Minggu, 16 November 2014

tentang Sarinah karya Ir. Soekarno

Sarinah: Kewajiban Wanita Dalam Perjuangan Republik IndonesiaSarinah: Kewajiban Wanita Dalam Perjuangan Republik Indonesia by Sukarno

My rating: 4 of 5 stars


Ini bukan sekadar buku yang cocok dibaca dalam pertemuan ibu-ibu, sebelum mengocok arisan. Lebih daripada itu, ini adalah sebuah panduan menuju masyarakat sosialis.

     Barangkali pada suatu ketika nanti, saat kondisi mental memperkenankan, bisa ditulis semacam resensi buku ini. Atau apalah yang lebih mengesankan, ketimbang catatan pendek kurang berarti ini.

ditambahkan sehari setelahnya:

Ada presiden negara ini yang merilis album. Konon, sampai lima album. Sebelumnya perempuan (yang  pertama di sini!) dan pelawak pluralis (maaf kalau ada yang tersinggung, ini murni sebuah pujian). Terus ada yang merancang pesawat. Tak ketinggalan ada pula yang (ingin) bikin rakyatnya dari ujung ke ujung kecanduan nasi.  Yang sekarang suka turun ke bawah. Apa yang terakhir ini ada hubungannya dengan pemikiran yang paling pertama, tentang pemimpin yang tidak terjun ke kalangan massa selalu melihat dari ‘atas’, sedangkan rakyat jelata selalu melihat dari ‘bawah’. Ah, ini bukan tempatnya membahas hal itu, Sudah kelewat banyak kitab-kitab menceracau (maafkan diksi kurang ajar ini) tentang itu.

Yang pertama sekali menulis buku ini. Buku tentang wanita .Paling tidak itu yang tersurat di sampulnya. Tapi siapa juga yang cuma mau membaca sampul buku.


Sebagai mesin waktu, buku ini mengajak yang mau membacanya kembali sejak awal adanya manusia. Diulasnya tentang tulang rusuk Adam. Siapa yang tidak termakan cerita bahwa Hawa diciptakan dari tulang rusuk Adam, karena sup iga memang enak (eh?). Mari tinggalkan sup iga itu, meski terdengar menggiurkan.

Soal wanita. Terus laki-laki yang pergi berburu dan perempuan berjaga di rumah (atau goa). Lama-lama perempuan bosan dan menamamlah mereka. Awal zaman pertanian. Dan ya, katanya perempuanlah penemu ilmu pertanian. Jadi jangan percayai dosen lelakimu wahai mahasiswa pertanian (eh?). Dan beternak pula. Sebenarnya bagian buku yang ini agak membosankan kalau diceritakan ulang, apalagi kalau penceritanya kurang ulung.

Lama-lama laki-laki merasa tak perlu lagi berburu. Sebab pertanian dan peternakan yang diurus perempuan-perempuan mencukupi kebutuhan mereka. Inilah lunturnya budaya nomaden.

Inilah zamannya wanita menguasai dunia. Jadi kalau ada yang bilang, “wanita dijajah pria sejak dulu,” jelas dia bukan pakar sejarah, eh, atau dia pengusung partai patriarkal, atau dia konservatif, atau... dia cuma setengah percaya kitab ini. Yang terakhir ini masih bisa ditoleransi.

Sudah dibilangkan di atas tadi, ini bukan bagian buku yang paling menarik (maksudnya bukan bagian bukunya yang kurang menarik, tapi penceritaan ulangnya yang kurang menarik. Bagian buku itu sendiri sebenarnya menarik untuk dibaca. Kalau ada yang tidak percaya bolehlah membuktikan sendiri). Dan kalau ada yang bosan, tinggalkan saja tempat ini. Tak ada larangan.

Jadi, Matriarkal. Terus Patriarkal, yang sampai sekarang masih saja ada yang memelihara. Apa hebatnya laki-laki? Apa mereka pernah berhadapan, muka dengan muka sama maut? Pernah merasakan hembusan nafas maut di pipi mereka? Ibu, paling tidak sekali merasakannya, saat melahirkan anal anak. Cih, laki-laki.

Tenang, bagian menyenangkan baru akan dimulai. Mari tinggalkan goa dan hijrah ke kota. Namun, sebelum melangkah ke kota, mari menengok dulu tentang perihal perkawinan. Tentang mas kawin yang kalau dirunut dulunya adalah semacam kompensasi dalam budaya kawin beli. Terus, soal bulan madu yang ternyata adalah sisa-sisa budaya kawin rampas. Dan cicin kawin yang merupakan eufimisme rantai. Ah, menarik bukan.

