Selasa, 15 Januari 2013

27/2


27/2 sehabis nonton “Sleepwalking (2008)”
“Berapa buku yang kamu pinjamkan?”
“Kamu jurnalis?” Katanya, “Ada Anansi Boys-nya Neil Gaiman, The Alchemist-nya Paulo Coulho, War and Peace-nya Tolstoy, terus, ehm, beberapa lagi mungkin.”
“Woa.., ada temen kamu yang suka Tolstoy?”
Nggak tahu. Dia cuma ingin pinjam buku. Katanya yang bagus. Ya sudah, aku kasih saja.” Dia selesai memunguti kertas-kertas yang berserakan di lantai kamar. Lantai kamarnya terbuat dari potongan-potongan memanjang kayu mahoni. Disusun bersejajar. Melapisi lantai, ada karpet usang, terbuat dari sejenis bahan sintetik dan sobek di beberapa tempat. “Memang ada yang salah dengan Tolstoy?” Katanya setelah memenuhi salah satu laci meja belajar dengan tumpukan kertas yang dari tadi dia pungut dari lantai.
Si gadis masih mengamati kamar itu, namun tak jauh-jauh dari deretan buku di rak. “Ehm, A Confession,” kata si gadis, “Hidup adalah yang terbesar dari semua kemalangan.”
“Sebenarnya itu hasil pemikiran Sakya Muni.”
“Yah,” ujar si gadis, “Beliau menulisnya saat mengalami krisis paruh baya.”
“Dia hampir bunuh diri saat 50 tahun, sedangkan kita belum juga setengah umurnya sudah menginginkan hal yang sama.”
“Maksudmu?” tanya si gadis.
                Dia melihat ke tangan kiri si gadisdi bagian pergelangan. Buru-buru si gadis menyembunyikannya di balik badannya.
“Bukankah setiap orang pernah memikirkannya, hah?” katanya, “mengakhiri hidup sendiri maksudku.”
                Kali ini si gadis hanya membuang pandangan ke sembarang tempat di kamar itu, asalkan tidak di kedua mata tuan kamar.

***

                Dia ingat akan sesuatu. Beberapa jam sebelumnya, telepon berdering. Dia mengangkatnya. Di seberang ibunya berbicara, menyuruh untuk menjemput di rumah kakak perempuan ibunya.
                Ibunya baru saja menghadiri sebuah pemakaman. Pemakaman siapa dia tak begitu peduli. Sungguh, hidup memang singkat.
                “Dia libur dua minggu. Habis Ujian," kata ibunya kepada kakaknya, beberapa saat setelah dia sampai di rumah kakak perempuan ibunya, “Pun Pareng,” ibunya berpamitan.
                Nada bicara itu. Dia tahu kalau ibunya tidak bodoh. Ibunya pasti tahu kalau semester baru sudah berjalan. Dan dia, selama seminggu terakhir hampir selalu berada di dalam kamarnya. Sampai kapan orang tua perempuannya ini akan mempertahankan kepura-puraan rasa bangganya terhadap anak bungsunya, pikirnya. Kapan beliau akan sadar, tak ada yang benar-benar bisa dianggap hebat dari putranya ini.

0 komentar:

Posting Komentar