Jumat, 14 Februari 2014

Abu Vulkanik

"Ideal bagi satu orang sudah nggak ideal lagi jika itu sudah jadi ideal juga bagi banyak orang lain," kata Dinas. Nama panggilan kawan si anak laki-laki ini memang terdengar birokratis. Nama lengkapnya malah terdengar monarkis, Dinasti. Tapi orangnya, menurut si anak laki-laki, nggak anarkis, meski sedikit kurang romantis. (Plis.) "Satu orang menganggap lebih nyaman, murah, enak pakai motor buat ke mana-mana. Tapi kalau bukan cuma orang ini yang punya pikiran macam ini, bayangkan," kawan ini melanjutkan, "Banyak orang lain juga pakai motor ke mana-mana."
     "Macet..." sela si anak laki-laki. "Tapi bukannya pemerintah juga malah lebih senang kalau banyak masyarakatnya punya kendaraan bermotor pribadi. Pemerintah dapat pajak kendaraan bermotor, pajak penghasilan perusahaan otomobil yang jual kendaraan. Polisi juga lebih banyak mangsa, ya kan?" si anak laki-laki menyesap wedang jeruk hangatnya, "katanya pajak kendaraan bermotor penghasilan terbesar pemerintah propinsi. Kalau masyarakat lebih memilih naik kendaraan publik massal?"
     Obrolan sehabis badminton malam itu disela oleh satu dentuman. Sekitar hampir tengah malam. Teman yang lain dapat kabar dari teman yang lain lagi lewat gadget analan andalannya. Kabar bahwa itu dentuman Gunung Kelud. Lalu obrolan berlanjut kisaran ereksi erupsi gunung berapi.
     Si anak laki-laki yang sorenya juga tarkam--sebutannya buat sepakbola kampungan--juga terlihat cukup antusias dengan obrolan ini. Dia jenis orang yang akan bilang, "mumpung masih muda," waktu ditanya, "memang nggak capai?"

&&&

Sebelumnya di Kantor Lurah Jagalan. Bulutangkis memeras keringat. Salam perpisahan terselubung buat kawan yang Sabtu ini katanya akan terbang ke Australia. "Transit dulu di Bali," kata kawan yang satu ini. Dia akan menempuh strata dua selama dua tahun di negeri seberang rencananya.
     Kawan yang satunya lagi, yang nantinya jadi pembawa kabar dentuman gunung Kelud, bilang, "Sehabis pemilu berangkat." Jadi PNS di ibukota dia. Pacarnya jawab tegas, "Siap!" Waktu ditanya mau ikut ke sana.
     Sedang si anak laki-laki makin membusuk di tempanya sekarang, membaca obrolan di media sosial: "kapan kamu kerja?"dari kawan sekampus yang kini sudah di Lombok, kerja tentunya.

###

"Tadi pagi sudah kerja bakti. Bersih-bersih jalan. Abunya tebalnya 2 cm," kata ayah si anak laki-laki. Kenapa tidak sekalian saja 5 cm, kan bisa lihat Pevita pakai g-string. "Untung tadi hujan, kalau nggak pasti susah bersihkan abunya."
     Sehabis Jumat'an yang tidak diikutinya akibat sangat terlambat bangun, si anak laki-laki menonton surat kabar harian. Berita utama ereksi erupsi gunung Kelud besanding dengan berita kembalinya kekuasaan mutlak ke pangkuan MK. Berita yang kedua itu juga jadi tajuk rencana.

***

Sebelum adzan Ashar berkumandang si anak laki-laki duduk bermasker di depan komputer jinjingnya. Sementara di halaman belakang rumah selembar daun sudah tidak sanggup lagi menanggung beban abu vulkanik. Abu vulkanik meluncur jatuh ke kolam lele yang bertambah keruh saja.
     Susah payah si anak laki-laki mengejar kata-kata yang tadi sudah hinggap di benaknya tapi kini terbang liar bersama abu vulkanik di luar sana. Dia berpikir mungkin akan lebih baik jika dia bersepeda keluar, mengikuti rute biasanya dia bersepeda sore. Urung dia, sebab cemas dengan indera penglihatan dan sistem pernapasannya.
     Abu vulkanik terlindas ban sepeda motor di atas aspal. Abu vulkanik berdesakan di permukaan daun, entah daun talas atau daun jati. Abu vulkanik di atap gerobak bakso, sementara si pedagang bermasker mengayuhnya. Abu vulkanik di depan corong TOA masjid yang mengumandangkan adzan Ashar. Abu vulkanik... hari ini adalah harinya abu vulkanik. Abu vulkanik tidak ingin ketinggalan merayakan Hari Kasih Sayang.


Malam (atau pagi, dini hari?): Si Anak Laki-laki terlihat tercenung. Dagu dipangku telapak tangan kiri yang jemarinya terutama telunjuk bermain-main dengan mulut bawah. Sikut bertopang ambang jendela. Barangkali terngiang ingatan Sabtu beberapa pekan sebelumnya. Gempa Kebumen menggoncang kala bulutangkis mengaso lantaran rumah sembahyang di sebelah lapangan memaksa demikian.
Atau mungkin dia berpikir hujan abu ini adalah jawaban Tuhan atas dua biji alpukat yang ditanamnya di halaman belakang. Dari jendela lantai atas, tepat di atas kolam ikan, tatapannya yang entah berisi perasaan apa, ia kirimkan ke tanah yang seingatnya adalah tempat ia menanam dua biji alpukat itu. Tapi gelap malam adalah tandingan yang sempurna...


Jum'at, 14 Februari 2014 (Valentine's Day! Teriak pedagang cokelat dan si anak laki-laki beroleh cokelat Monggo sebab kalah di final futsal bersarung antar media akhir pekan sebelumnya)
Dia disebut si anak laki-laki meski secara umur sudah tidak layak di panggil demikian, dia masih menyisakan beberapa sifat dari masa-masa itu...

0 komentar:

Posting Komentar