Akhirnya, masuklah abad ke-19 dengan sambutan orang Inggris punya syair:

  “Man works from rise to set of the sun| Women’s Work is never done”

Abad bergeraknya wanita. Pergerakan wanita di mana-mana (kecuali yang wanitanya kurang bergerak). Sebenarnya ide pergerakan ini bahkan sudah memercik di abad sebelumnya, di seberang samudera Atlantik sana (sudut pandang Eropa). Percikan ide itu menyeberangi Atlantik yang menelan Titanic. Ide lebih kuat ketimbang kapal yang katanya bahkan Tuhan pun tak bisa mengaramkannya.

Ditambah anasir-anasir obyektif yang mendorong wanita bergerak. Industrialisme merusak tatanan. Yang dulunya wanita bisa menjahit sendiri, apa-apanya sendiri, sekarang barang-barang industri membanjiri rumah tangga. Kalau baju bisa beli, kenapa musti menjahit sendiri. Wanita tak ada kerjaan di rumah. Bosan. Apa ini sejarah gosip? Wanita jadi sering ngomong remeh-temeh sama tetangganya, sekadar buat mengisi waktu.

Tambah bosan, akhirnya wanita bergerak. Mereka meminta pekerjaan publik dibuka buat kaum mereka, yang saat itu masih saja dimonopoli pria. Pria, apalagi yang kolot menolak. Pergerakan wanita.

Ini pergerakan wanita fase dua, meminta kesetaraan politis dan yuridis serta dibukanya akses ke perkerjaan umum (sama dengan laki-laki). Pergerakan fase satu tak lebih dari arisan ibu-ibu yang isinya tentang bagaimana menjadi ibu rumah tangga yang baik, membahagiakan suami dan anak dan semacamnya. Tak lebih. Tapi dua pergerakan ini bersifat borjuis, cuma milik kalangan atas. Bagaimana keadaannya rakyat jelata terutamanya perempuannya?

Sejak industrialisme, pabrik-pabrik butuh tenaga kerja. Secara otomatis mereka menyedot tak hanya buruh-buruh laki-laki, tapi juga perempuan dan anak-anak. Apalagi dengan datangnya Perang Dunia I. Para pria banyak yang menjadi serdadu. Biar pabrik-pabrik senjata tetap mengepul dengan setengah terpaksa pula lebih banyak lagi wanita dijadikan pekerja. Masih ingat dengan syair tentang pria dan wanita tadi. Inilah saatnya pergerakan wanita fase tiga. Wanita kelelahan, diperas di pabrik, sampai rumah masih harus banting tulang memelihara suami dan anak. Mereka menuntut pemanusiaan buruh.

Ini adalah pergerakannya kaum buruh, rakyat jelata. Pergerakan Sosialisme. Buat lebih baiknya lagi baca saja buku ini. Bukankah buku bagaikan sebuah cermin. Siapa tahu ada yang melihat bayangan lain di dalamnya, pasti.

Ini bukan  sekadar kitab diskursus kewanitaan dan pergerakannya. Lebih dari pada itu, ini adalah satu kitab tentang masyarakat sosialis. Di dalamnya dimuat pemikiran Soekarno tentang masyarakat sosialis dambaannya (hal. 244). Yang memang terdengar utopis, dan kurasa banyak yang setuju dengan label utopis ini. Barangkali cuma John Lennon yang sependapat dengan beliau (Imagine), atau segelintir lainnya. Tapi siapa mau ada orang lain yang menaruh pelor di otaknya. Tapi kalau saja ada, siapa yang tak mau pesan satu, tatanan masyarakat sosialis itu.

Namun, kapitalisme pasti mati, ya kan Bung? Anda yakin? Apa tanda-tandanya? Apa Anda sungguh melihat anasir-anasir obyektif  yang memungkinkan sosialisme?

Atau, sebenarnya sampai sekarang ini, hampir tujuh puluh tahun setelah merdekanya negara ini, negara ini bukannya belum siap untuk apa yang namanya kapitalisme—investasi luar yang jor-joran masuk? Melainkan negara ini justru belum siap untuk apa yang namanya sosialisme?

Jadi orang-orang sekarang ini cuma pupuk tai sapi belaka!? Buat ladang masa depan? Bukan-bukan, puisi yang tepat ini: "Manusia bukan hanya pupuk tai-sapi belaka! Kita adalah ladang, di dalam pangkuan kita juga bersemi benih!" Henriette Roland Holst atau siapa kalau tidak salah itu.

Meski berlabel ‘Kewajiban Wanita’, ada rasa sangsi kalau buku ini lebih cocok dibaca oleh Sarinah-Sarinah. Toh, ini buku tentang kesetaraan gender. Laki-laki dan perempuan, atau perempuan dan laki-laki punya hak (atau kewajiban) yang setara untuk membaca buku ini. Di beberapa tempat penulisnya juga menyapa pembaca dengan sebutan ‘Tuan’.

Kepada siapa sajalah yang ada di pangkal sayap sebelah kiri, kiranya buku ini kelewat menarik buat dilewatkan.
setjoeil asa, 16 November 2014

View all my reviews

0 komentar:

Posting Komentar