27/2 sehabis nonton
“Sleepwalking (2008)”
“Berapa buku yang kamu
pinjamkan?”
“Kamu jurnalis?” Katanya, “Ada Anansi Boys-nya Neil Gaiman, The Alchemist-nya Paulo Coulho, War and Peace-nya Tolstoy, terus, ehm, beberapa lagi mungkin.”
“Kamu jurnalis?” Katanya, “Ada Anansi Boys-nya Neil Gaiman, The Alchemist-nya Paulo Coulho, War and Peace-nya Tolstoy, terus, ehm, beberapa lagi mungkin.”
“Woa.., ada temen kamu yang suka
Tolstoy?”
“Nggak tahu. Dia cuma ingin pinjam buku. Katanya yang bagus. Ya sudah,
aku kasih saja.” Dia selesai memunguti kertas-kertas yang berserakan di lantai
kamar. Lantai kamarnya terbuat dari potongan-potongan memanjang kayu mahoni.
Disusun bersejajar. Melapisi lantai, ada karpet usang, terbuat dari sejenis
bahan sintetik dan sobek di beberapa tempat. “Memang ada yang salah dengan
Tolstoy?” Katanya setelah memenuhi salah satu laci meja belajar dengan tumpukan
kertas yang dari tadi dia pungut dari lantai.
Si gadis masih mengamati kamar
itu, namun tak jauh-jauh dari deretan buku di rak. “Ehm, A Confession,” kata si
gadis, “Hidup adalah yang terbesar dari semua kemalangan.”
“Sebenarnya itu hasil pemikiran
Sakya Muni.”
“Yah,” ujar si gadis, “Beliau menulisnya saat mengalami krisis paruh baya.”
“Dia hampir bunuh diri saat 50
tahun, sedangkan kita belum juga setengah umurnya sudah menginginkan hal yang
sama.”
“Maksudmu?” tanya si gadis.
Dia
melihat ke tangan kiri si gadis−di
bagian pergelangan. Buru-buru si gadis menyembunyikannya di balik badannya.
“Bukankah setiap orang pernah
memikirkannya, hah?” katanya, “mengakhiri hidup sendiri maksudku.”
Kali
ini si gadis hanya membuang pandangan ke sembarang tempat di kamar itu, asalkan
tidak di kedua mata tuan kamar.
***
Dia
ingat akan sesuatu. Beberapa jam sebelumnya, telepon berdering. Dia
mengangkatnya. Di seberang ibunya berbicara, menyuruh untuk menjemput di rumah
kakak perempuan ibunya.
Ibunya
baru saja menghadiri sebuah pemakaman. Pemakaman siapa dia tak begitu peduli.
Sungguh, hidup memang singkat.
“Dia
libur dua minggu. Habis Ujian," kata ibunya kepada kakaknya, beberapa saat
setelah dia sampai di rumah kakak perempuan ibunya, “Pun Pareng,” ibunya
berpamitan.
Nada
bicara itu. Dia tahu kalau ibunya tidak bodoh. Ibunya pasti tahu kalau semester
baru sudah berjalan. Dan dia, selama seminggu terakhir hampir selalu berada di
dalam kamarnya. Sampai kapan orang tua perempuannya ini akan mempertahankan
kepura-puraan rasa bangganya terhadap anak bungsunya, pikirnya. Kapan beliau
akan sadar, tak ada yang benar-benar bisa dianggap hebat dari putranya ini.
0 komentar:
Posting Komentar