Senin, 24 November 2014

Lintasan penyeberangan pudar di perempatan itu menjadi lantai dansa dua anak lelaki. Musik etnik menguar dari perkakas elektronis sederhana di atas trotoar sempit. Bertelanjang kaki, diiringi musik, mereka njathil.
     Langit berawan, tapi suhu lumayan panas. Sudah dua hari hujan tidak turun. Padahal sejak mulai turun pertama kali tahun ini, hujan kelihatan tak bosan-bosannya turun, membasahi semua yang disentuhnya. Tak lepas pula aspal yang sudah lebih dari enam bulan dididihkan terik matahari.
     Di ujung pembagi jalan dari arah barat, tampak dua orang berseragam polisi. Mereka bercakap-cakap seraya memerhatikan sekitar.
     Saat lampu lalu lintas sudah mengizinkan kendaraan-kendaraan dari arah timur menghambur keluar dari jeratan sesaatnya, salah satu bocah tadi--yang lebih tinggi--menyambangi para pengendara sambil menyodorkan wadah plastik kosong. Dan tetap kosong hingga bocah yang lain, yang lebih bersemangat berjoget, minggir--seolah-olah memberi jalan pada kuda-kuda besi dari arah selatan berpacu ke utara--ke arah Lembah.
     Semoga mereka lebih beruntung lain kali. Masih akan ada kuda-kuda besi lain yang akan terjerat bangjo di ujung jalan searah itu.
     Di sudut barat daya perempatan ada pom bensin yang sudah hampir sepekan memajang angka 8.500 di sebelah tulisan premium. Sebelumnya, angka 6.500 sudah membuat keder rakyat jelata. Mereka dijanjikan selisih dua angka ini. Apa mereka peduli dengan perhitungan rumit itu?
     Apa dua bocah tadi mendapat cipratan selisih itu, yang oleh orang-orang berwenang disebut 'Kartu Sakti'? Semoga.

Tuhan bersama kalian, orang-orang biasa yang memang sudah terbiasa menjadi biasa dan menganggap keadan seperti apapun juga biasa
biasa, biasalah biasa sajalah
23 November 2014, setjoeil asa

0 komentar:

Posting Komentar