Nurullah

Pada Tapal Batas Waktu

Janganlah mencari tahu apa yang akan terjadi besok
--Horatius

Tapi, kita langgar nasihat itu. Kita terus melangkah:
membaca, bertanya, menduga-duga: Apa yang akan terjadi,
besok? Akan turun hujankah pada hari pengantinmu,
Kamis depan?

Saat kau terjaga dari tidur, adakah rumahmu masih utuh
terpacak? Akan membuncit lagikah perut istrimu,
akan beranak lagikah anjingmu, tahun depan? Dua hari lagi
suamimu pasti studi di Holland?

 "Janganlah mencari tahu apa yang terjadi besok.
Jangan mencari tahu apa yang akan terjadi di masa depan."

Tapi, siapa tak mau mencari tahu apa yang akan terjadi,
besok--di negeri ini, di hari-hari depan? Seusai makan
di sebuah kafe, adakah tubuhmu masih bulat, meja dan kursi
masih tegak, dan kepalamu masih setia tinggal pada lehermu,
yang jenjang?

"Janganlah mencari tahu apa yang akan terjadi besok.
Besok adalah rahasia waktu. Masa depan adalah daerah Tuhan."

Tapi, kita terus langgar nasihat itu, dengan berani:
dengan kaki, dengan tangan. Dengan degup jiwa, dengan segenap
Kesadaran. Sebab, sejak tangis pertama pecah, sejak popok dibalutkan,
Besok tak dapat dihindar. Masa depan tak terelakkan.

 "Tapi, apa yang akan terjadi besok?"

Bulan bergerak. Detik-detik terus berguguran. Tapi kita
tak henti melangkah. Tapi kita tak kunjung berhasil meraih jawab
Sampai, pada tapal batas waktu, kita jera bertanya, dan kita
tak membantah: Besok adalah sebuah pintu--dari mana kita masuk,
dan kita tak kembali.

Jakarta, 2006


Sindu Putra

Petani Garam Pantai Goa Lawah

aku akan tanyakan
            bagaimana lelaki itu
                        memisahkan asin dari air laut
di tubuhnya,      lelaki itu memanggang
dan garam dipanennya seumur hidup

ke tempat terbuka
            sebuah rumah dibangun
bernama keluarga:
            sepasang suami istri
                         dua orang anak
            0,5 kg beras ditanak menjadi lima piring nasi
            lima tusuk sate ikan nila
            lalapan daun bayam merah
            tiga mangkok bakso ayam kampung
            urapan buah pepaya muda
            lima biji tomat dipetik dari halaman belakang

di tempat terbuka
            sebuah keluarga berdiri
ke mana kau dan aku, pertama kali
            mengenal rasa lapar
lantas aku cari tahu
bagaimana di pintu dapur
bayang legam petani garam itu
lenyap diserap asap penggorengan

maka dari peluh lelaki itu
            aku mendengar
bagaimana ia mendirikan rumah tangga
saat untuk merasakan bahagia:
            kamar gelap di pantai
       bulan madu terbenam di pasir
    ranjang air terbentang dan
pelaminan dengan taman bunga bawah laut.........


IOA Suwati Sideman

Pasar Karang Lelede

seorang ibu mendekati setiap celah lumpur pasar
katanya ia ingin menukar peluhnya dengan air susu
anak bungsunya terlalu muda untuk menyurup air pematang
bau pestisida bisa membuatnya kencing lendir
muntah darah
atau paling tidak
meronta hingga geliga
           menyembul dari kulit dada

ia masih terus berjalan
masih terus berharap
siapa yang sanggup
menyaksikan anak-anaknya
dijemput kematian tropis di kaki lumbung pakan?
kematian khas
dengan pori tersumbat keriput
dan lapar yang membusuk hingga ke diafragma

seorang ibu mendekati setiap celah lumpur pasar
katanya ia ingin menukar peluhnya dengan air susu
Gunung Sari tak lagi memberikan hujan
bagi puting dadanya
yang mengering cuma dalam semusim
ini bukan tentang pemalak hutan,
kayu gelondong
bahkan sisa kayu bakar kerontang
berpuluh hari ia tak punya asap dapur
cuma ketiaknya yang semakin hangus
tapi ia tak pernah ingin tahu sebabnya
terlalu banyak hal lain
yang mesti dipecahkan
dengan ijasah paket C yang belum lunas

bukan cuma di bulan ini,
seorang ibu mendekati setiap celah lumpur pasar
katanya ia ingin menukar peluhnya dengan air susu

0 komentar:

Posting Komentar