Rabu, 23 Oktober 2013

Dari Surat Undangan Nikah Sampai Batas Waktu-Kunjung

Ba'da Isya' si anak laki-laki keluar. Bersepeda, dia bilang. Ya, dia memang naik sepeda, tapi dikaitkannya tali helm dan menggantungnya di pergelangan tangan kirinya.
     Sampai di rumah si gadis, dia masukkan sepeda ke garasi rumah si gadis. Keduanya pergi menunaikan tugasnya. Mereka sudah janjian akan mengedarkan undangan pernikahan teman kampus.
     Ke utara, dari yang paling dekat.
     "Rencana setelah wisuda? Kerja mungkin? ada pekerjaan impian?" Tanya si gadis berurutan.
     "Iyalah, mau bagaimana lagi. Ada. Nelayan." Jawab si anak laki-laki tak kalah urut.
     "Oh, seperti The Old Man and the Sea." Lalu si gadis mulai mengulas buku itu. Dia bercerita tentang orang tua yang cuma menangkap bangkai ikan.
     Sampai di rumah gadis pertama.
     "Ternyata rumah kamu cuma di sini." Kata si anak laki-laki.
     "Iya. Dekat kan. Kapan-kapan mampir." Kata gadis pertama
     Ke barat.
     "Oh, kamu kos di sini."
     "Eh, Kotagede kamu mana, kapan-kapan aku main ke rumahmu ya?" Kata gadis kedua.
     Si anak laki-laki memasang mimik 'ah, biasalah. Ritual cewek-cewek kalau ketemu teman yang sudah lama nggak ketemu'.
     Ke utara. Ke dekat kampus.
     "Eh, kirain kamu sama cewek. Aku nggak pakai jilbab nih." Kata gadis ketiga
     Ke utara. Jauh ke utara. Ke dekat kampus yang kesohor di kota.
     "Aku kerja di toko gudeg ibuku." Kata gadis keempat.
     Balik ke selatan. Pemberhentian terakhir. Tapi waktu di minimarket yang sepertinya bukan waralaba di daerah fakultas olahraga kampus kesohor kedua di kota, sms masuk ke telepon seluler si gadis. Gadis terakhir tidak di rumah. Percakapan si anak laki-laki dengan si gadis di minimarket:
     Si gadis: "Nggak usah diplastik, Mas." Waktu si kasir mewadahi minuman produksi Coca-Cola Company dengan tas kresek.
     Si anak laki-laki: "Wuih, environmentalis."
     Si gadis: "Apaan?"
     Si anak laki-laki: "Harusnya kamu juga nggak usah minta struk-nya. Bilang juga, kalau struk-nya nggak usah dicetak. Itukan dari pohon. Tuh, kan cuma dibuang."
     Sampai di rumah gadis kelima. Si gadis menitipkan undangan ke orang yang ada di rumah.
     Ke selatan. Balik ke rumah si gadis.
     "Mampir-mampir dululah. Mau sirup atau teh."
     "Ehm..., Teh."
     "Pakai es ya." Dengan tanpa nada bertanya.
     Perbincangan berjam-jam, seperti saat kuliah. Di teras rumah si gadis. Perbincangan dari pernikahan, sepak bola, hingga tiga hal yang paling penting di dunia dan akhirat menurut si anak laki-laki: film, buku, dan musik. Perbincangan tentang masalah di tempat kerja si gadis sampai idealime bocah yang barusan lulus sarjana.
     Si gadis bercerita tentang adiknya yang tak mau kuliah. "Yang kuliah saja cuma jadi seperti itu kok, adikku bilang," si gadis membagi pemikiran adiknya, "Tapi aku bilang, kuliah itu merubah pola pikir. Pola pikir lulusan SMA beda dengan pola pikir lulusan S1." Si anak laki-laki tidak bisa menyanggahnya.
     Lalu, si gadis bercerita tentang pria penggoda di tempat kerjanya. "Padahal sudah punya istri," kata si gadis, "aku nggak nyaman. bagaimana menurut kamu?"
     "Ah, kamu minta saran ke orang yang salah. Aku kan belum pernah mengalami yang seperti itu."
     "Kasih saran nggak harus mengalami dulu."
     "Yah, kalau kamu memang sudah nggak tahan lagi keluar saja. Tapi itu cara terakhir."
     "Senior bilang itu lumrah di tempat kerja. Masalah dan masalah. Kita menghindar, kita masuk ke masalah lain. Jadi ini harus ditanggungkan."
     "Ada satu kutipan. 'Terkadang satu-satunya obat adalah menerima hidup apa adanya'. Nah, di sini latar musik Beatles - Let It Be diputar."
