Ahmad Nurullah
Pada Tapal Batas Waktu
Pada Tapal Batas Waktu
Janganlah mencari tahu apa yang akan terjadi besok
--Horatius
Tapi, kita langgar nasihat itu. Kita terus melangkah:
membaca, bertanya, menduga-duga: Apa yang akan terjadi,
besok? Akan turun hujankah pada hari pengantinmu,
Kamis depan?
Saat kau terjaga dari tidur, adakah rumahmu masih utuh
terpacak? Akan membuncit lagikah perut istrimu,
akan beranak lagikah anjingmu, tahun depan? Dua hari lagi
suamimu pasti studi di Holland?
"Janganlah mencari tahu apa yang terjadi besok.
Jangan mencari tahu apa yang akan terjadi di masa depan."
Tapi, siapa tak mau mencari tahu apa yang akan terjadi,
besok--di negeri ini, di hari-hari depan? Seusai makan
di sebuah kafe, adakah tubuhmu masih bulat, meja dan kursi
masih tegak, dan kepalamu masih setia tinggal pada lehermu,
yang jenjang?
"Janganlah mencari tahu apa yang akan terjadi besok.
Besok adalah rahasia waktu. Masa depan adalah daerah Tuhan."
Tapi, kita terus langgar nasihat itu, dengan berani:
dengan kaki, dengan tangan. Dengan degup jiwa, dengan segenap
Kesadaran. Sebab, sejak tangis pertama pecah, sejak popok dibalutkan,
Besok tak dapat dihindar. Masa depan tak terelakkan.
"Tapi, apa yang akan terjadi besok?"
Bulan bergerak. Detik-detik terus berguguran. Tapi kita
tak henti melangkah. Tapi kita tak kunjung berhasil meraih jawab
Sampai, pada tapal batas waktu, kita jera bertanya, dan kita
tak membantah: Besok adalah sebuah pintu--dari mana kita masuk,
dan kita tak kembali.
Jakarta, 2006
Sindu Putra
Petani Garam Pantai Goa Lawah
aku akan tanyakan
bagaimana lelaki itu
memisahkan asin dari air laut
di tubuhnya, lelaki itu memanggang
dan garam dipanennya seumur hidup
ke tempat terbuka
sebuah rumah dibangun
bernama keluarga:
sepasang suami istri
dua orang anak
0,5 kg beras ditanak menjadi lima piring nasi
lima tusuk sate ikan nila
lalapan daun bayam merah
tiga mangkok bakso ayam kampung
urapan buah pepaya muda
lima biji tomat dipetik dari halaman belakang
di tempat terbuka
sebuah keluarga berdiri
ke mana kau dan aku, pertama kali
mengenal rasa lapar
lantas aku cari tahu
bagaimana di pintu dapur
bayang legam petani garam itu
lenyap diserap asap penggorengan
maka dari peluh lelaki itu
aku mendengar
bagaimana ia mendirikan rumah tangga
saat untuk merasakan bahagia:
kamar gelap di pantai
bulan madu terbenam di pasir
ranjang air terbentang dan
pelaminan dengan taman bunga bawah laut.........
IOA Suwati Sideman
Pasar Karang Lelede
seorang ibu mendekati setiap celah lumpur pasar
katanya ia ingin menukar peluhnya dengan air susu
anak bungsunya terlalu muda untuk menyurup air pematang
bau pestisida bisa membuatnya kencing lendir
muntah darah
atau paling tidak
meronta hingga geliga
menyembul dari kulit dada
ia masih terus berjalan
masih terus berharap
siapa yang sanggup
menyaksikan anak-anaknya
dijemput kematian tropis di kaki lumbung pakan?
kematian khas
dengan pori tersumbat keriput
dan lapar yang membusuk hingga ke diafragma
seorang ibu mendekati setiap celah lumpur pasar
katanya ia ingin menukar peluhnya dengan air susu
Gunung Sari tak lagi memberikan hujan
bagi puting dadanya
yang mengering cuma dalam semusim
ini bukan tentang pemalak hutan,
kayu gelondong
bahkan sisa kayu bakar kerontang
berpuluh hari ia tak punya asap dapur
cuma ketiaknya yang semakin hangus
tapi ia tak pernah ingin tahu sebabnya
terlalu banyak hal lain
yang mesti dipecahkan
dengan ijasah paket C yang belum lunas
bukan cuma di bulan ini,
seorang ibu mendekati setiap celah lumpur pasar
katanya ia ingin menukar peluhnya dengan air susu
0 komentar:
Posting Komentar