     Dari perbincangan tentang masalah pria penggoda di tempat kerja sampai ke masa-masa paling indah dalam kurang dari 25 tahun hidup mereka. Dan mereka masing-masing mungkin merasa menjadi manusia paling sengsara pengidap krisis seperempat abad.
     "Cowok biasanya merasa masa-masa paling indah mereka waktu mereka dapat cinta pertama, ya kan?"
     "Sekali lagi kamu mengenaralisasi."
     "Terserah. Entah itu SD, SMP, SMA."
     "Kalau aku bilang, masa paling indahku nggak dikategorikan berdasar SD, SMP atau SMA. Menurutku itu waktu aku bisa nangkap ikan di sungai. Ya, sungai itu dulu masih mengalir. Terus main bola tiap sore."
     "Kapan itu? Sekitar SD?
     "Ya. Ada lagu bagus tentang masa kanak-kanak. James Morrison, Ehm..., judulnya Once When I ... apa gitu."
    "Child? Kid?"
    "Mungkin. Ah.., Once When I Was Little."
     "O..."
     "O? Kamu tahulah masa-masa tanpa beban?"
     "Jadi pas SMP hidup kamu sudah sesak beban?"
     "Bisa jadi. Seperti bawa tas ransel. Semakin tambah tua, hal-hal yang masuk ke tas itu semakin banyak. Tas ranselnya jadi semakin berat."
     Jeda sebentar. Lalu si gadis mengungkapkan pandangannya tentang fenomena pengemis di ibukota, "di hari biasa di kampung mereka profesi mereka petani, tukang, atau lainnya. Tapi pas nggak panen, mereka hijrah ke ibukota. Buat jadi pengemis. Mereka bilangnya pas balik ke kampungnya jadi buruh atau apalah. Gaji mereka lumayan gede lho. Sehari bisa seratus ribu lebih."
     "Wah, lebih gede dari pegawai akuntansi ya? Apik buat dijadikan buku. Kenapa nggak ada buku yang mengangkat tema itu di sini?"
     "Buku macam itu nggak bakal laku di sini."
     "Oh ya, sudah dapat jaket Milan?"
     "Sudah. 146 ribu kemahalan nggak ya?"
     "Nggak tahu. Belum pernah beli."
     "Yah..."
     "Milanisti, temannya Defri dong."
     "Iya, tapi sempat vakum waktu Kaka pindah."
     "Yah, bukan Milanisti itu namanya, Kaka-nisti."
     "..."
     "Pemain yang lumayan sekarang tuh Montolivo."
     "Nggak tahulah. Tahunya cuma Kaka."
     "Nah."
     Lalu mereka berbincang tentang kucing betina si anak laki-laki yang dinodai kucing jantan liar. "Untung saja nggak hamil."
     "Kamu kasih saja kucingmu pil KB."
     "Atau dikebiri. Vasektomi."
     "Jangan."
     "Bicara tentang pil KB, ada buku bagus tentang itu."
     "Buku tentang pil KB?"
     "Bukan. Salah satu tulisan dalam buku itu tentang pil KB. Buku itu kumpulan tulisan jurnalis New York Time atau apalah."
     "Iya, tapi buku tentang pil KB?"
     "Bukan. Ada tulisan lain tentang ahli anjing yang bisa menangani anjing galak. Juga tulisan lain. Tapi menurutku ada benang merah dari semua tulisan di buku itu. Menurutku si penulis punya pemikiran bahwa di dunia ini, dalam hidup ini nggak ada sesuatu pun yang mutlak. Semuanya relatif," ditegakluruskannya telapak tangannya dengan lengan bawah, lalu sambil mengangkat tangannya setinggi dahinya, menggoyang telapak tangan, terus menarik tangan ke bawah serendah dadanya, menggoyang telapak tangan lagi, si anak laki-laki bilang lagi, "Nggak ada yang benar-benar di kutub ini atau di kutub ini."
     "Tapi itu benar, kan?" timpal si gadis, "nggak ada yang benar-benar putih dan nggak ada yang benar-benar hitam. Semuanya ada di wilayah abu-abu."
     Mereka bisa tahan berbincang berjam-jam. Sampai pas jam sebelas kurang lima, si anak laki-laki tanya, "jam berapa ini? Ada batas waktu-kunjungnya nggak?"
     Setengah jam kemudian pakde si gadis menceletuk, "jam setengah dua belas lho."
     Si anak laki-laki kembali bersepeda. Dia tak pernah sadar mungkin saja si gadis pagi harinya harus bekerja.

untuk gadis yang memuati seluruh beban ke tas ransel dan memikulnya sendirian,
Tuhan bersama orang yang berdoa.
Setjoeil Asa, 23 Oktober 2013

0 komentar:

Posting Komentar